Trump Kembali ke Gedung Putih, Krisis Ekonomi Tiongkok Akan Semakin Memburuk

ETIndonesia. Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke 47 pada 6 November 2024 berdasarkan proyeksi Associated Press dan sejumlah lembaga penyiaran. Trump pernah mengusulkan untuk mengenakan tarif 60% terhadap produk Tiongkok. 

Para analis memperkirakan hal ini akan memberikan dampak besar terhadap ekonomi Tiongkok, yang mana saat ini dalam kondisi memburuk dibandingkan dengan masa jabatan pertama Trump.

Laporan kantor berita Reuters, dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, situasi ekonomi Tiongkok saat ini lebih rapuh. 

Beberapa faktor yang menyebabkannya adalah:

  1. Krisis Pasar Properti 

Pada 2018, pasar properti Tiongkok sangat kuat, yang mana mendukung perekonomian secara keseluruhan dan memberikan pendapatan yang stabil bagi pemerintah daerah. Hal ini meningkatkan kemampuan ekonomi Tiongkok untuk menghadapi dampak tarif yang dikenakan oleh Amerika Serikat.

Namun demikian, sejak 2021, pasar properti Tiongkok menurun secara drastis, yang mana menyebabkan penurunan pendapatan pemerintah daerah.

  1. Membengkaknya Utang Pemerintah Daerah

Penurunan pasar properti telah memperburuk kondisi keuangan pemerintah daerah dan melonjaknya utang mereka.

Menurut estimasi IMF, pada akhir 2023, total utang pemerintah daerah Tiongkok mencapai RMB.147 triliun (sekitar 20,7 triliun dolar AS). 

Data dari Bank for International Settlements menunjukkan bahwa jika ditambahkan dengan utang rumah tangga dan perusahaan, total utang ini akan melebihi 350 triliun yuan, jumlah ini sekitar tiga kali lipat dari ukuran ekonomi Tiongkok. Membengkaknya  utang ini mengurangi kemampuan pemerintah untuk mengatasi guncangan ekonomi eksternal.

  1. Permintaan Domestik Melemah 

Upah rendah, kurangnya jaminan pensiun, tingkat pengangguran kalangan kaum muda melesat dan sistem jaminan sosial yang lemah menyebabkan belanja rumah tangga di Tiongkok hanya mencapai kurang dari 40% dari PDB, lebih rendah sekitar 20 persen dibandingkan rata-rata global.


Untuk meningkatkan angka ini, diperlukan adanya reformasi besar dalam distribusi pendapatan nasional, yang mana harus menguntungkan rumah tangga. Ini memerlukan perubahan dalam cara perusahaan dan rumah tangga membayar pajak serta cara pemerintah mengeluarkan uang, termasuk meningkatkan tunjangan pensiun, kesehatan, dan pengangguran, serta menghapus sistem hukuman kota dan desa yang tidak setara.
Meski demikian, hingga saat ini, pemerintahan partai komunis Tiongkok (PKT) belum meluncurkan langkah-langkah tersebut, melainkan fokus pada pengembangan sektor manufaktur yang mengandalkan ekspor, seperti mobil listrik, energi surya, dan baterai.

  1. Tekanan Deflasi 

Krisis properti, tumpukan utang, dan lemahnya konsumsi telah memperburuk tekanan deflasi di Tiongkok. Kebijakan pemerintah yang mengalihkan sumber daya dari pasar properti ke sektor manufaktur, bukan untuk konsumen, justru memperburuk kelebihan kapasitas industri, yang mana pada  akhirnya memicu deflasi.

Pada Juli 2018, ketika Trump pertama kali mengenakan tarif terhadap produk Tiongkok, tingkat inflasi harga produsen Tiongkok adalah 4,6%. Namun, pada September 2024, angka ini telah berubah menjadi -2,8%. Selama periode ini, tingkat inflasi harga konsumen turun dari 2,1% menjadi 0,4%.


Pada 9 Oktober, perusahaan riset ekonomi Rhodium Group dan lembaga think tank Atlantic Council merilis laporan yang berjudul “The Endgame: The Cost of Stagnant Reform” setelah melakukan studi empat tahun tentang ekonomi Tiongkok.

 Laporan tersebut menyimpulkan bahwa ekonomi Tiongkok telah menyimpang dari prinsip ekonomi pasar. Isi  laporan mencatatkan bahwa hampir di setiap bidang yang dipantau, reformasi di Tiongkok telah mandek, bahkan dalam beberapa kasus mengalami kemunduran. (Hui)