ETIndonesia. Tentara Korea Utara baru-baru ini ditempatkan di Rusia dan kemungkinan akan terlibat dalam perang di Ukraina. Di tengah kekhawatiran dan kecaman dari NATO, Amerika Serikat, dan Korea Selatan, Korea Utara lebih lanjut menyatakan bahwa mereka ‘berdiri bersama’ dengan Rusia. Perang Rusia-Ukraina menjadi semakin internasional, diperluas, dan kompleks, sehingga menarik perhatian global.
Menteri Luar Negeri Korea Utara, Choe Son Hui, baru-baru ini mengunjungi Moskow, yang merupakan kunjungan keduanya dalam enam minggu.
Choe Son Hui dan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, melakukan pertemuan pada 1 November, keduanya memuji hubungan antara kedua negara yang telah mencapai tingkat baru dan mempromosikan peran para pemimpin dalam hal ini. Choe Son Hui memastikan kepada Lavrov bahwa Korea Utara akan ‘berdiri teguh bersama kawan Rusia’ hingga ‘hari kemenangan’.
Sikap Korea Utara terhadap pengiriman pasukan telah berubah dari menyangkal menjadi secara implisit mengakui.
Pada 25 Oktober, Korean Central News Agency melaporkan bahwa Wakil Menteri Luar Negeri Korea Utara yang menangani urusan Rusia, Kim Jung Kyu berkomentar mengenai pengiriman pasukan Korea Utara untuk membantu Rusia, menyatakan, ‘jika hal tersebut terjadi, itu akan sesuai dengan norma hukum internasional.’
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, secara terbuka menyatakan pada 31 Oktober bahwa setidaknya ada 10.000 tentara Korea Utara yang ditempatkan di Rusia, dengan sekitar 8.000 di antaranya sudah berada di wilayah Kursk di Rusia dan akan segera bertempur dalam beberapa hari ke depan.
Blinken menekankan bahwa ‘tentara Korea Utara sedang menjalani pelatihan di Rusia, termasuk dalam artileri, drone, dan strategi perang parit.’ Ini dianggap sebagai tanda bahwa Korea Utara akan segera terlibat dalam pertempuran.
Blinken mengatakan, mengingat korban besar yang diderita oleh tentara Rusia dalam perang Rusia-Ukraina, dengan rata-rata kehilangan 1.200 personel per hari, banyak warga Rusia yang dilemparkan ke ‘mesin penggiling’, sehingga Rusia mencari bantuan militer dari Korea Utara.
Wilayah Kursk, yang terletak di bagian barat daya Rusia dan berbatasan dengan Ukraina, ditempati oleh pasukan Ukraina pada bulan Agustus, yang mengambil alih ribuan kilometer persegi wilayah tersebut. Namun, pasukan Rusia yang menyerbu Ukraina tidak menarik diri secara besar-besaran. Selama beberapa minggu terakhir, pasukan Rusia telah membuat kemajuan di wilayah Donets Donetsk di Ukraina Timur dan mengumumkan pada 29 Oktober bahwa mereka telah menguasai penuh kota Selidove di barat Donetsk.
NATO sebelumnya mengkonfirmasi bahwa pasukan Korea Utara telah dikerahkan di wilayah Kursk di Rusia. Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, berbicara di Brussel pada tanggal 28 Oktober, menyebut langkah Rusia sebagai ‘peningkatan besar’ dalam invasi penuh mereka ke Ukraina dan menunjukkan ‘keputusasaan’ Putin setelah ‘lebih dari 600.000 tentara Rusia tewas atau terluka’ dalam perang.
Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, pada 23 Oktober menyatakan bahwa tentara Pyongyang sedang bersiap untuk bergabung dengan Rusia dalam perang di Ukraina. ‘Ini adalah masalah yang sangat serius yang tidak hanya akan mempengaruhi Eropa tetapi juga kawasan Indo-Pasifik.’
Austin mengatakan bahwa AS masih mencoba untuk memastikan apa yang akan diperoleh Korea Utara sebagai imbalan atas bantuan personelnya kepada Rusia.
