Transformasi Eropa yang Dramatis: Swiss Menyerukan Akhir dari 500 Tahun Netralitas, Belarus Bermain di Dua Kaki

Aboluowang.com

Selama lebih dari dua tahun konflik Rusia-Ukraina, tren di Eropa semakin jelas, dengan banyak perubahan yang terjadi.

Pada 31 Agustus, Kementerian Pertahanan Swiss menyarankan untuk mengakhiri kebijakan netralitas Swiss yang telah berlangsung selama 500 tahun, sementara Komite Keamanan Swiss menyerukan tinjauan terhadap netralitas negara tersebut yang telah dipertahankan sejak 1515.

Jelas, Swiss telah menyadari bahwa dalam situasi perubahan di Eropa, negara yang netral mungkin tidak bisa lagi netral, dan kesadaran ini lebih kuat daripada saat Perang Dunia I dan II. Komite Keamanan Swiss dalam sebuah laporan menyebutkan bahwa Swiss telah menjadi target perang hibrida, dan seluruh masyarakat, bukan hanya militer, harus bersiap menghadapi kemungkinan konflik. 

Laporan itu juga merekomendasikan agar Swiss memperkuat hubungan dengan Uni Eropa dan NATO, meningkatkan anggaran militer, dan memperluas kerja sama dengan Barat dalam menghadapi ancaman yang semakin besar dari Rusia. Selain itu, Komite Keamanan Swiss sedang mendorong penghapusan larangan ekspor ulang senjata, dan rekomendasi ini akan menjadi dasar strategi keamanan baru negara tersebut pada 2025.

Pada awal bulan ini, Dewan Federal Swiss menyetujui partisipasi dalam dua proyek kerja sama permanen Uni Eropa (PESCO), salah satunya adalah proyek mobilitas militer untuk memperlancar pergerakan di perbatasan, dan lainnya adalah proyek pertahanan siber. 

Swiss sedang aktif berintegrasi ke dalam Eropa dan NATO, memberikan kontribusi kepada Eropa agar di masa depan dapat memperoleh manfaat dari bantuan mitra-mitra Eropa. Meskipun Swiss tidak antusias terhadap perang, negara ini khawatir bahwa Rusia dapat menjadi ancaman bagi seluruh Eropa, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kepentingan Swiss, sehingga mereka mempertimbangkan kembali posisi pertahanannya untuk berintegrasi dengan Eropa.

Negara Eropa lainnya yang menarik perhatian adalah Belarus, yang memainkan peran dua sisi dan tidak menentu. Pada tahun 2022, Belarus mengizinkan Rusia menggunakan wilayahnya untuk menyerang Ukraina, namun kini Presiden Belarus, Alexander Lukashenko, semakin tidak menentu. Awalnya, dengan berbagai alasan, Belarus menolak mengirim pasukan ke Ukraina, namun kemudian mengirimkan pasukan ke perbatasan untuk menunjukkan sikap, mengirimkan ucapan selamat pada Hari Kemerdekaan Ukraina, dan untuk pertama kalinya menembak jatuh drone militer Rusia yang terbang di atas wilayah Belarus. Dari awalnya mendukung Rusia secara penuh hingga sekarang menjadi bimbang, sikap Lukashenko mengungkapkan banyak hal.

Negara Eropa lainnya, Hungaria, tetap teguh menentang Ukraina. Mereka tidak hanya menentang pemberian bantuan ekonomi dan militer kepada Ukraina, tetapi juga sering mengancam Ukraina.

 Pada 31 Agustus, Direktur Politik dan Asisten Dekat Perdana Menteri Hungaria, Balázs Orbán, yang juga anggota parlemen Hungaria, menyatakan bahwa meskipun Harris memenangkan pemilihan presiden AS, sikap Hungaria terhadap Ukraina tidak akan berubah. 

Menurut Hungaria siapa pun yang memenangkan pemilihan presiden AS, pemerintahan AS berikutnya akan melanjutkan kerja sama dengan Rusia, dan Ukraina pasti akan gagal. Orbán berulang kali menyatakan dukungan untuk Trump dalam pemilihan presiden AS, seolah-olah Hungaria telah memilih pihaknya dan akan tetap teguh pada pilihan tersebut.

Berbeda dengan sikap keras Hungaria, Serbia lebih fleksibel. Pada 30 Agustus, Serbia mengumumkan pembelian 12 jet tempur “Rafale” buatan Prancis seharga 2,7 miliar Euro, dan ditambah dengan berbagai pernyataan tak biasa dari Belarus sebelumnya, hal ini menunjukkan bahwa sekutu Rusia semakin berkurang.

 Pada 31 Agustus lalu, Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen, menyatakan bahwa Ukraina harus memenangkan perang ini, dan ini adalah pandangan seluruh Eropa, hanya ada satu negara yang menentang. 

Meskipun Frederiksen tidak menyebutkan secara eksplisit negara yang dimaksud, banyak pihak yakin bahwa Hungaria adalah satu-satunya negara Eropa yang menentang Ukraina dan tidak menginginkan kemenangan Ukraina. 

Frederiksen menekankan bahwa jika Ukraina kalah, maka seluruh Eropa akan gagal. Berbeda dengan sikap Amerika Serikat yang kurang aktif dalam mendukung Ukraina, mayoritas negara Eropa sepakat bahwa membantu Ukraina memenangkan perang adalah upaya untuk menghindari biaya yang lebih besar di masa depan. (jhon)