Secretchina.com
Dalam konflik yang berkelanjutan antara Israel dan Hamas, selain para pejabat tinggi Hamas yang terus diburu, keselamatan para sandera juga menjadi fokus utama. Saat Pasukan Pertahanan Israel (IDF) meningkatkan upaya penyelamatan sandera, Hamas mengancam akan mengeksekusi lebih banyak sandera jika Israel melanjutkan operasi penyelamatan.
Pada 3 September, militer Israel mengumumkan bahwa komandan Batalyon Furqan dari Hamas telah terbunuh, sehingga dari 54 nama dalam daftar “kartu remi,” hanya tersisa 24 orang yang belum dimusnahkan atau belum dikonfirmasi terbunuh.
Pada 2 September, juru bicara militer Hamas, Abu Obeida, menyatakan bahwa Hamas telah memberikan instruksi baru kepada anggota yang menjaga sandera, yaitu jika pasukan Israel mendekat, mereka akan melaksanakan “perintah khusus,” yakni mengeksekusi sandera. Pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran, mengingat pada Juni lalu, setelah Israel berhasil menyelamatkan empat sandera, Hamas mengumumkan akan memperketat kontrol terhadap para sandera. Kini, hal itu terbukti benar setelah Hamas mengumumkan pada 2 September bahwa mereka telah membunuh enam sandera untuk menghentikan operasi penyelamatan Israel.
Menurut laporan The Wall Street Journal, langkah ini merupakan pedang bermata dua. Meskipun mungkin membuat Israel mundur, hal ini dapat menyebabkan Hamas semakin terisolasi dan mempengaruhi posisinya di panggung internasional. Selain itu, Presiden AS Joe Biden mengakui bahwa upaya penyelamatan sandera “belum memadai.”
Saat ini, di Israel, ratusan ribu warga turun ke jalan, menuntut pemerintah agar segera mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas untuk membebaskan sandera.
Di bawah tekanan besar dari dalam dan luar negeri, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, meminta maaf kepada keluarga sandera secara terbuka dan meminta maaf atas kegagalan pemerintah, sembari berjanji bahwa Hamas akan membayar harga yang mahal. Namun, ia menegaskan bahwa ia tidak akan menggunakan penarikan pasukan dari koridor Philadelphai di selatan Gaza sebagai tawar-menawar, karena koridor tersebut merupakan jalur kehidupan penting bagi Hamas, dan militer Israel harus tetap mengendalikan wilayah strategis tersebut untuk memutus pasokan senjata dan amunisi Hamas.
Menurut laporan Reuters, pada 4 September, Amerika Serikat mengumumkan akan mengajukan tuntutan pidana terhadap enam pejabat tinggi Hamas. Alasan tuntutan ini adalah serangan teroris yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober tahun lalu, yang menewaskan 1.200 orang, termasuk setidaknya 40 warga negara Amerika.
Menurut laporan CNN dan Reuters, enam pemimpin Hamas ini menghadapi tujuh dakwaan, termasuk terorisme, konspirasi untuk membunuh warga negara Amerika, dan konspirasi menggunakan senjata pemusnah massal yang menyebabkan kematian.
Dari enam terdakwa tersebut, yang masih hidup termasuk pemimpin Hamas Yahya Sinwar yang bersembunyi di Gaza, mantan pemimpin Khaled Meshaal yang kini bekerja di Qatar, dan pejabat senior Hamas di Lebanon, Ali Baraka. Mereka yang telah meninggal termasuk mantan pemimpin politik Ismail Haniyeh yang dibunuh di Iran pada Juli, komandan Brigade Qassam Mohammed Deif yang terbunuh di Gaza oleh militer Israel pada Juli, dan wakil komandan Brigade Qassam Marwan Issa yang terbunuh pada bulan Maret.
Jaksa Agung AS, Merrick Garland, menyatakan dalam pernyataannya bahwa para terdakwa ini memiliki senjata, dukungan politik, dana dari pemerintah Iran, serta dukungan dari Hizbullah, yang memungkinkan Hamas menyerang Israel dan membunuh warga sipil untuk mencapai tujuan mereka.
Diketahui bahwa militer AS telah mengirimkan dua kapal perang dari pangkalan Oman untuk menunjukkan dukungan pertahanan terhadap Israel. Garland juga menegaskan bahwa dakwaan yang diumumkan ini hanya merupakan sebagian dari tindakan yang diambil terhadap serangan Hamas, dan ini bukan aksi terakhir mereka. Selain itu, Amerika Serikat menyatakan akan mengajukan isu sandera ke PBB. (jhon)