EtIndonesia. Iran kini dihadapkan pada dilema strategis: merespons serangan Israel atau menahan diri demi menghindari eskalasi yang lebih besar. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, bersama para penasihatnya, mempertimbangkan setiap langkah dengan hati-hati.
Beberapa jam sebelum serangan udara Israel pada tanggal 26 Oktober 2024, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Ismail Baqaei, telah menegaskan bahwa Teheran akan membalas segala bentuk agresi dengan kekuatan penuh. Dia juga menyatakan bahwa asumsi Iran akan mengabaikan serangan terbatas dari Israel adalah pandangan yang keliru.
Menanggapi serangan ini, Khamenei mengingatkan bahwa peristiwa tersebut tidak boleh dianggap remeh maupun berlebihan.
“Iran akan memilih respons yang tepat dan bijaksana untuk menunjukkan kekuatannya,” ujar Khamenei. dia menambahkan bahwa keputusan akhir tetap berada di tangan pejabat pemerintah untuk melindungi kepentingan rakyat Iran.
Satelit AS Ungkap Dampak Serangan Israel
Analisis dari lembaga think tank Amerika Serikat menunjukkan gambar satelit pasca-serangan, mengindikasikan bahwa Israel telah menghantam beberapa bangunan yang dahulu digunakan Iran dalam program pengembangan senjata nuklir. Fasilitas tersebut, termasuk lokasi untuk mencampur bahan bakar padat rudal, terkena dampak besar, yang diperkirakan akan menurunkan kemampuan Iran dalam memproduksi rudal di masa depan.
Amerika Serikat, melalui pernyataan resminya, menganggap serangan tersebut sebagai tindakan pertahanan diri yang sah, didukung pula oleh Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer.
“Israel memiliki hak untuk mempertahankan diri dari agresi Iran. Namun, kami mengimbau semua pihak untuk menahan diri demi mencegah eskalasi lebih lanjut,” ujarnya.
Israel berharap agar Iran tidak bereaksi, mengingat serangan Israel sebelumnya terhadap Hamas dan Hizbullah telah melemahkan kedua kelompok bersenjata tersebut secara signifikan.
Keberhasilan Israel Dalam Mengatasi Pengaruh Proxy Iran
Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, dalam sebuah upacara di Yerusalem, mengklaim bahwa Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon kini tidak lagi dapat berfungsi sebagai alat perpanjangan tangan Iran untuk melawan Israel. Selama setahun terakhir, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) disebut telah meraih berbagai kemenangan strategis, mengurangi kemampuan militer kedua kelompok tersebut.
“Hamas tidak lagi berdaya di bagian selatan, dan Hizbullah di utara juga mengalami tekanan hebat. Banyak komandan dan sebagian besar persenjataan mereka telah dimusnahkan,” ujar Gallant.
Negosiasi Sandera dan Gencatan Senjata di Tengah Ketegangan
Dalam situasi yang memanas ini, berlangsung pula negosiasi mengenai pertukaran sandera dan gencatan senjata antara Israel dan Hamas, yang dimediasi oleh Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar. Proses diplomasi ini berlangsung di Doha, Qatar, dan menjadi pertemuan pertama setelah jeda tiga bulan. Proposal gencatan senjata sementara selama dua hari tengah dinegosiasikan, sebagai pertukaran untuk empat sandera, meskipun serangan Israel di Gaza utara masih berlangsung.
Perundingan ini dipimpin oleh Kepala Mossad Israel, David Barnea, Direktur CIA AS, William Burns, serta Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al-Thani, yang berusaha membuka jalan bagi tercapainya kesepakatan gencatan senjata.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa Israel akan mempertimbangkan semua opsi untuk mengupayakan pembebasan sandera, termasuk mempertimbangkan perkembangan terbaru, seperti kematian mantan pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, yang dianggap membuka peluang baru dalam proses negosiasi.
Perubahan Dinamika dalam Kebijakan Hamas
Dalam situasi yang berubah, seorang pejabat Israel mengungkapkan bahwa Hamas tidak berpartisipasi dalam pertemuan kali ini, meskipun kehadiran mereka di putaran negosiasi berikutnya tidak dikesampingkan. Pejabat tersebut menjelaskan bahwa Israel saat ini lebih fokus mencapai kesepakatan awal yang berskala kecil sebelum melakukan pembicaraan lebih lanjut untuk kesepakatan yang lebih komprehensif, terutama setelah kematian Yahya Sinwar yang berdampak besar pada proses pengambilan keputusan di Hamas.
Namun, Hamas tetap menyatakan keinginannya untuk mencapai penghentian perang total, penarikan pasukan Israel dari Gaza, serta pertukaran sebagian tahanan Palestina. Berdasarkan laporan, perundingan yang menyeluruh diperkirakan akan berlangsung dalam 10 hari ke depan.
Kesepakatan Gencatan Senjata dalam Perdebatan
Menurut laporan dari Al-Arabiya, Hamas telah setuju pada gencatan senjata sementara dua hari sebagai pertukaran empat sandera, dengan syarat hal tersebut juga mencakup kesepakatan sandera pada perjanjian sebelumnya yang tertanggal 2 Juli.
Bagaimanapun, kompleksitas di meja perundingan menandakan bahwa jalan menuju perdamaian masih panjang dan penuh tantangan.