ETIndonesia. Pada 13 November 2024, Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, kembali ke Gedung Putih dan bertemu dengan Presiden saat ini, Joe Biden, di Ruang Oval. Dalam video yang terekam, kedua presiden terlihat santai dengan suasana yang bersahabat.
Setelah berjabat tangan dengan Trump, Biden berkata, “Selamat datang kembali, Presiden terpilih dan mantan Presiden Donald Trump.” Trump berterima kasih kepadanya dan berkata, “Politik itu sulit, tetapi hari ini adalah hari yang baik.” Ia menyatakan bahwa transisi berjalan dengan lancar, dan Biden menjawab, “Sama-sama.”
[Pertemuan Santai dan Ramah Antara Biden dan Trump di Gedung Putih]
Pada Rabu, 13 November 2024, Presiden terpilih Donald Trump kembali ke Gedung Putih dan bertemu dengan Presiden Joe Biden di Kantor Oval. Dalam video yang diambil di lokasi, tampak keduanya bersikap santai dengan suasana yang ramah.
Setelah berjabat tangan dengan Trump, Biden berkata, “Selamat kepada presiden terpilih, mantan presiden Donald Trump. Selamat datang kembali.” Trump mengucapkan terima kasih kepadanya dan berkata, “Politik itu sulit, dan dalam banyak hal, ini bukanlah dunia yang sempurna, tetapi hari ini adalah hari yang baik.” Ia berterima kasih kepada Biden atas undangannya, serta menyatakan bahwa proses transisi berjalan dengan lancar. Biden menjawab dengan singkat, “Sama-sama.”
Sesuai tradisi, setelah berbicara singkat di depan publik, keduanya melanjutkan dengan pertemuan tertutup. Pertemuan ini merupakan bagian dari ritual transisi kekuasaan damai di Amerika Serikat.
Juru bicara Gedung Putih, Karine Jean-Pierre, mengatakan kepada media bahwa Presiden Biden berkomitmen untuk memastikan transisi ini berjalan efektif dan efisien.
“Ini adalah hal yang biasa dan tepat bagi rakyat Amerika Serikat,” katanya.
Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, Jake Sullivan, menambahkan bahwa mereka akan menyelesaikan “transisi bertanggung jawab dari satu presiden ke presiden berikutnya, yang merupakan tradisi terbaik negara kita.” Sullivan menambahkan bahwa mereka akan membahas isu-isu penting—baik kebijakan domestik maupun luar negeri—termasuk situasi di Eropa, Asia, dan Timur Tengah.
Jurnalis independen Kylena Becker menulis di platform X, “Kedua presiden Amerika ini menunjukkan persatuan untuk Amerika Serikat.” Dia juga menambahkan, “Lihatlah Joe Biden, dia tampak sangat bahagia hari ini.”
Trump memenangkan pemilu minggu lalu dengan perolehan suara elektoral 312 banding 226, mengalahkan calon presiden dari Partai Demokrat yang juga Wakil Presiden, Kamala Harris, sehingga berhasil melakukan comeback politik. Kemenangan ini menjadikan Trump sebagai pemimpin tak terbantahkan di Partai Republik. Sebelum bertemu dengan Biden, Trump bertemu dengan anggota Partai Republik di Kongres.
Setelah terpilih, Trump mengumumkan sebagian anggota kabinet barunya. Beberapa di antaranya adalah Senator Marco Rubio sebagai Menteri Luar Negeri AS, Anggota DPR Mike Waltz sebagai Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, mantan veteran sekaligus Host Fox News Pete Hegseth sebagai Menteri Pertahanan, dan Gubernur South Dakota Kristi Noem sebagai Menteri Keamanan Dalam Negeri.
Sesuai dengan Undang-Undang Transisi Presiden, Trump dan anggota kabinetnya perlu menandatangani perjanjian untuk memastikan tidak ada yang mendapatkan keuntungan dari informasi yang diberikan selama masa transisi. Perjanjian ini diperlukan agar mereka bisa memiliki akses ke pejabat pemerintahan, fasilitas, dan informasi.
Di luar Gedung Putih, tanda-tanda persiapan transisi kekuasaan sudah terlihat. Setelah pelantikan pada 20 Januari, Trump akan menggelar parade, dan panggung untuk tamu kehormatan sudah mulai dibangun.
Pertemuan Ketiga Biden-Xi Akan Digelar, Biden Tekankan Pentingnya Perdamaian di Selat Taiwan
Pada Rabu (13 November), pejabat senior Gedung Putih menyatakan bahwa Presiden AS Joe Biden akan bertemu langsung dengan pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) Xi Jinping untuk ketiga kalinya pada Sabtu, 16 November 2024. Pertemuan ini juga akan menjadi pertemuan terakhir selama masa jabatan Biden. Dalam kesempatan tersebut, Biden akan menekankan pentingnya menjaga perdamaian di Selat Taiwan dan mengungkapkan kekhawatiran atas serangan siber Tiongkok terhadap AS.
Pertemuan ini berlangsung bersamaan dengan KTT Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang diselenggarakan di Lima, Peru, dari 14 hingga 15 November. Perencanaan pertemuan Biden-Xi dimulai sejak Agustus saat Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan, berkunjung ke Beijing untuk bernegosiasi. Pertemuan sebelumnya antara Biden dan Xi berlangsung di San Francisco pada forum APEC 2023.
