oleh Antonio Graceffo
Partai Komunis Tiongkok (PKT) memanfaatkan sistem subsidi negara secara langsung dan tidak langsung yang tidak transparan untuk menekan harga ekspor, yang mana memungkinkan Tiongkok mendominasi sektor manufaktur utama sesuai dengan tujuan strategis jangka panjangnya.
Tiongkok mensubsidi industri-industri yang sesuai dengan prioritas ekonominya. Subsidi ini—mulai dari dukungan keuangan langsung hingga insentif pajak, kredit murah, dan bahan baku yang lebih murah—dirancang untuk memastikan posisi Tiongkok sebagai negara eksportir terkemuka, mendominasi manufaktur hijau secara global, mengurangi ketergantungan pada teknologi asing, dan menjadikan negara tersebut sebagai pemasok global utama. Akibatnya, perusahaan-perusahaan Tiongkok dengan cepat berkembang, mendominasi pasar domestik dan semakin memasuki pasar asing, seperti Uni Eropa, dalam sektor-sektor seperti panel surya, baterai kendaraan listrik (EV), kendaraan listrik (BEV), dan energi angin.
Sebuah studi terbaru oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) menemukan bahwa dukungan negara untuk industri mencapai setidaknya $238 miliar pada tahun 2019, yang mewakili 1,73 persen dari PDB-nya. Tingkat subsidi industri ini jauh melampaui negara-negara ekonomi utama lainnya, baik secara absolut maupun sebagai bagian dari PDB. Subsidi Tiongkok sekitar tiga kali lebih tinggi dari Prancis (0,55 persen dari PDB) dan empat kali lebih tinggi dari Jerman (0,41 persen) dan Amerika Serikat (0,39 persen).
Perkiraan lebih lanjut menunjukkan bahwa subsidi Tiongkok berkisar tiga hingga sembilan kali lebih besar dibandingkan dengan negara-negara anggota Uni Eropa dan Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), menyoroti peran signifikan intervensi negara dalam sektor industrinya.
Pada tahun 2023 saja, 99 persen perusahaan Tiongkok yang terdaftar menerima total $34 miliar dalam bentuk subsidi langsung. Meskipun subsidi langsung ini besar dan lebih mudah dideteksi oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan mitra dagang lainnya, Tiongkok semakin mengandalkan subsidi tersembunyi, seperti insentif pajak, yang sering kali melebihi jumlah yang diberikan melalui dukungan langsung. Antara tahun 2013 dan 2023, insentif pajak untuk perusahaan-perusahaan besar Tiongkok melonjak hingga 400 persen. Misalnya, BYD menerima $1,27 miliar dalam bentuk subsidi langsung sambil menerima $5,08 miliar dalam bentuk insentif pajak. Demikian pula, BOE mendapatkan keuntungan sebesar $8,2 miliar dalam bentuk pengembalian pajak pertambahan nilai (PPN) selama lima tahun.
Banyak dari insentif ini berasal dari pengembalian PPN, yang standar untuk eksportir tetapi tumbuh jauh lebih cepat daripada ekspor, menimbulkan kecurigaan bahwa mereka berfungsi sebagai subsidi tersembunyi.
Selain itu, PKT sering menyesuaikan tingkat insentif pajak dan menawarkan insentif penelitian dan pengembangan, yang menunjukkan bahwa mereka memanipulasi sistem pajak untuk lebih menguntungkan sektor ekspornya.
Kredit di bawah harga pasar adalah bentuk subsidi tidak langsung lainnya, terutama untuk perusahaan milik negara (BUMN). Faktanya, kredit di bawah harga pasar untuk BUMN mencapai 0,52 persen dari PDB Tiongkok, menurut CSIS.
Sebuah studi OECD yang mencakup tahun 2005–2019 menemukan bahwa perusahaan industri Tiongkok menerima dukungan pemerintah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan perusahaan di negara lain, mencapai sekitar 4,5 persen dari pendapatan mereka—terutama melalui pinjaman di bawah harga pasar. Tingkat dukungan ini hampir sembilan kali lebih besar daripada yang diterima oleh perusahaan sejenis di OECD.
Beijing juga memberikan dukungan melalui berbagai metode lainnya, termasuk bahan baku dan energi bersubsidi dari perusahaan milik negara, transfer teknologi paksa, dan perlakuan istimewa dalam pengadaan publik. Walaupun praktik ini tidak eksklusif untuk Tiongkok, skala dan frekuensinya sangat besar, sehingga secara signifikan meningkatkan daya saing global industri Tiongkok. Akibat dari subsidi yang tidak adil ini, Tiongkok telah menjadi pemimpin global dalam produksi sel surya dan baterai serta berupaya meraih dominasi serupa dalam sektor teknologi hijau lainnya, seperti EV, turbin angin, dan peralatan kereta api.
Kontroversi terbesar di antara mitra dagang Tiongkok, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, berpusat pada EV, di mana kenaikan pesat Tiongkok sebagai pasar dan pusat produksi terbesar dunia untuk BEV didorong oleh subsidi pemerintah yang luas. Tidak seperti banyak negara Barat, di mana subsidi biasanya diberikan langsung kepada konsumen, di Tiongkok, subsidi pembelian BEV dibayarkan langsung kepada produsen namun hanya untuk kendaraan yang diproduksi secara domestik, secara efektif mendiskriminasi impor. Subsidi ini sangat penting selama fase pertumbuhan industri. Antara tahun 2010 dan 2022, Tiongkok mengalokasikan sekitar $5,67 miliar untuk mendukung kendaraan energi baru (NEV). Sebelum 2020, rata-rata subsidi per kendaraan adalah $2.461, yang dikurangi menjadi $1.391 pada 2022 saat subsidi tersebut dihentikan.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah mengkritik Tiongkok atas kurangnya transparansi dalam program subsidi industrinya, terutama dalam sektor-sektor utama seperti EV, semikonduktor, dan baja. Meskipun WTO melarang subsidi tertentu, organisasi ini tidak mengklasifikasikan insentif pajak sebagai subsidi, sehingga memungkinkan Tiongkok menghindari aturan tersebut. Ketidaktransparanan sistem subsidi Tiongkok ini membuat sulit membedakan antara dukungan domestik dan subsidi yang dirancang untuk mengganggu perdagangan dengan mempromosikan ekspor.
Sebagai tanggapan, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Kanada telah menaikkan tarif untuk impor Tiongkok , terutama EV, dengan alasan bahwa subsidi tersebut mendistorsi persaingan global. Uni Eropa telah memperkenalkan tarif hingga 45 persen, sementara Amerika Serikat dan Kanada memberlakukan tarif 100 persen, secara efektif memblokir EV Tiongkok dari pasar mereka. Peningkatan ini telah menimbulkan kekhawatiran atas pengaruh Tiongkok yang semakin besar di pasar global dan potensi perang dagang. (asr)
Antonio Graceffo, PhD, adalah seorang analis ekonomi Tiongkok yang telah menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Mr. Graceffo adalah lulusan dari Shanghai University of Sport, memegang gelar Tiongkok-MBA dari Shanghai Jiaotong University, dan saat ini sedang mempelajari pertahanan nasional di American Military University. Beliau adalah penulis “Beyond the Belt and Road: China’s Global Economic Expansion” (2019).