oleh Xia Luo-shan
Salah satu hal yang menjadi perhatian masyarakat dalam perang Gaza adalah nasib pemimpin Hamas Yahya Sinwar yang tersingkir secara dramatis. Namun tewasnya Sinwar tidak akan mengakhiri kampanye Israel melawan Hamas di Gaza. Tujuan Israel adalah melenyapkan Hamas secara tuntas untuk menghindari masalah di kemudian hari, sedangkan tujuan Hamas adalah bertahan hidup.
Pada 17 Oktober, militer Israel mengatakan bahwa baku tembak terjadi setelah pasukan Israel menemukan tiga personel Hamas di sebuah Gedung yang berlokasi di wilayah Gaza Salafa. Tak lama kemudian tank Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menerima perintah untuk menyerang gedung tersebut.
Dalam kejadian itu, rekaman adegan yang dikirim kembali oleh drone first-person perspective (FPV) menunjukkan, seorang komandan Hamas yang terluka sedang duduk di kursi sofa dalam ruangan yang rusak parah, tindakan terakhirnya sebelum ia terbunuh adalah melemparkan benda mirip tongkat ke arah drone. Beberapa menit kemudian, serangan pasukan Israel berhasil menghancurkan bangunan tersebut sepenuhnya. Setelah beberapa jam kemudian jenazah pria tersebut diidentifikasi sebagai Yahya Sinwar melalui identifikasi DNA, gigi, dan sidik jari.
Terbunuhnya Sinwar yang tampaknya seperti tidak disengaja namun sebenarnya sudah tidak bisa dihindari. Analisis yang dilakukan oleh Institute of War Studies menyebutkan bahwa operasi militer Israel tahun lalu, khususnya yang menargetkan terowongan bawah tanah Gaza telah menciptakan kondisi yang menyebabkan terbunuhnya Sinwar pada 16 Oktober tahun ini.
Sinwar dan sisa-sisa personel Hamas telah bersembunyi di jaringan terowongan Gaza yang sangat luas, setidaknya hingga Agustus tahun ini. Operasi penghancuran seluruh jaringan bawah tanah yang dilakukan pasukan Israel tahun lalu bertujuan untuk mendorong personel Hamas keluar dari jaringan bawah tanah.
Operasi tersebut mulai terlihat hasilnya pada Januari tahun ini, betul saja Sinwar meninggalkan jaringan terowongan Khan Yunis dan pindah ke terowongan bawah tanah di Rafah. Setelah itu Sinwar terpaksa harus memindahkan persembunyiannya di permukaan tanah di Rafah setelah sebagian besar terowongan bawah tanah Rafah dihancurkan pasukan Israel.
Meskipun tewasnya Sinwar terjadi secara kebetulan, tetapi hal itu merupakan hasil yang tidak terelakkan dari rencana operasi Israel yang cukup cermat dan lebih luas, juga merupakan akibat dari rencana efektif yang pada akhirnya berhasil melenyapkan seluruh pimpinan senior Hamas.
Dilihat dari kesenjangan besar antara tujuan akhir Israel dan Hamas, tewasnya Sinwar sepertinya tidak akan memengaruhi situasi perang Gaza secara keseluruhan. Bagi Israel, Sinwar hanyalah sebuah batu sandungan yang telah disingkirkan, sedangkan internal Hamas juga tidak akan memikirkan kembali strategi dasarnya karena hal ini.
Institute for War Studies percaya bahwa Khalil al-Hayya, wakil ketua Biro Politik Hamas, lebih mungkin untuk menggantikan kedudukan Yahya Sinwar. Hayya mendapatkan kepercayaan yang cukup tinggi dari Sinwar. Ia selain memainkan peran penting dalam negosiasi gencatan senjata, juga memiliki hubungan yang lebih kokoh dengan Hizbullah dan Iran dibandingkan dengan para pemimpin Hamas lainnya. Namun kabar terkini menunjukkan bahwa Khaled Mashal, mantan pemimpin Hamas yang diangkat sebagai penjabat pemimpin Hamas, sekarang bertanggung jawab untuk menangani negosiasi penting termasuk diskusi mengenai sandera dan tahanan.
Terlepas dari siapa penerus Sinwar, yang paling ingin mereka lihat saat ini adalah gencatan senjata dan penarikan pasukan Israel dari Gaza agar Hamas bisa tetap eksis.
Dalam rapat mengenang Yahya Sinwar pada 18 Oktober Khalil al-Hayya menyatakan bahwa kematian Sinwar tidak akan mengubah sikap Hamas dalam bernegosiasi dengan Israel. Ia mengklaim bahwa Hamas tidak akan melepaskan sandera Israel sampai IDF benar-benar menarik diri dari Gaza dan membebaskan tahanan Palestina.
Pendirian tertinggi Hamas adalah menuntut Israel menarik seluruh pasukannya dari Gaza, gencatan senjata permanen, pembebasan tahanan Palestina, dan mengizinkan warga Palestina di Gaza untuk kembali tanpa hambatan ke koridor utara Gaza dan merekonstruksi kembali koridor tersebut. Hal ini jelas jauh dari tujuan strategis Israel untuk menyelamatkan para sandera dan menjamin keamanan permanen Israel.
