Aksi Protes di Tiongkok Meningkat Secara Signifikan di Kuartal ke-2

Alex Wu

Sebuah kelompok pemerhati hak asasi manusia nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat mencatat 805 insiden pembangkangan di Tiongkok dari April hingga Juni dalam laporan terbarunya yang diterbitkan pada 28 Agustus.  Angka tersebut meningkat 18 persen dari periode yang sama pada tahun 2023, meskipun rezim Tiongkok melakukan kontrol yang ketat.

The China Dissent Monitor (CDM) Freedom House mencatat 805 insiden pembangkangan yang terjadi di 370 kota provinsi di Tiongkok, sebagian besar terkait dengan masalah ketenagakerjaan (44 persen) dan aksi protes pemilik rumah (21 persen).

Wilayah dengan protes terbanyak adalah Provinsi Guangdong di bagian selatan (13 persen), diikuti oleh Shandong, Hebei, Henan, dan Zhejiang. Di antara kota-kota di seluruh negeri, Shenzhen, Xi’an, dan Sanya memiliki lebih banyak protes terkait masalah ekonomi. Beberapa kota lain yang memiliki angka persentase protes yang tinggi terletak di Provinsi Guangdong.

Dua perusahaan real estate Tiongkok menduduki peringkat dua teratas dalam protes terkait properti: 106 insiden yang melibatkan Country Garden, sebuah perusahaan pengembang properti yang berbasis di Guangdong yang diterpa krisis gagal bayar sejak tahun 2023, sementara 71 insiden terkait dengan Evergrande, sebuah perusahaan pengembang properti besar di Tiongkok berbasis di Shenzhen yang dilanda krisis likuidasi sejak tahun 2020 dan mengalami gagal bayar pada tahun 2023.

Bulan Januari 2024, sebuah video menunjukkan pegawai perusahaan listrik di Tiongkok berdemo untuk menuntut pembayaran gaji. (video screenshot)

Meledaknya aksi protes ini disebabkan oleh mata pencaharian masyarakat yang terkena dampak serius, seperti berbagai proyek real estat yang belum selesai, penutupan tempat kerja secara tiba-tiba, atau ketidakmampuan untuk membayar gaji, kata laporan tersebut.

Ekonomi Tiongkok memasuki stagnasi setelah empat dekade pembangunan meskipun ada langkah intervensi dari Beijing, karena tidak dapat menyelesaikan masalah utama yang menghambat pertumbuhan ekonomi, termasuk krisis real estat, perang dagang dengan Amerika Serikat, pengekangan rezim terhadap sektor swasta, dan dampak negatif jangka panjang dari lockdown dan pembatasan COVID-19 yang keras.

Demonstran Muslim Tiongkok dalam kebuntuan dengan polisi anti huru hara di luar Masjid Najiaying di kota Nagu di Provinsi Yunnan, . 27 Mei 2023. (Tangkapan layar melalui The Epoch Times)

The China Dissent Monitor (CDM) Freedom House juga mencatat aksi protes di daerah pedesaan terkait penggusuran paksa dan pengambilalihan lahan, serta protes yang melibatkan pengemudi taksi di kota-kota atas kenaikan tarif yang dilakukan oleh perusahaan taksi, di antara yang lainnya.

Krisis Legitimasi PKT Semakin Mendalam

Berbagai aksi protes tersebut ditumpas oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT), karena pihak berwenang khawatir bahwa “aksi-aksi protes tersebut dapat menimbulkan risiko politik yang lebih besar,” tulis laporan tersebut.

Para pengamat Tiongkok mengatakan bahwa meningkatnya aksi protes di Tiongkok meskipun PKT melakukan kontrol yang ketat terhadap masyarakat menunjukkan bahwa PKT sedang menghadapi krisis legitimasi.

Pada 28 Februari 2023, para pegawai Biro Perpajakan Kota Zhenjiang, Provinsi Jiangsu membentangkan spanduk berisikan tuntutan pembayaran gaji mereka. (video screenshot dari Internet)

Tseng Chien-Yuan, ketua dewan New School for Democracy, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa situasi saat ini di Tiongkok tidak seperti di tempat lain, bahkan kelas menengah, termasuk pemilik properti, telah bangkit untuk melakukan protes, yang menunjukkan bahwa situasi ekonomi Tiongkok sangat serius.

“Orang-orang dipaksa hidup dalam kemiskinan, dan legitimasi kekuasaan PKT yang dibangun di atas pembangunan ekonomi sangat lemah. Di bawah pengawasan yang ketat, orang-orang masih tetap keluar untuk melakukan protes, yang merupakan tanda peringatan akan terjadinya krisis besar,” katanya.

Orang tua murid kelas atas di Sekolah Dasar Optics Valley 15th memprotes anak-anak mereka yang dipindahkan ke sekolah negeri yang berjarak dua mil dari rumah mereka pada 3 Juni 2023, di kota Wuhan. (Courtesy of interviewee)

Wu, Se-Chih, seorang peneliti di Asosiasi Kebijakan Lintas Selat di Taiwan, mengatakan kepada The Epoch Times, “Secara umum, aksi protes sosial terjadi ketika kesabaran masyarakat telah mencapai batasnya.”

Dia mengatakan bahwa jumlah protes yang sebenarnya jauh lebih besar daripada yang dapat dikumpulkan oleh CDM karena kontrol PKT dan sensornya.

Freedom House mengakui adanya pembatasan media di Tiongkok  dan “risiko yang terkait dengan pengumpulan informasi dari dalam negeri mengenai perbedaan pendapat dan protes” dalam laporan tersebut.

China Dissent Monitor “dibuat sebagai respon terhadap kesenjangan informasi” melalui data yang dikumpulkan dari “laporan berita, organisasi masyarakat sipil, dan media sosial yang berbasis di Tiongkok,” serta sumber-sumber lainnya.

Wu mengatakan bahwa PKT selalu menumpas aksi protes dan memblokir informasi agar tidak sampai ke publik dan dunia luar, dan juga “menggunakan metode lain untuk meredakan reaksi keras dari rakyat atau masyarakat. Namun PKT sekarang memiliki lebih sedikit cara yang dapat digunakan, terutama karena PKT sedang menghadapi masalah keuangan yang serius.”

Dia mengatakan ketika masyarakat Tiongkok secara keseluruhan jatuh ke dalam keputusasaan ekonomi, akan lebih sulit bagi PKT mengendalikan kekuatan rakyat untuk melawan rezimnya. “Pada akhirnya, PKT akan runtuh karena kerusuhan sosial,” dia memprediksi.

Luo Ya berkontribusi dalam laporan ini.