AS Terapkan Tarif Baru untuk Produk Energi Surya dari 4 Negara Asia Tenggara sebagai Tanggapan Terhadap Subsidi Tiongkok

Haoyue Li

Pemerintah Amerika Serikat kemungkinan akan mengumumkan penerapan tarif baru pada produk energi surya dari Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Kamboja. Langkah ini bertujuan untuk menindak perusahaan-perusahaan Tiongkok yang menerima subsidi lintas batas dari pemerintah Tiongkok melalui negara-negara Asia Tenggara tersebut. 

Menurut laporan Reuters, Departemen Perdagangan AS diperkirakan akan mengumumkan keputusan ini pada Selasa (1/10/2024). Ini merupakan keputusan awal dari dua penyelidikan terkait kasus perdagangan tahun ini.

Pada 24 April 2024, aliansi produsen energi surya AS yang dikenal sebagai “American Alliance for Solar Manufacturing Trade Committee” mengajukan permintaan penyelidikan ke Komisi Perdagangan Internasional AS (USITC) dan Departemen Perdagangan AS. 

Mereka meminta tarif baru untuk komponen energi surya yang diimpor dari empat negara Asia Tenggara tersebut, yang diduga terkait dengan Tiongkok. Aliansi ini mengklaim bahwa impor tersebut telah merugikan industri energi surya AS.

Aliansi ini terdiri dari tujuh perusahaan, termasuk Qcells, perusahaan solusi energi asal Korea Selatan; First Solar, perusahaan asal Arizona, AS; serta Meyer Burger, salah satu produsen panel surya terbesar di Eropa.


Dalam sebuah pernyataan, aliansi tersebut menyatakan bahwa mereka berencana menciptakan puluhan ribu lapangan kerja bergaji tinggi di AS dalam beberapa tahun mendatang. Mereka berharap pemerintah AS dapat memastikan persaingan yang adil untuk melindungi investasi besar-besaran dalam industri energi surya domestik.

Perusahaan-perusahaan terkemuka dalam industri surya ini menuduh bahwa produsen dari Malaysia, Kamboja, Thailand, dan Vietnam terlibat dalam praktik yang curang. Mereka menduga bahwa perusahaan Tiongkok yang memiliki pabrik di negara-negara tersebut berusaha menghindari tarif impor yang sudah diberlakukan AS terhadap produk surya asal Tiongkok dengan mengalihkan rantai pasok mereka ke negara-negara tersebut. 

Pada tahun lalu, impor produk energi surya dari empat negara tersebut mencapai nilai yang memecahkan rekor sebesar USD 12,5 miliar, dan menyebabkan harga produk turun lebih dari 50%, mengancam industri AS.

Menurut data dari S&P Global Market Intelligence, pada kuartal keempat 2023, negara-negara tersebut menyumbang 84% dari total impor panel surya AS.
Aliansi produsen tersebut juga menuduh perusahaan Tiongkok yang beroperasi di negara-negara Asia Tenggara tersebut menerima subsidi dari pemerintah Tiongkok melalui program Belt and Road Initiative, serta mendapat subsidi lokal berupa pembiayaan murah, daya listrik, lahan produksi, dan pembebasan pajak.

Ini merupakan pertama kalinya Departemen Perdagangan AS mempertimbangkan dampak subsidi lintas batas. Sebelumnya, tarif anti-subsidi semacam ini dilarang. Namun, sejak 24 April, aturan baru memungkinkan departemen ini untuk memasukkan subsidi lintas batas dalam investigasi mereka, yang berarti bahwa subsidi yang diterima dari pemerintah Tiongkok dapat dihitung dalam penentuan tarif.
 

Keputusan awal terkait penyelidikan anti-dumping yang diajukan oleh aliansi ini diperkirakan akan diumumkan pada November mendatang. Tarif anti-subsidi biasanya lebih rendah dibandingkan tarif anti-dumping, yang bertujuan mencegah produsen luar negeri menjual produk di bawah harga pasar.

Menurut laporan Bloomberg pada Agustus, beberapa perusahaan AS sedang melobi pemerintah untuk menaikkan tarif impor panel surya dari Malaysia, Thailand, Kamboja, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya hingga 272%.

Dua tahun lalu, Presiden Biden, atas permintaan para pengembang proyek AS, sementara waktu membebaskan tarif impor sebesar 14,25% untuk produk surya dari Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Pembebasan tarif ini bertujuan untuk menjaga daya saing biaya proyek surya di AS, yang bergantung pada produk impor yang lebih murah. Namun, pembebasan ini berakhir pada 6 Juni 2024.

Menurut laporan media Tiongkok, beberapa produsen energi surya asal Tiongkok telah memindahkan pabrik mereka ke negara-negara seperti Indonesia dan Laos, yang saat ini tidak termasuk dalam daftar tarif AS. (jhon)