Raja Malaysia Berterima Kasih Kepada Xi Jinping Atas Transplantasi Hati untuk Putranya, Warganet Mengecam Partai Komunis Tiongkok  yang Memperdagangkan Nyawa Manusia

Raja Malaysia, Sultan Ibrahim Iskandar, mengunjungi Tiongkok dan secara langsung mengucapkan terima kasih kepada Xi Jinping atas bantuan yang diberikan saat putranya menjalani transplantasi hati di Guangzhou. Warganet bertanya-tanya  siapa pendonor hati tersebut dan mengecam pemerintahan partai Komunis Tiongkok yang memperdagangkan nyawa rakyat jelata sebagai hadiah untuk pejabat asing

oleh Luo Tingting/ Zhu Xinrui – NTD

Pada 20 September 2024, Sultan Ibrahim Iskandar bertemu dengan Xi Jinping di Beijing. Sultan Ibrahim, yang merupakan Raja Malaysia sekaligus Yang di-Pertuan Agong, berkunjung ke Tiongkok atas undangan Xi Jinping untuk merayakan 50 tahun hubungan diplomatik antara Malaysia dan Tiongkok.

Media pemerintah PKT hanya menekankan “persahabatan Tiongkok-Malaysia” dalam pemberitaannya tentang pertemuan tersebut. Namun, beberapa media berbahasa Tionghoa di Malaysia melaporkan beberapa detail pribadi dari pertemuan tersebut.

Menurut siaran pers dari Kantor Berita Kerajaan Malaysia, Sultan Ibrahim dalam pertemuan tersebut berterima kasih kepada pemerintah PKT atas perlakuan khusus yang diberikan ketika Almarhum Putra Mahkota Johor, Tunku Abdul Jalil, menerima perawatan di Tiongkok.

Sultan Ibrahim menyatakan bahwa meskipun putranya adalah warga negara asing, pihak berwenang di Beijing memberikan pengecualian khusus, memungkinkan putranya untuk menerima transplantasi hati di Tiongkok.

Menurut laporan media Malaysia, Tunku Abdul Jalil didiagnosis menderita kanker hati pada tahun 2014 dan menjalani operasi transplantasi hati yang sukses di Rumah Sakit Sun Yat-sen di Guangzhou pada November tahun tersebut dengan didampingi keluarga kerajaan. Namun, pada Desember 2015, dia meninggal karena kambuhnya kanker, pada usia 25 tahun.

Berita mengenai ucapan terima kasih Sultan Ibrahim kepada pemerintah Tiongkok tersebar di media sosial berbahasa Tionghoa, dan warganet ramai-ramai mempertanyakan “dari mana asal hatinya”, serta mengutuk pemerintahan partai komunis  Tiongkok yang menggunakan organ rakyat miskin sebagai hadiah untuk pejabat asing demi mendapatkan dukungan politik.

Mantan jurnalis Tiongkok, Zhao Lanjian, di platform X menulis pesan bahwa Tiongkok kini menjadi tujuan utama bagi para elit global untuk melakukan transplantasi organ, dan Partai Komunis Tiongkok (PKT) memanfaatkan hal ini sebagai bagian dari strategi “front persatuan” di seluruh dunia.

Dia mengatakan, “Keinginan para elit global adalah memiliki organ yang lebih muda agar tampak lebih muda. Ini telah menjadi salah satu syarat penting bagi para pemimpin dunia dan elit global untuk menjalin hubungan baik dengan PKT dan menukar keuntungan pribadi.”

Warganet juga meninggalkan berbagai komentar, mengecam pemerintahan partai Komunis Tiongkok: “Belt and Road  sekarang telah ditingkatkan menjadi satu hati, satu organ”, “Diplomasi panda sudah usang, diplomasi organ kini menjadi cara baru untuk menerapkan komunitas dengan nasib bersama umat manusia”, “Segala sesuatu yang dimiliki rakyat Tiongkok adalah milik negara, negara melayani partai, dan partai melayani keluarga Zhao”, “Siapa sebenarnya pengkhianat?”, “Rakyat Tiongkok adalah tambang manusia, sangat bermanfaat! Pada saat damai, mereka bekerja seperti sapi, dan pada saat perang, mereka menjadi umpan meriam. Organ yang tumbuh di tambang manusia ini adalah suku cadang yang siap diberikan kepada siapa saja.”

Menurut penyelidikan bertahun-tahun yang dilakukan oleh World Organization to Investigate the Persecution of Falun Gong (WOIPFG) atau Organisasi Internasional untuk Menyelidiki Penganiayaan terhadap Falun Gong yang berbasis di New York, setelah PKT mulai menganiaya praktisi Falun Gong, mereka secara besar-besaran melakukan pengambilan organ hidup dari praktisi ini. Bahkan, dengan cepat mengembangkan industri transplantasi organ yang besar.

Praktisi Falun Gong, yang juga dikenal sebagai Falun Dafa, telah dianiaya secara brutal di Tiongkok sejak tahun 1999. Mereka telah ditangkap, dipenjara, dibunuh, dan menjadi target pengambilan paksa organ tubuh mereka untuk mendapatkan keuntungan dari Partai Komunis Tiongkok.

Kejahatan ini telah didokumentasikan dalam karya-karya investigasi, termasuk Bloody Harvest oleh pengacara David Kilgour dan David Matas dan The Slaughter oleh Ethan Gutmann.

Laporan juga menunjukkan bahwa kelompok korban yang terlibat dalam rantai industri hitam ini semakin luas, termasuk orang-orang Uighur di Xinjiang, orang Tibet, para pembangkang politik, tunawisma, dan orang-orang yang diperdagangkan. 

Pada tahun 2019, sebuah pengadilan independen di London menyimpulkan setelah meninjau bukti-bukti bahwa pengambilan organ secara paksa telah terjadi di Tiongkok dalam skala yang signifikan, dengan praktisi Falun Gong sebagai target utama.

Badan legislatif di Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat sebelumnya telah mengutuk praktik pengambilan organ secara paksa dari kelompok agama minoritas di Tiongkok.

Kasus hilangnya siswa sekolah menengah Jiangxi, Hu Xinyu, yang misterius  meningkatkan perhatian warganet terhadap dugaan bahwa elit PKT mengincar organ anak muda. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak remaja di  daratan Tiongkok dilaporkan hilang, dan pemeriksaan darah di sekolah juga dicurigai terkait dengan pengambilan organ hidup-hidup. (hui)