Gerakan peringatan darurat Indonesia meluncurkan aksi demonstrasi besar di Gedung DPR RI/MPR RI di Jakarta, Kamis (22/8/2024). Demo skala besar ini diikuti oleh sejumlah elemen masyarakat, buruh dan mahasiswa. Bahkan, aksi ini digelar di sejumlah daerah di Indonesia mulai Pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Aksi ini juga digelar di kota besar yakni Bandung, Bogor, Semarang, Yogyakarta dan Solo.
Sebelumnya, Peringatan Darurat Indonesia ini dihebohkan dengan postingan lambang Garuda Pancasila dengan latar belakang biru bertuliskan “PERINGATAN DARURAT RI-00”. Ini kemudian menjadi tren di dunia maya yang diunggah dan dibagikan para netizen. Garuda biru ini awalnya diunggah oleh akun YouTube EAS Indonesia Concept. Setelah viral di sosial media, kemudian menjadi aksi nyata.
Trending, peringatan darurat bergambar Garuda biru banjiri media sosial usai DPR anulir putusan MK.#KawalPutusanMK#KawalPutusanMK pic.twitter.com/6DdiOSBuj0
— Solekhan (@__PASMANTAP) August 21, 2024
Berangkat dari putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah pencalonan Pilkada, kemudian Badan Legislasi (Baleg) DPR RI berkata lain. Hasil rapat Baleg pada 21 Agustus 2024 yang disetujui seluruh Fraksi kecuali PDI-P, lalu dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI dalam rangka pengesahan revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada.
The Habibie Center dalam pernyataan sikapnya, pembahasan revisi UU Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) oleh DPR RI ini menimbulkan polemik di kalangan akademisi, praktisi dan masyarakat umum, tak terkecuali The Habibie Center, pasalnya mengabaikan putusan MK terkait usia calon kepala daerah dan penetapan threshold bagi partai politik untuk mengajukan calonnya.
DPR RI tetap menginginkan pertama, syarat usia calon kepala daerah yang ditetapkan menjadi 30 tahun saat pelantikan. Kedua, threshold bagi partai politik yang memiliki kursi DPRD sebanyak 20% atau 25% suara di Pileg. Sikap DPR RI terhadap keputusan MK ini menunjukkan pembangkangan terhadap konstitusi.
🚨terkini terlihat sudah mulai menembakkan Gas Air Mata di Gerbang depan Gedung DPR RI‼️
— heulaaluhe (@aingriwehuy) August 22, 2024
Woyy ituu disana banyak perempuan juga, selaluu apa apa Gas air mata, buat yang disana Stay Safe buat yg perempuan pastiin kalian disamping Cowok✊‼️#TolakPolitikDinasti #KawalPutusanMk pic.twitter.com/BdYWpBvbn6
Oleh karena itu, mencermati berbagai fenomena yang menunjukkan upaya penghancuran demokrasi di Indonesia, dimana polemik terkait revisi UU Pilkada telah ikut menambah bukti kegentingan kondisi, The Habibie Center, sebagai lembaga think tank independen yang didirikan untuk mendorong pembangunan dan penguatan demokrasi di Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut:
1. The Habibie Center meyakini bahwa revisi UU Pilkada oleh DPR RI seharusnya bersifat konstitusional dan dapat dipertanggungjawabkan. Sementara itu, revisi UU Pilkada terkait perubahan persyaratan usia calon kepala daerah dan besaran kursi partai politik tidak memiliki dasar-dasar yang dapat diterima secara filosofis, yuridis, dan sosiologis, serta tanpa urgensi yang menekan.
2. The Habibie Center meyakini bahwa revisi UU Pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXII/2024 dan merefleksikan pengabaian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.
3. Untuk itu, The Habibie Center menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final dan mengikat bagi semua pihak, sehingga secara tegas menolak revisi UU Pilkada yang bersifat inkonstitusional
4. The Habibie Center meyakini bahwa revisi UU Pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang inkonstitusional dapat menimbulkan sengketa antar lembaga negara dan ketidakpastian hukum pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di masa akan datang
5. The Habibie Center menegaskan bahwa revisi UU Pilkada tidak merefleksikan nilai-nilai demokrasi dan mengajak seluruh komponen bangsa Indonesia untuk secara bersama-sama menolak agenda revisi UU Pilkada dan praktek-praktek penyelenggaraan negara lainnya yang bersifat anti demokrasi.
6. The Habibie Center menyerukan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXII/2024.
Pantauan YLBHI, terdapat beberapa titik aksi demonstrasi "Peringatan Darurat" untuk Indonesia Darurat Demokrasi:
— YayasanLBHIndonesia (@YLBHI) August 22, 2024
1. Jakarta
2. Bandung
3. Cianjur
4. Semarang
5. Yogyakarta
6. Surabaya
7. Makassar.
8. Bali
Selain titik ini, beberapa daerah lainnya sedang mempersiapkan aksi… pic.twitter.com/gxL8st2NOc
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut, Mahkamah juga memberikan rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Putusan perkara yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora ini dibacakan pada Selasa (20/8/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
guys ini temen siapa….#KawalPutusanMK#TolakPilkadaAkal2an #TolakPolitikDinasti
— ez (@lovje0) August 22, 2024
pic.twitter.com/kNVfIKmByu
Mahkamah menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:
- provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut;
- provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di provinsi tersebut;
- provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut;
- provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di provinsi tersebut;
Ini suasana di sekitar Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta yang diambil melalui drone, Kamis (22/8/2024).
— Narasi Newsroom (@NarasiNewsroom) August 22, 2024
📹: @/Ilhamapriyanto
| Narasi Daily pic.twitter.com/N5bXmRt3o9
Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota:
- kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut;
- kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
- kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
- kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di kabupaten/kota tersebut.
“Menyatakan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Suhartoyo.
(asr)