EtIndonesia. Pada KTT BRICS tanggal 24 Oktober 2024, Presiden Rusia Vladimir Putin menyampaikan peringatan bahwa situasi di Timur Tengah semakin mendekati ambang konflik besar. Dalam kesempatan tersebut, Presiden Tiongkok Xi Jinping menyebut Presiden Iran Masoud Pezeshkian sebagai “teman baik” dan menegaskan dukungan Tiongkok terhadap Iran di tengah ketegangan geopolitik yang meningkat. Xi menyatakan bahwa, terlepas dari segala perubahan di tingkat internasional dan regional, Tiongkok akan terus menjalin hubungan erat dan memperkuat kerja sama dengan Iran.
Sementara itu, dari pihak Israel, Menteri Pertahanan Yoav Gallant menegaskan kembali kesiapan negaranya untuk menghadapi Iran, bahkan menyebut bahwa :”Israel saat ini berada dalam keadaan perang.” Peningkatan ketegangan ini telah memicu kekhawatiran bahwa situasi panas di Timur Tengah dapat semakin meningkat, dengan potensi keterlibatan kekuatan besar dunia.
Analis geopolitik menilai bahwa ketegangan yang meningkat di Timur Tengah dapat menimbulkan dampak yang luas. Wu Jianzhong, Sekretaris Jenderal Asosiasi Inovasi Demokrasi Taiwan, mengungkapkan bahwa pertemuan KTT BRICS yang dihadiri pemimpin Tiongkok, Rusia, dan Iran ini bisa dianggap sebagai aliansi strategis yang memperkuat dukungan satu sama lain. Jianzhong juga memaparkan bahwa jika perang pecah di Timur Tengah, Rusia mungkin akan terbantu karena dapat mengalihkan fokus dari konflik Rusia-Ukraina.
Di sisi lain, dukungan Tiongkok terhadap Iran dapat memperburuk hubungan antara Beijing dan Israel. Jianzhong mengungkapkan bahwa dukungan Tiongkok kepada Hamas dan Hizbullah Lebanon telah menimbulkan ketegangan dengan Israel, yang saat ini justru mempererat hubungannya dengan Taiwan. Dia juga menambahkan bahwa Israel pernah memperingatkan Tiongkok terkait keterlibatannya dalam proyek yang berpotensi mengancam keamanan Israel, seperti di bunker bawah tanah, yang memaksa teknisi Tiongkok melarikan diri dari lokasi akibat serangan militer Israel.
Pada tanggal 8 Oktober 2024, Kementerian Luar Negeri Tiongkok melalui juru bicaranya, Mao Ning, menyampaikan bahwa “kepentingan keamanan Israel yang sah juga harus diperhatikan,” yang mengindikasikan upaya Beijing untuk meredakan ketegangan dan memperbaiki hubungan dengan Israel.
Lin Baohua, penulis dari media New Head Shell, menilai bahwa langkah ini dipicu oleh keinginan Tiongkok untuk memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat, terutama mengingat pengaruh kuat komunitas Yahudi di berbagai sektor utama di AS.
Namun, meskipun pernyataan tersebut tampaknya menunjukkan niat baik, Xi Jinping masih secara terbuka menunjukkan dukungannya terhadap Iran. Ketidakkonsistenan ini telah menimbulkan pertanyaan di kalangan warganet, dengan banyak yang menyebut adanya “poros kejahatan” yang terbentuk antara Iran, Tiongkok, dan Rusia.
Di wilayah Asia Tenggara, ketegangan juga muncul di Laut Natuna Utara. Pada tanggal 24 Oktober 2024, Indonesia melaporkan bahwa kapal penjaga pantai Tiongkok kembali memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, mengganggu operasi kapal penelitian di wilayah tersebut. Ini adalah insiden kedua dalam kurun waktu empat hari terakhir, yang menyebabkan Indonesia meningkatkan patroli laut di kawasan tersebut.
Badan Keamanan Laut Indonesia menyatakan komitmennya untuk melakukan pemantauan intensif demi menjaga kedaulatan wilayah dan memastikan kelancaran penelitian geologi yang sedang berlangsung.
Sementara itu, di Amerika Selatan, nelayan di wilayah Piura, Peru, melancarkan protes pada tanggal 10 Oktober 2024, mengutuk aktivitas kapal-kapal nelayan Tiongkok yang menangkap cumi-cumi dalam skala besar dan menguras sumber daya laut di dekat wilayah ekonomi eksklusif Peru. Mereka mengklaim kapal Tiongkok kerap melanggar batas dan menggunakan jaring besar yang merusak ekosistem laut setempat.
Menurut Dr. Chen Wenjia dari Universitas Kainan, protes ini mencerminkan ketidakpuasan yang semakin luas terhadap kebijakan ekspansionis Tiongkok di lautan. Aktivitas armada perikanan Tiongkok yang berlebihan telah memicu ketegangan diplomatik dengan berbagai negara, termasuk Peru, Indonesia, dan Filipina, yang merasa kedaulatan maritim mereka terancam.
Pakar hubungan internasional melihat bahwa aktivitas Tiongkok di berbagai wilayah laut dapat merusak citra internasionalnya. Selain itu, ketegangan dengan negara-negara seperti Indonesia dan Peru mungkin akan mendorong pemerintah kedua negara tersebut untuk meninjau ulang kerja sama dengan Tiongkok, terutama di bidang maritim. Ketegangan di Laut Natuna Utara dan perairan Peru ini juga diyakini akan memperkuat kerja sama negara-negara yang terdampak dalam menjaga kedaulatan laut dan mengamankan sumber daya nasional mereka.