Adu Strategi di Timur Tengah: Akankah Gencatan Senjata Israel-Hizbullah Terwujud?

ETIndonesia. Konflik di Timur Tengah terus berlangsung, dengan ketegangan yang meningkat seiring upaya Israel menargetkan kelompok-kelompok bersenjata seperti Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza. Setelah pengangkatan pemimpin baru Hizbullah, Naim Qassem, Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant mengeluarkan pernyataan keras bahwa masa kepemimpinan Qassem tidak akan berlangsung lama. 

Dalam pidato televisi pertamanya kemarin, Qassem menyatakan akan meneruskan strategi konfrontatif pendahulunya terhadap Israel, namun tetap membuka kemungkinan untuk perjanjian gencatan senjata. 

Sejumlah utusan Amerika Serikat telah tiba di Israel untuk membantu negosiasi ini, yang menambah dimensi baru pada konflik Timur Tengah.

Strategi Israel dan Dampaknya pada Kelompok-Kelompok Bersenjata

Israel tampaknya menerapkan strategi yang terkoordinasi, tidak hanya menargetkan Hamas di Gaza tetapi juga Hizbullah di Lebanon, dalam upaya melucuti kekuatan bersenjata kedua kelompok ini serta memutus jalur dukungan persenjataan dari Iran. 

Menurut analisis para ahli, serangkaian serangan ini telah mendekati tujuan Israel, yaitu melumpuhkan kekuatan Hizbullah dan Hamas sebelum pemilihan umum AS. 

Serangan udara Israel dikabarkan telah menghancurkan pabrik-pabrik produksi rudal Iran, yang diperkirakan akan melemahkan kemampuan Iran dalam memasok senjata kepada kelompok bersenjata selama beberapa tahun ke depan.

Dinamika Arab dan Isolasi Iran

Selain operasi militer, Israel tampaknya juga telah mencapai kesepakatan diam-diam dengan beberapa negara Arab. Arab Saudi dan negara-negara mayoritas Sunni lainnya cenderung hanya mengeluarkan kecaman lisan tanpa tindakan nyata, mengindikasikan dukungan terselubung terhadap langkah-langkah Israel. 

Di sisi lain, Iran yang mayoritas Syiah berada dalam posisi yang semakin terisolasi di kawasan. Di Lebanon, pemerintah menghadapi dilema internal karena Hizbullah adalah partai politik sekaligus kelompok bersenjata. Dukungan Arab yang terbatas ini memberikan angin segar bagi Israel dalam menangani ancaman dari Hizbullah dan Hamas.

Sikap Iran dan Potensi Eskalasi Konflik

Pemimpin baru Hizbullah, Qassem, dalam pidato publiknya, menunjukkan kesediaan untuk mempertimbangkan gencatan senjata sambil tetap berpegang pada retorika yang keras. 

Presiden Iran, Masoud Pezeshkian juga menunjukkan nada diplomatik dengan menyatakan bahwa tidak akan ada aksi balasan terhadap Israel dalam waktu dekat. Namun, media AS, termasuk CNN, melaporkan bahwa Iran mungkin merencanakan aksi balasan besar-besaran pada  5 November, menjelang pemilu di AS. 

Gedung Putih menanggapi perkembangan ini dengan peringatan bahwa Iran sebaiknya tidak memperburuk situasi, sambil menegaskan bahwa AS akan tetap mempertahankan keamanan Israel.

Para pengamat menilai kemungkinan terjadinya konflik besar-besaran tetap rendah. Pertama, adanya ketimpangan kekuatan militer yang signifikan antara Israel dan Iran. Kedua, Israel dan AS tampaknya telah menyepakati untuk tidak menargetkan fasilitas nuklir atau minyak Iran, menghindari dampak ekonomi yang bisa mengganggu stabilitas global.

Operasi Tiga Tahap Israel: Serangan Udara Terkoordinasi

Keberhasilan Israel dalam mengatasi kelompok-kelompok bersenjata ini dinilai oleh para ahli sebagai hasil dari strategi tiga tahap yang efisien. Tahap pertama melibatkan serangan udara pada infrastruktur pertahanan udara Iran, yang didahului dengan peretasan sistem untuk menyajikan data palsu. 

Tahap kedua diikuti oleh serangan F-35, disusul oleh pesawat F-16 dan F-15 untuk melancarkan serangan yang lebih besar. Tahap akhir adalah serangan udara konvensional yang bertujuan memperkuat posisi Israel dalam negosiasi politik.

Harapan Baru untuk Perdamaian?

Ketegangan yang semula meningkat kini menunjukkan tanda-tanda pelonggaran dengan munculnya indikasi kesediaan dari Hizbullah dan Hamas untuk mempertimbangkan gencatan senjata. 

Pernyataan Hizbullah untuk meredam aksi perang diikuti oleh sinyal dari Presiden Iran yang cenderung memilih jalur negosiasi. Pemerintah Lebanon pun memanfaatkan momen ini untuk mengurangi pengaruh Iran di wilayahnya dan memajukan upaya damai.

Di tingkat internasional, situasi ini menarik perhatian luas. Israel yang didukung teknologi senjata canggih dari AS, tampaknya berhasil mendominasi konflik ini, sementara Iran, meskipun mendapat dukungan persenjataan dari Rusia dan Tiongkok, berada dalam posisi sulit menghadapi keunggulan teknologi Israel. 

Masyarakat internasional menunggu perkembangan ini, dengan harapan bahwa kesediaan Hizbullah untuk berdamai dan melunak akan mengarah pada perundingan yang efektif dan mengurangi ketegangan di Timur Tengah, membawa harapan baru bagi perdamaian global. (Kyr)