Kegagalan sosio-ekonomi dalam negeri menimbulkan tantangan berat bagi Partai Komunis Tiongkok
James Gorrie
Saat ini, situasi ekonomi di Tiongkok yang merosot telah terdokumentasi dengan baik. Kerusakannya terlalu besar untuk ditutupi dengan propaganda, dan rakyat Tiongkok mengetahuinya. Bahkan perayaan ke-75 Partai Komunis Tiongkok (PKT) berlangsung sederhana. Faktor-faktor ekonomi negatif telah berkembang selama bertahun-tahun.
Tiongkok sudah menghadapi masalah pada tahun 2018 dan 2019 dengan diberlakukannya tarif tinggi oleh pemerintahan Trump terhadap barang-barang Tiongkok. Namun, pandemi COVID-19 dan kebijakan “nol-COVID” selama tiga tahun justru semakin memperparah penurunan ekonomi Tiongkok.
Tiongkok Sedang Diuji
Menjelang kuartal terakhir 2024, PKT diuji oleh kondisi ekonomi domestik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Akibatnya, kerusuhan sipil meningkat 18 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Perlambatan ekonomi ini memiliki banyak aspek, dan berikut adalah beberapa di antaranya.
Salah satu faktor besar adalah sektor real estat, yang menyumbang sekitar 30 persen dari PDB. Sektor ini terus mengalami kemerosotan, dan hingga saat ini, belum ada tanda-tanda pemulihan. Harga rumah dan penjualan terus menurun.
Selain itu, konsumen Tiongkok membeli lebih sedikit, dengan pengeluaran konsumen hanya menyumbang 38 persen dari PDB, dibandingkan dengan 60 hingga 70 persen di negara-negara maju.
Kelesuan dan Kekecewaan
Tidak mengherankan, pengangguran di kalangan pemuda Tiongkok (usia 16 hingga 24 tahun) telah mencapai setidaknya 21 persen, dan mungkin lebih tinggi, sebelum PKT berhenti menerbitkan angka pengangguran pada Juni 2023. Kemudian, pada Desember 2023, PKT merilis statistik baru dengan metode baru yang tidak menyertakan pelajar, yang menurunkan angka tersebut menjadi 14,9 persen, tetapi angka ini masih hampir tiga kali lebih tinggi dari tingkat pengangguran nasional Tiongkok sebesar 5,1 persen.
Tingkat pengangguran yang tinggi di kalangan pemuda menghambat potensi pertumbuhan di masa depan dan memperparah tren “tiarap” di kalangan generasi baru di Tiongkok, yang tidak memiliki harapan atau ambisi untuk mencapai gaya hidup seperti yang dinikmati orang tua mereka.
Kelesuan dan kekecewaan tentu bukan pondasi yang kuat bagi ekonomi yang kuat. Risiko gerakan pemuda yang tidak puas bukanlah hal yang tidak diketahui di Tiongkok. Bayangan Tiananmen masih menghantui otoritas PKT, meskipun tingkat pengawasan dan kontrol yang dimiliki PKT atas rakyatnya jauh lebih maju dibandingkan era Lapangan Tiananmen pada tahun 1989.
Kebijakan Politik dan Industri yang Tertanam
Namun, ada realitas ekonomi tertanam yang tidak mudah diubah. Doktrin partai menetapkan bahwa keunggulan ekonomi utama Tiongkok terletak pada tingkat konsumsi domestik yang rendah dan tingkat tabungan yang tinggi. Dua faktor ini memungkinkan aliran modal domestik langsung ke sistem perbankan yang dikendalikan negara, yang kemudian dialokasikan ke industri tertentu. Hal ini memberi partai kontrol besar atas kebijakan industri dan modal swasta.
Misalnya, struktur ekonomi dan pembangunan Tiongkok diarahkan pada tingkat output industri yang tinggi. Mungkin terlihat baik, tetapi karena organisasi politik dan pengaturan industri di dalam partai berfokus pada kapasitas produksi besar dan bukan inovasi atau diferensiasi, hasilnya adalah kelebihan produksi yang sering kali jauh melampaui permintaan global dan pabrik-pabrik yang tidak menguntungkan.
