EtIndonesia. Tradisi “Pernikahan Menangis” – sebuah praktik seremonial yang melibatkan tangisan dan nyanyian oleh pengantin wanita dan keluarganya – menarik perhatian baru dan signifikan di Tiongkok.
Dipraktikkan oleh suku minoritas Tujia, Yi, dan Zhuang dan populer di provinsi-provinsi seperti Hubei bagian tengah dan Guangdong bagian selatan, tradisi ini diyakini berasal dari periode Negara-negara Berperang di Tiongkok (476 SM-221 SM).
Ketika seorang putri Zhao dinikahkan dengan Raja Yan, ibunya menangis dalam kesedihan dan mengungkapkan kekhawatirannya atas pernikahan putrinya yang jauh.
“Semoga kamu tidak pernah dipulangkan,” katanya, menandai dimulainya tradisi pernikahan.
Ritual ini biasanya dimulai sekitar seminggu sebelum pernikahan.
Pengantin wanita mungkin menangis sebentar-sebentar selama periode ini, terutama ketika kerabat atau tetangga berkunjung dan membawa hadiah. Air matanya dianggap sebagai ungkapan terima kasih.
Emosi mencapai puncaknya pada malam sebelum upacara pernikahan dan berlanjut hingga pengantin wanita dibawa ke rumah barunya di hari besar.
Di antara masyarakat Yi, ada dua bentuk utama ritual tersebut.
Yang pertama adalah “Ibu dan Anak Menangis” di mana sang ibu memberikan penghiburan, berkat, dan nasihat dan sang anak menanggapi dengan berlinang air mata.
Bentuk lainnya melibatkan pengantin wanita yang menangis bersama teman-teman wanitanya.
Di daerah tertentu di prefektur otonom Chuxiong Yi di Provinsi Yunnan, Tiongkok barat daya, hal ini terjadi beberapa hari sebelum pernikahan ketika teman-teman pengantin wanita – yang sudah menikah dan yang belum menikah – berkumpul di senja hari untuk menangis dan bernyanyi.
Jika seorang pengantin wanita tidak menangis di pernikahannya, dia dapat dianggap tidak tahu berterima kasih atau kurang berpendidikan, dan dia mungkin ditegur oleh ibunya.
Lagu dan lirik selalu menjadi bagian dari upacara, baik tradisional maupun improvisasi oleh pengantin wanita dan teman-temannya.
Liriknya biasanya berisi ungkapan rasa terima kasih kepada orangtua, refleksi tentang ikatan persaudaraan, meratapi hari-hari masa muda yang riang, dan kekhawatiran tentang kehidupan pernikahan di masa depan.
Bagian utama dari upacara menangis dikenal sebagai “memarahi sang mak comblang,” yang dipandang sebagai protes simbolis terhadap batasan perkawinan tradisional.
Secara historis, wanita tidak memiliki banyak suara dalam memilih pasangan mereka, jadi “memarahi sang mak comblang” memberi mereka kesempatan langka untuk mengungkapkan ketidakpuasan dan melampiaskan frustrasi sebelum menikah.
Saat ini, tradisi Pernikahan Menangis masih memiliki arti penting di antara beberapa etnis minoritas di Tiongkok, seperti orang Tujia dan Gelao. (yn)
Sumber:scmp