Korea Utara Siap Luncurkan Rudal Antarbenua: Sinyal Perang Besar di Balik Aliansi Baru? 

EtIndonesia. Pada tanggal 30 Oktober, seorang anggota parlemen Korea Selatan mengutip informasi intelijen militer dan mengungkapkan bahwa Korea Utara telah menyiapkan kendaraan peluncur untuk rudal balistik antarbenua (ICBM). Diperkirakan, Korea Utara mungkin akan melakukan uji coba peluncuran ini sebelum atau setelah pemilihan presiden AS yang akan digelar pada 5 November. Intelijen AS menilai bahwa pengaruh Rusia terhadap Korea Utara dan Kim Jong-un semakin meningkat, menyebabkan keresahan di pihak Tiongkok yang merasa pengaruhnya terhadap Korea Utara semakin melemah.

Panglima Komando Indo-Pasifik AS, Laksamana Samuel J. Paparo  baru-baru ini menyatakan bahwa Tiongkok kini menjadi ancaman utama bagi keamanan AS, dan risiko konfrontasi dengan Tiongkok terus meningkat. Anggota parlemen Korea Selatan, Lee Seung-kwon, juga mengungkapkan bahwa Korea Utara mungkin akan menguji teknologi rudal balistiknya, termasuk teknologi peluncuran ulang yang dapat kembali ke atmosfer, yang bisa saja dilakukan dalam waktu dekat.

Menteri Luar Negeri Korea Utara dan Rusia Bertemu

Pada hari yang sama, Kementerian Luar Negeri Rusia mengonfirmasi bahwa Menteri Luar Negeri Korea Utara, Choe Son-hui, akan mengadakan konsultasi strategis di Moskow bersama Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov. Pemerintah Korea Selatan memberikan pernyataan tegas bahwa apabila Korea Utara terlibat dalam konflik Rusia-Ukraina, mereka akan menyediakan senjata bagi Ukraina. Pentagon juga menegaskan bahwa jika Korea Utara berpartisipasi dalam konflik tersebut, AS akan mencabut batasan penggunaan senjata oleh Ukraina.

Menteri Luar Negeri Tiongkok dan Rusia Bertemu

Di lain pihak, Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, bertemu dengan Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Andrey Rudenko, untuk membahas kesepakatan strategis baru antara kedua negara. Rudenko juga memiliki peran penting dalam hubungan Rusia-Korea Utara. Menurut seorang mantan pejabat CIA, Tiongkok berhati-hati dalam memberikan dukungan nuklir kepada Korea Utara. Jika Rusia memutuskan untuk menyediakan bantuan nuklir bagi Korea Utara, ini dapat memperkuat aliansi AS di Asia Timur dan berpotensi menciptakan NATO versi Asia.

AS dan Korea Selatan Mengadakan Pertemuan “2+2”

Dalam perkembangan lain, AS dan Korea Selatan akan mengadakan pertemuan puncak “2+2” di Washington pada tanggal 31 Oktober 2024 untuk membahas koordinasi sanksi terhadap Korea Utara. Pertemuan ini bertujuan untuk memperkuat mekanisme non-proliferasi nuklir global, serta menangani ancaman senjata pemusnah massal dan rudal balistik dari Korea Utara.

Para analis menilai bahwa dukungan Korea Utara terhadap Rusia di Ukraina mungkin menjadi ajang untuk menguji efektivitas rudal dan amunisi Korea Utara. Di sisi lain, laporan CNN pada 30 Oktober 2024 menyebutkan bahwa seorang sumber senior anonim menyatakan bahwa Iran mungkin merencanakan serangan balasan terhadap Israel pada 5 November 2024, sehari sebelum pemilihan presiden AS. Namun, belum ada kepastian apakah serangan ini akan direalisasikan.

Paparo menyoroti bahwa konflik Israel-Hamas telah meluas menjadi perang proksi dengan keterlibatan Hizbullah dan Houthi, sementara Korea Utara terus memperkuat hubungan militer dengan Rusia. Sementara itu, Tiongkok terus memberikan tekanan pada Taiwan dan memperkuat ekspansi di Laut Cina Selatan yang dinilai dapat memicu ketegangan berikutnya. Hubungan erat antara Iran dan Tiongkok memungkinkan Iran untuk menghindari sanksi AS, memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah.

Paparo menegaskan bahwa AS membutuhkan kekuatan militer yang cukup untuk menahan pengaruh Tiongkok. Armada Pasifik telah membentuk Komando Perang Informasi Pasifik pada tahun 2022 dan tengah merancang strategi dengan Jepang, Australia, Philipina, Singapura, dan Korea Selatan untuk menghadapi potensi ancaman tersebut.

Depertemen Keuangan AS

Sementara itu, Departemen Keuangan AS memberlakukan aturan baru yang melarang perusahaan dan individu AS berinvestasi dalam teknologi canggih di Tiongkok, seperti semikonduktor, mikroelektronika, kecerdasan buatan, dan komputasi. Larangan ini bertujuan untuk mencegah Tiongkok memanfaatkan teknologi AS, khususnya yang memiliki potensi aplikasi militer.

Di sektor teknologi, ilmuwan Rand Corporation, Gonzales, menekankan pentingnya aturan baru ini agar AS tidak mendukung pengembangan teknologi di Tiongkok, terutama di bidang kecerdasan buatan dan komputasi kuantum yang berisiko disalahgunakan. Peneliti Tiongkok kini juga dikabarkan mengembangkan algoritma kuantum yang dapat meretas sistem enkripsi pemerintah AS. Tindakan AS ini mencerminkan upaya global untuk membatasi keterlibatan Tiongkok di sektor teknologi mutakhir.