Kelebihan pasokan yang konstan, mulai dari baterai kendaraan listrik hingga elektronik, menyebabkan produsen Tiongkok membanjiri pasar luar negeri dengan produk murah, memicu gesekan perdagangan seperti tarif dan pembalasan lainnya, yang juga memperburuk kondisi di Tiongkok.
Singkatnya, kebijakan industri Tiongkok yang terdistorsi dan terikat pada sistem politik berbasis loyalitas korupsi telah membuatnya tidak mampu berubah tanpa mengganggu struktur PKT dan loyalitas yang terkait dengannya.
Tidak Ada Penghentian Spiral Penurunan
Karena alasan-alasan ini dan lainnya, selama beberapa tahun terakhir, Tionkok menemukan dirinya dalam spiral penurunan berupa deflasi, penurunan konsumsi domestik, dan menurunnya kepercayaan terhadap PKT. Selain itu, hanya ada sedikit opsi nyata yang tidak mengancam cengkeraman PKT atas negara. Namun, harus ditegaskan bahwa dengan kemampuan pengawasannya, partai dapat menangani hilangnya kepercayaan di mata rakyat, tetapi tidak dapat bertahan jika kehilangan kekuasaan. Keduanya tidaklah sama.
Apa yang akan dilakukan PKT adalah terus mendukung beberapa area penting ekonomi, seperti kecerdasan buatan, robotika, dan peningkatan militer, sambil membiarkan sektor-sektor lain terpuruk tanpa bantuan. Beberapa sektor pada akhirnya akan pulih, tetapi tidak dalam waktu dekat. Hal ini sudah jelas bagi banyak pihak di dalam dan luar Tiongkok, karena miliaran dolar dalam investasi dan modal terus keluar dari Tiongkok.
Diplomasi “Serigala Perang” Masih Terus Berlangsung
Hal ini membawa kita pada pendekatan diplomasi “serigala perang” PKT terhadap negara lain, yang diadopsi pada 2019 menjelang wabah COVID-19 dan kritik global terhadap penanganan Beijing yang buruk atas pandemi COVID-19. Tiongkok sudah berada di bawah tekanan ekonomi karena meningkatnya perang dagang dengan Amerika Serikat.
Beberapa pengamat mengaitkan pendekatan ini dengan ambisi pribadi di kalangan diplomat PKT dan/atau upaya untuk memperbaiki lingkungan investasi yang dipersepsikan di Tiongkok.
Keduanya tidak masuk akal ketika dipahami bahwa Xi Jinping tidak membiarkan para diplomat membuat aturan dan kebijakan mereka sendiri, dan tingkat investasi sebelum diplomasi “serigala perang” sudah tinggi.
Mengapa otoritas PKT membayangkan bahwa meningkatkan agresi di panggung global akan membuat lebih banyak negara ingin berinvestasi di sana? Mereka tidak membayangkannya.
Alasan yang lebih realistis untuk meningkatnya agresi Tiongkok di panggung dunia adalah bahwa Beijing merasa perlu mengendalikan narasi di dalam negeri dan mengintimidasi dunia luar. Hubungan antara ekonomi yang menurun dan meningkatnya gejolak sudah jelas. Di dalam negeri, PKT perlu menyalahkan Barat dan pihak asing lainnya atas kegagalan ekonomi yang nyata, bukan hanya untuk alasan ekskulpasi, tetapi juga untuk membangkitkan nasionalisme dan membenarkan agresi lebih lanjut saat kondisi ekonomi terus memburuk.
Beberapa pengamat menyimpulkan bahwa era diplomasi serigala perang PKT telah berakhir. Namun, peristiwa terkini membantah kesimpulan tersebut. Ini termasuk provokasi rezim PKT dengan pesawat militer dan kapal yang melanggar atau mendekati wilayah perairan atau wilayah udara Amerika Serikat, Taiwan, dan Filipina, pertempuran perbatasan dengan India, serta keinginan untuk memperluas kendali atas Laut China Selatan.
Di panggung global, seiring dengan kembalinya kekuatan militer dibandingkan diplomasi, Beijing melihat peluang untuk mempengaruhi dan/atau mengintimidasi negara-negara lain.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah opini penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times.
James R. Gorrie adalah penulis “The China Crisis” (Wiley, 2013) dan menulis di blognya, TheBananaRepublican.com. Ia tinggal di California Selatan.