Menurut pejabat Gedung Putih, Biden akan mengutarakan sejumlah isu penting, di antaranya: latihan militer PKT di sekitar Taiwan yang dianggap mengganggu stabilitas regional, aktivitas Coast Guard di Laut China Selatan yang mengganggu hak-hak maritim negara tetangga, dukungan PKT terhadap industri pertahanan Rusia dalam perang Rusia-Ukraina serta serangan siber baru-baru ini terhadap jaringan telekomunikasi AS oleh peretas dari Tiongkok.
Mengenai serangan siber terbaru Tiongkok terhadap AS, Sullivan menyebutnya sebagai “serangan besar” dalam wawancara dengan CBS pada 10 November. Menurutnya, serangan ini memiliki dampak yang “melebihi perkiraan” terhadap keamanan nasional AS, dengan jumlah korban yang besar, termasuk tim kampanye Trump dan Kamala Harris serta tokoh penting lainnya di sektor politik dan bisnis. Sullivan mengatakan bahwa FBI, Departemen Keamanan Dalam Negeri, dan seluruh lembaga keamanan nasional AS bekerja keras untuk menyelidiki kasus ini.
Gedung Putih menyatakan bahwa Biden akan memperingatkan Xi bahwa tindakan agresif Tiongkok terhadap jaringan kritis AS hanya akan mempercepat pemisahan teknologi antara kedua negara.
Mantan pejabat senior Departemen Luar Negeri AS, Danny Russel, mengatakan bahwa Biden dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk menekan Beijing agar mengubah kebijakan perdagangannya. Russel berharap Biden mengutarakan pandangan konkret terkait potensi tarif yang mungkin dikenakan pemerintahan Trump terhadap Tiongkok.
Meskipun terjadi banyak perbedaan pandangan dan persaingan yang ketat antara AS dan Tiongkok dalam empat tahun terakhir, Gedung Putih menegaskan bahwa pemerintahan Biden tetap “bertanggung jawab dalam mengelola hubungan AS-Tiongkok” guna mencegah persaingan ini meningkat menjadi konflik. Namun demikian, pejabat Gedung Putih memperkirakan bahwa pertemuan puncak ini tidak akan menghasilkan banyak kesepakatan dengan konkret.
Terkena Imbas dari Tiongkok , Penjualan Barang Mewah Global Tahun Ini Terburuk dalam Sejarah
Pada 13 November, perusahaan konsultan Bain merilis laporan terbaru yang menunjukkan bahwa penjualan barang mewah global diperkirakan akan turun 2% tahun ini, menjadi tahun terburuk yang pernah tercatat. Analisis dari laporan tersebut menunjukkan bahwa pasar Tiongkok menjadi faktor utama penyebab penurunan ini.
Laporan pasar yang dirilis ini meneliti pasar barang mewah bernilai 363 miliar euro. Diperkirakan bahwa penjualan barang mewah di TIongkok tahun ini akan turun sebesar 20%-22%, menjadikan Tiongkok sebagai “penghambat” bagi pasar global.
Konsumsi besar-besaran warga Tiongkok yang pernah berlangsung sebelum pandemi COVID-19 kini tak lagi terlihat.
Mitra Bain, Federica Levato, kepada Reuters menyatakan bahwa tahun ini, di luar masa pandemi, merupakan kali pertama industri barang mewah pribadi mengalami penurunan sejak krisis keuangan global 2008.
Indeks Miliarder Bloomberg terbaru menunjukkan bahwa kekayaan tiga miliarder besar Prancis—Bernard Arnault, Francoise Meyers, dan Francois Pinault—tahun ini mengalami penurunan total sebesar 58 miliar dolar AS. Hal ini berkaitan erat dengan menurunnya permintaan untuk merek-merek mewah mereka seperti Louis Vuitton, Gucci, dan L’Oreal.
Harga saham LVMH, perusahaan mewah yang didirikan dan dikendalikan oleh Arnault, telah turun 30% dari puncaknya pada pertengahan 2023. Hasil penelitian Bain semakin memperburuk kekhawatiran investor, dan diperkirakan harga saham perusahaan seperti LVMH dan Kering milik Pinault akan terus terpengaruh.
Levato menyebutkan bahwa penjualan barang mewah pribadi global, termasuk pakaian, aksesori, dan produk kecantikan, diperkirakan akan stagnan selama musim liburan, tetapi kinerja Tiongkok tetap buruk. Sebelumnya, industri barang mewah memiliki sekitar 400 juta konsumen, namun dalam dua tahun terakhir, jumlah tersebut menurun sebanyak 50 juta konsumen.
Analisis menunjukkan bahwa inflasi serta konflik Rusia-Ukraina telah mendorong merek-merek mewah untuk menaikkan harga. Ditambah lagi dengan kondisi perekonomian Tiongkok yang mengalami kesulitan, banyak konsumen, terutama yang muda, memilih untuk tidak lagi membeli barang-barang mewah.
Levato juga menambahkan bahwa kemenangan Trump dalam pemilihan presiden AS mengurangi ketidakpastian pasar. Investor berharap bahwa dengan kembalinya Trump ke Gedung Putih, akan ada kebijakan pemotongan pajak dan pelonggaran regulasi sehingga konsumsi di Amerika Serikat dapat meningkat.
Laporan Bain memproyeksikan bahwa karena penjualan di Eropa dan Amerika yang stabil, industri barang mewah pribadi akan tumbuh 0% hingga 4% pada tahun 2025. (Hui)
Sumber : NTDTV.com