Michael Wilkerson
Di tengah-tengah perekonomian domestik yang memburuk secara cepat, People’s Bank of China (PBOC), bank sentral Tiongkok, mengumumkan pada 24 September sebuah badai kebijakan stimulus moneter yang dirancang untuk menangkis potensi krisis keuangan.
Otoritas regulator mengambil serangkaian tindakan darurat tak biasa yang dimaksudkan untuk meringankan beban bank-bank di negara ini dan para pemberi pinjaman lainnya, serta para konsumen yang terhimpit, dan menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi.
Di antaranya, PBOC telah mengurangi biaya pinjaman dari bank sentral, sehingga memudahkan bank-bank untuk mengakses dana, dan menyuntikkan likuiditas setara dengan puluhan miliar dolar ke dalam sistem keuangan dalam upaya untuk menstabilkan pasar. PBOC telah menurunkan rasio cadangan wajib minimum untuk bank-bank di Tiongkok, yang mana secara efektif mengurangi jumlah modal yang harus dimiliki bank terhadap aset-aset berisiko. Langkah ini dimaksudkan untuk meningkatkan likuiditas pasar dan mempermudah bank-bank untuk memberikan pinjaman. Langkah ini juga mengurangi tekanan pada bank-bank yang lebih lemah yang mana berada di bawah tekanan dan berisiko dari cadangan modal yang sangat rendah.
Menanggapi para konsumen Tiongkok, PBOC telah menurunkan suku bunga KPR yang sudah ada dan mengurangi uang muka yang dibutuhkan untuk pembelian rumah kedua dari 25% menjadi 15%. Suku bunga deposito akan diturunkan untuk melindungi margin bank dan mendorong konsumen untuk membelanjakan uang mereka daripada menabung.
Menghadapi pasar saham yang lesu, PBOC juga telah mengumumkan sebuah fasilitas yang memungkinkan perusahaan-perusahaan pialang sekuritas dan dana investasi dapat mengakses likuiditas bank sentral untuk membeli saham. Intervensi negara untuk mendukung valuasi pasar saham ini sangat tidak lazim dan dapat mencerminkan rasa panik yang mungkin terjadi di antara pihak berwenang di Beijing.
PBOC sedang berjuang melawan gelombang tekanan deflasi yang meningkat. Perekonomian Tiongkok tidak pernah sepenuhnya pulih dari penutupan bisnis yang disebabkan oleh pandemi di pasar domestik pada tahun 2020. Tiongkok mengadopsi beberapa praktik karantina wilayah yang paling ketat di dunia, dan kebijakan “zero-COVID” dari Partai Komunis Tiongkok (PKT) membuat banyak dari pembatasan tersebut tetap berlaku hingga tahun 2022. Produktivitas menurun, dan pertumbuhan ekonomi mandek. Bagi sebagian orang, pengalaman pelatihan dan pendidikan selama bertahun-tahun menjadi sia-sia.
Pada saat yang sama, PKT mengubah arah dan mengumumkan pengendalian ekses kapitalisme yang dipersepsikan di pasar. Dengan ini muncul intervensi ekonomi yang lebih besar, yang menghasilkan efek mengerikan pada pasar keuangan dan ekonomi yang lebih luas. Investor AS dan investor asing lainnya di Tiongkok mulai melepas posisi mereka dan mengurangi eksposur ke pasar ekuitas Tiongkok-sebuah tren yang terus berlanjut sepanjang tahun ini. Harga indeks saham Tiongkok telah turun lebih dari 22% dalam tiga tahun terakhir, sebagai contoh, selama periode kinerja pasar saham yang kuat di Amerika Serikat dan Eropa.
Tahun ini, pertumbuhan pendapatan nasional melambat dan kemungkinan akan berada di bawah target nasional sebesar 5 persen. Pengangguran kaum muda berada di atas 17 persen, sebuah konsekuensi tambahan dari era COVID-19. Pertumbuhan harga rumah berubah menjadi negatif karena kelebihan persediaan dan penurunan nilai yang mengganggu pemilik rumah dan neraca bank. Pasar ekspor telah melambat karena Amerika Serikat dan negara-negara lain mempertimbangkan kembali kebijakan perdagangan mereka dengan Tiongkok. Hal ini memberikan lebih banyak tekanan pada ekonomi domestik karena konsumen yang tidak aman secara ekonomi menolak untuk membuka dompet dan membelanjakan uang mereka.
Rumor tentang meningkatnya frustrasi dan kerusuhan sosial beredar, meningkatkan taruhan bagi PKT yang berkuasa. Pihak berwenang tidak dapat membiarkan ekonomi keluar dari jalur dan tampaknya telah melakukan segala cara untuk mencegahnya.
Tindakan-tindakan kebijakan baru-baru ini oleh PBOC adalah pertanda peringatan bagi ekonomi global. Tiongkok tetap menjadi negara terpadat kedua di dunia dan ekonomi terbesar kedua. Amerika Serikat dan Eropa – yang mana masing-masing sedang berjuang dengan tantangan mereka sendiri dalam ekonomi domestik mereka – tidak kebal terhadap efek knock-on dari Tiongkok. Pertumbuhan ekonomi di Eropa stagnan, dengan banyak negara yang sudah mengalami resesi. Perekonomian AS menunjukkan tanda-tanda pelemahan, sehingga menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar bagi para gubernur The Federal Reserve untuk memotivasi mereka menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin. Terakhir kali the Fed menurunkan suku bunga dalam jumlah besar dalam satu waktu adalah pada saat gelembung “dotcom” (2000) dan krisis keuangan global (2007).
Risiko krisis keuangan di Tiongkok melampaui ekonomi dan pasar keuangan AS, meskipun risiko tersebut sudah cukup besar. Meskipun ada tantangan AS dengan Tiongkok, tidak menjadi kepentingan strategis Amerika Serikat jika Tiongkok terpuruk ke dalam depresi ekonomi.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah pendapat penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times.
Michael Wilkerson adalah penasihat strategis, investor, dan penulis. Ia adalah pendiri Stormwall Advisors dan Stormwall.com. Buku terbarunya adalah “Why America Matters: The Case for a New Exceptionalism” (2022).