Prospek Ekonomi Tiongkok Suram, OPEC Menurunkan Prediksi Permintaan Minyak

Huang Yimei/Chang Chun/Chen Jianming

Situasi ekonomi Tiongkok sedang tegang dengan berita negatif yang terus bermunculan. Baru-baru ini, selain penurunan utang investasi langsung asing sebesar hampir 15 miliar dolar AS pada kuartal kedua, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) juga menurunkan prediksi permintaan minyak global tahun ini karena ketidakpastian prospek ekonomi Tiongkok.

Permintaan domestik Tiongkok yang tidak mencukupi menyebabkan ekonomi stagnan dalam jangka panjang, yang mengurangi minat investasi asing.

Menanggapi masalah ekonomi Tiongkok, Dewan Urusan Daratan Taiwan pada 15 Agustus merilis “Laporan Situasi Daratan Tiongkok” untuk kuartal kedua, yang menyatakan bahwa pertumbuhan PDB Tiongkok pada kuartal kedua tahun ini sebesar 4,7%, lebih rendah dari yang diperkirakan; investasi langsung asing terus melambat, turun 29,1% per tahun; utang pemerintah terus meningkat; sektor perumahan, perusahaan swasta, dan investasi asing tetap lemah, ditambah dengan meningkatnya friksi perdagangan antara Tiongkok dan negara-negara lain yang menghambat pertumbuhan ekspor. 

Menurut perkiraan berbagai lembaga internasional, tingkat pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada tahun 2024 diperkirakan berada dalam kisaran 4,5% hingga 5,2%, dengan rata-rata 4,9%, yang menunjukkan prospek ekonomi yang tidak optimis.

Pakar keuangan Taiwan, Huang Shicong, berpendapat bahwa ekonomi Tiongkok belum mencapai titik terendah.

“Dengan pemilihan presiden AS yang sedang berlangsung, kebijakan baru belum banyak dikeluarkan. Namun, setelah presiden baru dilantik, diyakini akan ada tindakan baru. Baik itu Kamala Harris atau Donald Trump,  mereka akan meningkatkan tekanan tarif terhadap Tiongkok. Dampak terhadap Tiongkok mungkin belum sepenuhnya terasa saat ini. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa situasi terburuk mungkin baru akan terjadi setelah presiden baru AS mengambil kebijakan baru terhadap Tiongkok,” ujarnya.

Biro Statistik Nasional Tiongkok mengumumkan pada 15 Agustus bahwa ekonomi Tiongkok tidak dapat mempercepat pertumbuhannya. Pemulihan pada  Juli masih tidak merata karena konsumsi masyarakat masih tertinggal dibandingkan dengan aktivitas industri dan investasi. Biro Statistik mengakui bahwa tekanan terhadap jumlah lapangan kerja masih ada.

“Saat ini, banyak lembaga pemikir domestik dan internasional percaya bahwa dalam jangka menengah, tingkat pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan terus menurun. Perlu dicatat bahwa data yang mereka gunakan adalah data resmi dari pemerintah tiongkok, tetapi data ini banyak dipertanyakan. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebenarnya negatif, dan ekonomi Tiongkok mungkin telah memasuki tren kontraksi jangka panjang. Saat ini, yang menjadi perhatian bukan lagi seberapa besar tingkat pertumbuhan, tetapi seberapa cepat kontraksi ini semakin parah,” ujar Kolumnis Epoch Times, Wang He.

Data dari Administrasi Valuta Asing Negara Tiongkok pada 9 Agustus menunjukkan arus keluar modal asing sebesar 14,8 miliar dolar AS, yang mencatat rekor tertinggi dalam sejarah. Bloomberg mencatat bahwa data ini juga mencerminkan tren pergerakan laba perusahaan asing dan perubahan skala bisnis mereka di Tiongkok.

“Tiongkok saat ini adalah salah satu dari sedikit negara kreditur di dunia, dengan aset bersih di luar negeri lebih dari 2 triliun dolar AS. Dalam situasi saat ini, di mana ekonomi domestik Tiongkok memburuk, banyak perusahaan harus melakukan ekspansi global, dan pihak berwenang Tiongkok juga secara aktif mendorong hal ini. Dalam konteks ini, investasi perusahaan Tiongkok di luar negeri, sebenarnya terbagi dalam dua kategori: yang pertama adalah dorongan yang disengaja oleh pemerintah Tiongkok, dan yang kedua adalah pelarian modal yang berada di luar kendali pemerintah Tiongkok. Kini pelarian modal dari Tiongkok cukup serius,” kata Wang He.

“Banyak perusahaan besar Tiongkok telah pindah ke luar negeri. Mereka mengatakan dikarenakan kebutuhan rantai pasokan atau alasan lainnya, tetapi sebenarnya, perusahaan selalu mencari keuntungan. Saat ini, produk-produk yang diekspor dari Tiongkok, seperti industri otomotif, dikenakan tarif oleh Uni Eropa, dan banyak negara memberlakukan hambatan perdagangan. Amerika Serikat juga melakukan hal yang sama. Dalam situasi seperti itu, banyak perusahaan otomotif lebih memilih untuk memproduksi di luar negeri, seperti di Thailand atau Meksiko. Banyak alasan mengapa mereka memproduksi di luar negeri sebenarnya bukan hanya karena kontrol ketat dari pemerintah Tiongkok, tetapi tak lebih dari kelangsungan hidup,” ujar Huang Shicong.

OPEC pada 12 Agustus menurunkan prediksi permintaan minyak global tahun ini, dengan alasan utama adalah kinerja ekonomi Tiongkok yang mengkhawatirkan.

 “Dulu, reformasi dan keterbukaan adalah pilar utama pembangunan Tiongkok, yang didukung oleh inovasi perusahaan, peluang kerja yang diciptakan, dan peluang baru yang muncul, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat. Oleh karena itu, hilangnya vitalitas perusahaan atau bahkan hilangnya perusahaan secara keseluruhan akan sangat mempengaruhi ekonomi Tiongkok. Perusahaan adalah elemen utama dalam reformasi dan keterbukaan ekonomi, dan tanpa mereka, akan sulit bagi negara untuk menopang pertumbuhannya sendiri,” ujar Huang Shicong.

Pada 29 Juli, Dongling Group, yang pernah menduduki peringkat 205 dalam daftar “500 Perusahaan Terbesar Tiongkok 2023”, mengajukan kebangkrutan di pengadilan. Grup ini memiliki lebih dari 100 perusahaan anggota, total aset senilai RMB.40 miliar , dan lebih dari 18.000 karyawan yang menghadapi pemutusan hubungan kerja. (Hui)