Memasukkan Data ke Dalam Kotak Hitam: The Economist Memperingatkan Ekonomi Tiongkok Mungkin Mengulangi Kesalahan Uni Soviet

Secretchina.com

Baru-baru ini, majalah The Economist dari Inggris menyatakan bahwa salah satu masalah utama yang dihadapi ekonomi Tiongkok saat ini adalah informasi yang sangat dikontrol, kendali politik yang terpusat, prioritas keamanan nasional, dan budaya pemerintahan yang didasarkan pada rasa “takut”. Hal ini berpotensi menyebabkan sistem informasi yang diandalkan oleh para pemimpin menjadi tidak berfungsi.

Dalam artikel yang diterbitkan The Economist, disebutkan bahwa pengalaman sejarah menunjukkan bahwa aliran informasi yang bebas dapat membantu meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, mengurangi risiko kesalahan besar, memajukan masyarakat, serta meningkatkan kemampuan negara dalam menghadapi tantangan.

Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, para pemimpin Tiongkok mencoba memerintah dengan cara “sebagian terbuka namun tetap terkontrol” untuk menghindari nasib kehancuran seperti Uni Soviet. Namun, dengan perkembangan teknologi, beberapa patriot setia kepada Partai menganggap bahwa teknologi baru seperti big data dan kecerdasan buatan (AI) dapat membantu menciptakan sistem pemerintahan berteknologi tinggi dan efektif, yang memungkinkan mereka mewujudkan idealisme yang gagal dicapai oleh Uni Soviet.

Namun, menurut analisis The Economist, saat ini Partai Komunis Tiongkok mungkin mengikuti jejak Uni Soviet dan membuktikan bahwa rezim otoriter tidak efisien. The Economist menjelaskan bahwa untuk mempertahankan dominasi di bidang politik, para pemimpin Uni Soviet melakukan pengendalian yang kejam, menekan berbagai informasi, dan akhirnya kehilangan pemahaman yang akurat tentang dunia nyata. 

Sekarang, ekonomi Tiongkok menghadapi masalah serupa: kebijakan ekonomi didasarkan pada informasi apa, seberapa andal, akurat, dan relevan informasi tersebut dengan kenyataan? Selain itu, apa yang sebenarnya diketahui pemerintah yang tidak diketahui oleh masyarakat umum?

Baru-baru ini, The Economist menerbitkan serangkaian artikel yang menganalisis masalah mendasar dalam ekonomi Tiongkok, dengan fokus pada aliran dan kualitas informasi dalam proses pengambilan keputusan. Artikel ini juga membahas sistem “informasi rahasia” di kalangan badan negara Partai Komunis Tiongkok.

Menurut artikel tersebut, data ekonomi resmi Tiongkok seringkali memiliki kekurangan. Mantan Perdana Menteri Li Keqiang pernah meragukan akurasinya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, situasinya semakin memburuk, termasuk adanya kontradiksi dalam data yang menyebabkan Departemen Keuangan AS meminta penjelasan dari pejabat Tiongkok. Beberapa informasi tidak hanya lebih jarang dipublikasikan tetapi juga “disesuaikan”, sementara informasi sensitif semakin ditekan dan data yang dirilis kepada publik semakin tidak sesuai dengan kenyataan.

The Economist menyatakan bahwa semakin rapuh ekonomi, semakin banyak informasi yang ditekan. Bahkan pendapat yang disampaikan oleh para ahli yang pro-pemerintah bisa dibungkam jika interpretasi mereka tidak diakui oleh otoritas. Untuk menghindari mempermalukan pemimpin, data resmi bisa dengan mudah dimanipulasi. Sebagai contoh, seorang profesor dari Universitas Peking tahun lalu secara terbuka menyatakan bahwa data pengangguran resmi tidak mencerminkan 16 juta pemuda yang berhenti mencari pekerjaan, sehingga jika mereka dihitung, tingkat pengangguran kaum muda akan melebihi 46%. Setelah itu, Biro Statistik Nasional Tiongkok dengan cepat menghentikan publikasi data pengangguran pemuda perkotaan, dan baru mulai merilis data yang “disesuaikan” pada awal tahun ini.

