Apakah Korut Berani Berperang Melawan Ukraina dan Korsel Secara Bersamaan?

Xie Luo-shan

Baru-baru ini, Korea Utara berubah menjadi lebih beringas karena akan segera membentuk aliansi militer dengan Rusia. Korea Utara selain menjanjikan pengiriman pasukan ke medan perang di Ukraina, tetapi juga mengeluarkan ancaman yang sangat provokatif terhadap Korea Selatan.

Perjanjian “Kemitraan Strategis Komprehensif” antara Rusia dan Korea Utara pada hakikatnya adalah aliansi militer strategis, yang dengan jelas menyatakan bahwa jika salah satu pihak yaitu Rusia atau Korea Utara berperang dengan pihak ketiga, maka pihak lainnya akan memberikan bantuan militer apa pun yang diperlukan, termasuk semua sumber daya yang dibutuhkan. Perjanjian tersebut sudah mendapatkan kesepakatan dari kedua belah pihak tinggal menunggu penandatanganannya.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dalam sebuah konferensi pers di Brussels pada 17 Oktober mengatakan bahwa Korea Utara sedang melibatkan diri dalam perang dengan Ukraina dan bersiap mengirim puluhan ribu tentara untuk berperang bersama Rusia di tengah ketegangan antara Kyiv dan Moskow. Hal ini akan menyebabkan perang semakin meluas. 

“Informasi yang kita dapat adalah Korea Utara sedang bersiap untuk mengirimkan lebih dari 10.000 orang tentara dari berbagai kemampuan khusus”, ini adalah “langkah pertama dalam perang dunia”, katanya. Hal ini akan menandai peningkatan secara signifikan keterlibatan Korea Utara dalam perang atas nama sekutu utamanya, Rusia.

Kremlin menepis laporan bahwa pasukan Korea Utara akan bertempur bersama pasukan Rusia dan menyebutnya sebagai berita palsu.

Menurut laporan, ribuan tentara Korea Utara telah menerima pelatihan di Timur Jauh Rusia dan bersiap untuk bergabung dalam perang melawan Ukraina sebelum akhir tahun ini untuk mengganti pasukan Rusia yang semakin serius berkurang akibat pertempuran.

Media Ukraina melaporkan pada 15 Oktober, bahwa sekitar 3.000 orang warga Korea Utara akan bergabung dengan Batalyon Buyat, yang berafiliasi dengan Brigade Serangan Lintas Udara Independen ke-11 Angkatan Bersenjata Rusia. Batalyon Buyat mungkin ditempatkan di dekat kota Suzha di wilayah Kursk Rusia yang diduduki Ukraina, di sana sudah muncul beberapa orang tentara Korea Utara. Andrey Kovalenko, direktur Pusat Anti-Disinformasi Ukraina, mengatakan bahwa warga Korea Utara mungkin juga akan memasuki wilayah Ukraina untuk berperang.

Kemungkinan pasukan Korea Utara dalam skala besar akan bertempur berdampingan dengan pasukan Rusia di medan perang di Ukraina tampaknya tidak bisa dihindari. Pertanyaan selanjutnya adalah kapan hal ini akan terjadi. Selama “kemitraan strategis komprehensif” antara Korea Utara dan Rusia secara resmi berlaku, hampir tidak ada yang dapat mencegah peningkatan komprehensif bantuan timbal balik militer antara Moskow dan Pyongyang, dan aliansi strategis ini akan semakin mempengaruhi situasi di Semenanjung Korea.

Saat ini, situasi di Semenanjung Korea sedang mengalami perubahan kritis, yang menunjukkan bahwa situasi tersebut dapat berkembang menjadi seperti permusuhan secara menyeluruh.

Media Korea Utara KCNA pada 18 Oktober memberitakan, pemimpin Korea Utara Kim Jong-un menyatakan bahwa Korea Selatan adalah negara yang bermusuhan. Sehari sebelumnya, Kantor Berita Pusat Korea menyatakan bahwa Majelis Nasional Korea Utara merevisi konstitusi dan menetapkan Korea Selatan sebagai “negara musuh”. Hal ini menandai Kim Jong-un telah sepenuhnya mengingkari janjinya untuk menyatukan kembali Semenanjung Korea.

Mengenai pemboman jalan-jalan dan kereta api yang menghubungkan Korea Utara dan Selatan pada minggu ini, Kim Jong-un mengatakan, bahwa ini berarti tidak hanya penutupan fisik, tetapi juga berakhirnya hubungan dengan Seoul, dan untuk sepenuhnya menghapus kesadaran mengenai saudara sebangsa yang tidak berguna, dan gagasan unifikasi yang tidak masuk akal. 

Awalnya, Korea Utara mengumumkan rencana ingin merevisi perbatasan maritimnya dengan Korea Selatan sekaligus memindahkannya lebih jauh ke selatan. Seoul kemudian menanggapinya dengan  menegaskan bahwa mereka siap mempertahankan perbatasannya meski harus melalui pertumpahan darah. 

Selama periode ini, Pyongyang menuduh Seoul mengirim drone tak dikenal untuk menyebarkan selebaran. Selain itu juga mengatakan bahwa jika drone kembali muncul di wilayah udara, konsekuensinya akan menjadi bencana besar. Segera setelah itu, unit artileri Korea Utara yang dikerahkan di sepanjang perbatasan disiagakan penuh, dan dua jalan yang menghubungkan Korea Utara dan Selatan diledakkan.

Jumlah pasti militer Korea Utara masih belum diketahui, namun ada sumber yang menyebutkan bahwa negara itu telah melakukan enam kali uji coba nuklir dan lebih sering uji coba rudal, termasuk rudal balistik yang mampu mencapai daratan Amerika Serikat. Adapun pasukan regular Korea Utara berjumlah lebih dari 1,1 juta orang.

