EtIndonesia. Seorang anggota kru di atas kapal ekspedisi Arktik Inggris tahun 1845 akhirnya diidentifikasi oleh para peneliti dari Universitas Waterloo dan Universitas Lakehead – semua berkat analisis DNA dan silsilah.
Kapten James Fitzjames diyakini sebagai orang yang memiliki sisa-sisa kerangka tersebut.
Dia telah bergabung dengan penjelajah Inggris Sir John Franklin dalam usaha menemukan Lintasan Barat Laut melalui Arktik bersama dengan 129 orang di atas kapal HMS Terror dan HMS Erebus (yang terakhir dikomandoi oleh Fitzjames).
Namun, setelah tiga tahun, perjalanan tersebut akhirnya berakhir dengan bencana dan tragedi ketika kapal-kapal tersebut terjebak dalam es dan meskipun Fitzjames dan 105 anggota kru telah berupaya untuk meninggalkan Arktik, tidak seorang pun dalam ekspedisi tersebut selamat.
Sejak saat itu, sisa-sisa kerangka yang tidak teridentifikasi (sekitar 450 tulang dari 13 pelaut) telah ditemukan di Pulau King William, Nunavut.
Identitas Fitzjames dapat dikonfirmasi dengan sampel DNA dari keturunan mendiang kapten yang masih hidup yang kemudian dibandingkan dengan profil kromosom Y dari gigi yang ditemukan di Pulau King William, Kanada.
“Kami menyimpulkan bahwa DNA dan bukti silsilah mengonfirmasi identitas jenazah tersebut sebagai milik Kapten James Fitzjames, HMS Erebus,” para peneliti menjelaskan dalam sebuah studi baru di Journal of Archaeological Science.
Fitzjames bukan satu-satunya anggota pelayaran yang teridentifikasi karena sebelumnya, para peneliti berhasil mengidentifikasi insinyur HMS Erebus, John Gregory.
Namun, bagaimana tepatnya para ilmuwan mengetahui bahwa Fitzjames adalah korban kanibalisme?
Saat mempelajari sisa-sisa kerangka sang Kapten, para peneliti mencatat bagaimana tulang rahang bawah – tulang terbesar di tengkorak – mengalami beberapa bekas sayatan yang menunjukkan bahwa para penyintas yang tersisa terpaksa memakan tubuh Fitzjames setelah kematiannya.
“Ini menunjukkan bahwa dia [Fitzjames] meninggal sebelum beberapa pelaut lainnya yang tewas dan bahwa pangkat maupun status bukanlah prinsip yang mengatur di hari-hari terakhir ekspedisi yang putus asa saat mereka berusaha menyelamatkan diri,” jelas Dr. Douglas Stenton, profesor antropologi tambahan di Waterloo.
Namun spekulasi tentang kanibalisme bermula pada tahun 1850-an saat penduduk lokal Inuit memberi tahu para peneliti bahwa mereka telah melihat bukti tentang hal ini – yang sangat mengejutkan orang Eropa.
Arkeolog Anne Keenleyside pada tahun 1997 menemukan bukti yang menunjukkan bahwa setidaknya empat orang yang tewas dalam ekspedisi yang gagal itu telah menjadi korban kanibalisme.
Dr. Robert Park, seorang profesor antropologi di University of Waterloo mencatat bagaimana kita seharusnya berempati terhadap betapa putus asanya para penyintas karena mereka tidak punya pilihan lain selain bertahan hidup atau melakukan kanibalisme hingga kelaparan.
“Ini menunjukkan tingkat keputusasaan yang pasti dirasakan para pelaut Franklin untuk melakukan sesuatu yang mereka anggap menjijikkan,” katanya. (yn)
Sumber: indy100