Pada 30 April, The Wall Street Journal melaporkan bahwa Tiongkok, negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, telah memasukkan data ekonomi ke dalam “kotak hitam”, yang membuat perusahaan dan investor global merasa tidak nyaman. Selain itu, pejabat tampaknya lebih tertarik mengontrol cara masyarakat membahas COVID-19 daripada memahami dampak pandemi dan kebijakan pengendalian seperti lockdown terhadap aktivitas ekonomi.

Terkait mekanisme “informasi rahasia” di berbagai tingkatan pemerintahan Partai, The Economist menjelaskan bahwa meskipun informasi rahasia bisa lebih kuat dibandingkan dengan informasi yang dipublikasikan, efektivitasnya masih dipertanyakan.

The Economist juga menyebutkan bahwa sumber informasi rahasia ini mencakup akademisi, think tank, dan media. Misalnya, wartawan dari Xinhua memproduksi laporan yang memuji pemerintah namun dengan nilai berita yang rendah. Tetapi, artikel yang mereka tulis untuk laporan rahasia bisa sangat berbeda. Seorang penulis laporan rahasia mengungkapkan bahwa bisa menulis laporan rahasia adalah sebuah “kehormatan” yang diperoleh melalui persaingan yang ketat. Seorang peneliti mengatakan bahwa dia bisa berbicara jujur tentang masalah dalam administrasi, seperti perintah pemerintah yang bertentangan, yang menyebabkan sulitnya implementasi. Peneliti lainnya menyebutkan bahwa materi rahasia membantu para pejabat memahami masalah besar seperti krisis pasar properti dari sudut pandang lokal.

Namun, The Economist menekankan bahwa mendapatkan informasi adalah satu hal, sedangkan apakah para pejabat bisa benar-benar memahami dan menggunakan informasi tersebut adalah hal lain. Selain itu, sulit untuk menilai seberapa banyak informasi rahasia dan saran yang sampai ke pemimpin tertinggi Partai Komunis Tiongkok. Para penulis laporan rahasia mungkin berbangga atas pengaruh pribadi mereka, tetapi saat ini tidak ada data yang andal untuk mengukur dampak spesifik dari materi rahasia terhadap kebijakan publik.

Ada “aturan tidak tertulis” dalam mekanisme informasi rahasia yang mendorong penulis laporan untuk menyenangkan para penguasa agar membuat mereka senang. Seorang peneliti mengungkapkan bahwa semakin positif analisis yang dia buat, semakin besar kemungkinannya dianggap sebagai “laporan yang bagus”. Meskipun mereka bisa membahas masalah yang dihadapi negara, mereka tetap berhati-hati agar tidak secara langsung mengkritik para pemimpin. Informasi yang disebarluaskan melalui mekanisme rahasia juga sulit diverifikasi secara objektif.

The Economist menambahkan bahwa selain dari lingkaran kekuasaan tertinggi, tidak ada yang tahu jenis informasi rahasia apa yang dibaca oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping dan apa reaksinya. Proses pembuatan kebijakan ekonomi Tiongkok selalu kurang transparan, dan selama pertumbuhan ekonomi kuat serta pembuat kebijakan bersikap pragmatis, masalah ini tidak terlalu menonjol. Namun, ketika pertumbuhan ekonomi melambat dan birokrasi semakin ideologis, kekurangan informasi berkualitas menjadi sangat mengkhawatirkan. Akhirnya, bukan hanya dunia luar yang berada dalam ketidakpastian, bahkan para pemimpin Tiongkok sendiri bisa kesulitan membedakan keputusan yang baik dari yang buruk. (jhon)

FOKUS DUNIA

NEWS