Karena teknologi dan peralatan militer Korea Utara yang sudah ketinggalan zaman, negara ini mungkin kalah saing dengan Korea Selatan dalam hal kemampuan konvensional. Meskipun Korea Selatan tidak memiliki senjata nuklir, tetapi negara ini dilindungi oleh Strategi Pencegahan Nuklir yang Diperluas Amerika Serikat, sehingga bukan berarti Korea Selatan tidak memiliki kemampuan untuk mencegah serangan nuklir Korea Utara. Selama bertahun-tahun, seiring dengan meningkatnya provokasi Korea Utara, semakin banyak suara di Korea Selatan yang berharap Seoul dapat memiliki senjata nuklirnya sendiri, hal ini telah mendorong Amerika Serikat untuk lebih mempertimbangkan soal penerapan pencegahan yang diperluas di Semenanjung Korea.

Faktanya, kekuatan militer konvensional yang dimiliki Amerika Serikat dan Korea Selatan, khususnya serangan presisi jarak jauh dan kemampuan pembersihan target bunker yang kuat, telah memberikan efek jera yang cukup besar terhadap Korea Utara. Kuncinya adalah seberapa cepat tentara Korea Selatan yang jumlahnya relatif kecil dapat mencapai tujuan militernya di saat konflik dengan Korea Utara meletus, dan sejauh mana kemampuannya untuk melumpuhkan efektivitas tempur tentara Korea Utara yang jumlahnya besar. Jika tidak dapat mencapai tujuan militernya dalam waktu sesingkat-singkatnya, maka tentara Korea Utara masih berpeluang untuk menimbulkan kerugian besar bagi Seoul.

Sebaliknya, tentara Korea Utara yang perlengkapannya relatif buruk, dapat menggunakan senjata nuklir, senjata konvensional untuk melawan kekuatan besar yang memang tidak sebanding, dengan memanfaatkan kekhasan lokasi geografisnya, sampai pada tingkat tertentu tentara Korea Utara masih mampu menutupi kesenjangan teknologinya. Sejauh ini pengembangan senjata pemusnah massal dan rudal balistik Korea Utara masih menjadi sumber kekhawatiran. 

Tentu saja, ini bukan berarti ingin menggambarkan seberapa kuatnya tentara Korea Utara, tetapi mereka memang mampu menimbulkan kerusakan yang sangat serius bagi Seoul.

Garis Demarkasi Militer (DMZ) yang memiliki lebar 4 kilometer dan Panjang 250 kilometer, yang dijadikan perbatasan antara Korea Utara dan Selatan merupakan salah satu garis pertahanan yang paling padat ranjau, dan banyak pos penjagaan di kedua sisinya. Konflik antara Korea Utara dan Selatan akan menyebabkan kerugian yang sangat besar. Masalahnya, pusat kota Seoul hanya berjarak 40 kilometer dari DMZ, dan kawasan padat penduduk terdekat hanya berjarak 10 kilometer dari zona pemisah sempit ini. Jika terjadi perang, Korea Utara dapat menimbulkan korban jiwa yang serius dan kehancuran kota berskala besar pada masyarakat Seoul hanya dengan menggunakan artileri konvensional.

Dalam berbagai skenarionya Pentagon untuk melakukan intervensi terhadap konflik Korea Utara-Selatan, hampir tidak menemukan cara untuk mengalahkan Korea Utara dengan kerugian yang minimal bagi Seoul. Amerika Serikat dan Korea Selatan mungkin lebih memikirkan cara melawan invasi Korea Utara dengan kerugian minimal dibandingkan sekadar mengalahkan tentara Korea Utara atau mengakhiri rezim Kim.

Dari sudut pandang lain, janji merealisasikan pengakhiran rezim Kim mungkin juga mempunyai efek jera yang besar, ini mungkin bisa memaksa Kim Jong-un hanya menggunakan senjata gertakan, atau secara simbolis meledakkan beberapa gedung dan jalan di negerinya yang kiranya memiliki hubungan dengan Korea Selatan untuk menunjukkan tekadnya melawan Korea Selatan.

Namun, keberadaan “Kemitraan Strategis Komprehensif” antara Korea Utara dan Rusia, sebuah aliansi yang serupa dengan aliansi bilateral antara Amerika Serikat dan Korea Selatan atau bahkan aliansi NATO, semakin membesarkan keberanian Kim Jong-un untuk menantang Korea Selatan.

Namun, para pengamat Barat percaya, sejarah hubungan antara Rusia dan Korea Utara menentukan bahwa hal ini lebih cenderung menjadi “hubungan kenyamanan” yang jauh lebih rapuh daripada yang dibayangkan banyak orang. Hubungan ini jelas didasarkan pada kebutuhan mendesak Rusia akan senjata dan amunisi untuk mempertahankan perang di Ukraina. Begitu situasi perang di Ukraina berubah atau persediaan artileri dan rudal Korea Utara habis, maka Korea Utara dapat langsung kehilangan daya tawar untuk bekerja sama dengan Rusia.

Kim Jong-un tampaknya mencoba memulai konfrontasi dalam dua arah pada saat yang sama, karena didukung oleh “kemitraan strategis komprehensif”. 

Di satu sisi, mengirim pasukan ke Ukraina dapat menghasilkan uang dan teknologi Rusia, namun hal ini selain dapat mengarah pada deklarasi perang dengan Ukraina, juga menjadikan tentara Korea Utara sebagai umpan meriam bagi Rusia. Di sisi lain, konflik bersenjata dengan Korea Selatan yang tanpa pertimbangan lebih jauh bahkan bisa berujung pada runtuhnya rezim Kim Jong-un. (sin)