Pada 18 Oktober, para pejabat Israel dan Amerika Serikat yang mengutip ucapan mediator membenarkan, bahwa masih belum dapat ditentukan kapan perundingan gencatan senjata di Doha, Qatar, atau Kairo, Mesir dapat dimulai kembali, karena Israel mungkin perlu menunggu kesiapan dari pemimpin baru Hamas untuk melanjutkan negosiasi.
Para pejabat Israel sedang mempertimbangkan dampak kematian Sinwar terhadap perundingan penyanderaan, karena mereka khawatir hal itu dapat memprovokasi Hamas untuk mulai mengeksekusi sandera yang mereka tahan. Para pejabat senior Israel berdiskusi dengan Benjamin Netanyahu untuk mencegah Hamas melakukan pembalasan terhadap sandera Israel.
Hamas jelas menyadari bahwa dalam perjalanan untuk mempertahankan eksistensinya di Gaza, satu-satunya alat tawar-menawar yang berada di tangan mereka adalah para sandera Israel yang masih ditahan, dan mereka mungkin menggunakan sandera tersebut untuk mendapatkan ruang bernapas dan keuntungan politik.
Hamas mengeksekusi 6 orang sandera pada akhir Agustus lalu dalam upayanya untuk menyulut protes dan perpecahan masyarakat Israel guna memaksa pemerintahan Benyamin Netanyahu untuk menerima permintaan gencatan senjata Hamas. Namun, karena Hamas secara keliru mengira bahwa masyarakat Israel rapuh sehingga cara yang ditempuh ini tidak membuahkan hasil.
Hampir semua pemimpin Hamas memiliki semacam arogansi paranoid. Mereka percaya bahwa serangan pada 7 Oktober 2023 dapat mempercepat keruntuhan Israel dan mendapatkan dukungan dari sekutunya untuk menimbulkan kerusakan besar bagi Israel. Namun mereka sangat kurang memahami lawannya sehingga mereka bahkan juga tidak bisa menilai dengan baik teman-teman mereka sendiri.
Dalam merencanakan “proyek besar” mereka untuk menyerang Israel pada 7 Oktober tahun lalu, Sinwar dan kelompoknya memilih momen ketika Israel sedang berada dalam kerusuhan sipil karena Netanyahu berupaya untuk melemahkan Mahkamah Agung negara tersebut dan menjadikannya tunduk pada keinginan badan legislatif sayap kanan.
Sinwar dan kelompoknya mencoba memanfaatkan perpecahan masyarakat Israel dan menggunakan serangan teroris untuk memperluas perpecahan itu dengan tujuan mempercepat keruntuhan Israel.
Akibat salah penafsiran dari pimpinan Hamas terhadap keberhasilan yang terlampau tinggi, serta telah meremehkan tekad Netanyahu untuk membalas menghancurkan Gaza dan kekuatan masyarakat Israel yang selalu bersatu dalam menghadapi krisis eksistensial.
Kesalahan penafsiran Sinwar dan kelompoknya selain menyebabkan kematiannya, tapi juga hampir menghancurkan Hamas. Faktanya, serangan teroris Hamas terhadap Israel dan penyanderaan selain tidak memperlebar perpecahan di Israel, sebaliknya malahan langsung telah mempersatukannya.
Tindakan dari salah tafsir Hamas itu kemudian mendatangkan perang habis-habisan. Meskipun warga Israel merasa terhina dan terkejut dengan kegagalan intelijen mereka, namun mereka dengan cepat mendukung tujuan kemenangan total Netanyahu. Arogansi pimpinan Hamas tidak hanya membawa kematian bagi dirinya sendiri, tetapi juga menimbulkan kerugian besar bagi warga sipil Palestina di Jalur Gaza.
Kesalahan besar Hamas juga menyebabkan intervensi Hizbullah, yang tidak hanya membawa bencana bagi Hizbullah, tetapi juga membuat warga sipil Lebanon dan Israel utara merasakan penderitaan akibat perang. Kelompok Houthi juga menjadi sasaran Amerika Serikat, Inggris dan Israel karena menyerang kapal-kapal yang transit di Laut Merah untuk mendukung Hamas. Pada saat yang sama, hal ini menempatkan Israel dan Iran dalam konflik langsung dan dapat menyebabkan peningkatan perang regional.
Sekarang, Hamas menggunakan sandera untuk memaksa Israel mengakhiri perang sesuai dengan ketentuan Hamas, yang sama saja dengan menyuruh Israel menyerah kepada Hamas, sehingga Hamas dapat membangun kembali organisasi militernya di tahun-tahun mendatang dan kembali mengancam Israel.
Hal ini jelas tidak dapat diterima oleh Israel, karena pembangunan kembali Hamas, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan, suatu hari nanti akan memaksa Israel untuk kembali berjuang demi keamanan nasional dan kelangsungan hidup warganya. (sin/whs)