Pemerintahan Biden pada 1 November mengumumkan akan memberikan tambahan bantuan militer sebesar $425 juta kepada Ukraina untuk menghadapi bala bantuan tentara Korea Utara ke Rusia. Namun, terkait dengan keluhan berulang kali dari Zelenskyy yang meminta senjata serang jarak jauh dan menuding AS dan Inggris hanya menjadi penonton tampaknya AS dan NATO belum memberikan respons yang jelas, dan diperkirakan tidak akan ada respons hingga ditetapkannya hasil pemilihan presiden AS.
Zelenskyy pada 2 November di media sosial mengatakan, ‘Jika kita memiliki sarana—kemampuan jarak jauh, kita bisa mengambil inisiatif terlebih dahulu.’ ‘Namun, AS, Inggris, dan Jerman hanya menjadi penonton.’
Dia menekankan dalam wawancara dengan stasiun TV Korea KBS sehari sebelumnya bahwa peran resmi Korea Utara dalam perang ini tidak hanya sebagai pemasok senjata atau pekerja pabrik Rusia, tetapi tentara Korea Utara sedang bersiap untuk berperang dengan Ukraina, ‘ini adalah perang antara dua negara melawan satu negara.’
Dia juga mengecam keras sekutu Ukraina karena ‘tidak melakukan apa-apa’ terhadap penempatan tentara Korea Utara oleh Rusia. Sementara itu, Ukraina melakukan rekrutmen besar-besaran di dalam negeri.
Sekretaris Dewan Keamanan Nasional dan Pertahanan Ukraina, Oleksandr Lytvynenko, mengatakan kepada parlemen pada 30 Oktober bahwa ia berencana merekrut 160.000 personel lagi.
Bagi Korea Selatan, yang merasa paling khawatir dan tertekan dengan ikatan Korea Utara dengan Rusia, karena Moskow mungkin menawarkan transfer teknologi kepada Pyongyang, meningkatkan program senjata nuklir dan rudal Korea Utara, yang akan menimbulkan ancaman keamanan serius bagi Korea Selatan.
Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol, melakukan panggilan darurat dengan Zelensky pada 29 Oktober. Menurut laporan web berbahasa mandarin dari JoongAng Ilbo, Yoon Suk-yeol mengatakan dalam panggilan tersebut bahwa selain kemungkinan Rusia mentransfer teknologi militer sensitif kepada Korea Utara, ‘lebih penting lagi, tentara Korea Utara yang belum pernah terlibat dalam perang modern sejak Perang Korea, dimana, jika pengalaman yang diperoleh dalam perang Ukraina diajarkan kepada lebih dari satu juta tentara Korea Utara, ini akan menjadi ancaman besar bagi keamanan Korea Selatan.’
Yoon Suk-yeol juga menyatakan, ‘Korea Utara tidak hanya menyediakan dukungan senjata militer kepada Rusia tetapi juga mengirimkan pasukan khusus, ini adalah tindakan yang berbahaya dan belum pernah terjadi sebelumnya.’
Dia menekankan bahwa ‘pemerintah (Korea Selatan) tidak akan tinggal diam atas kolusi militer Korea Utara dengan Rusia yang mengancam keamanan mereka. Kedua negara akan terus memantau situasi di medan perang dan mengambil langkah-langkah responsif bertahap yang efektif.’
Rilis berita dari kedua pemimpin negara tidak menyebutkan tentang menyediakan senjata mematikan kepada Ukraina. Terkait rumor bahwa Korea Selatan mungkin mempertimbangkan mengirimkan senjata defensif dan ofensif ke Ukraina, seorang pejabat senior kantor presiden Korea mengatakan, mengingat situasi di medan perang, pemerintah Korea memutuskan bahwa masih belum waktunya untuk membahas dukungan senjata mematikan.
Sehari sebelumnya, Yoon Suk-yeol juga berbicara dengan Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, dan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, masing-masing, mengutuk kerja sama militer antara Korea Utara dengan Rusia. (jhon)
Sumber : Epochtimes.com