Dilaporkan 8 Orang Tewas dan 17 Terluka dalam Serangan Penikaman Massal di Tiongkok

Serangan ini terjadi beberapa hari setelah insiden massal lainnya, di mana seorang pria menabrakkan kendaraannya ke kerumunan di luar stadion olahraga, pemerintah melaporkan insiden ini menewaskan 35 orang

ETIndonesia. Setidaknya delapan orang tewas dan 17 lainnya terluka dalam serangan penikaman massal di sebuah perguruan tinggi vokasi di Tiongkok bagian timur, menurut otoritas setempat pada 17 November 2024.

Seorang pria berusia 21 tahun yang ditangkap di lokasi kejadian dan mengakui tindakannya, kata polisi. Pria tersebut diidentifikasi sebagai mantan mahasiswa, bermarga Xu, di Wuxi Vocational College of Arts and Technology di Yixing, Wuxi, Provinsi Jiangsu.

Serangan ini terjadi hanya beberapa hari setelah serangan mematikan lainnya di Tiongkok yang menyebabkan banyak korban. Pada 11 November, seorang pria berusia 62 tahun didakwa polisi di Zhuhai, Provinsi Guangzhou, atas serangan kendaraan maut di luar stadion olahraga. Tersangka diduga menewaskan 35 orang dan melukai 43 lainnya dengan menabrak kerumunan, menjadikannya serangan paling mematikan di Tiongkok dalam satu dekade.

The Epoch Times tidak dapat secara independen memverifikasi jumlah korban dari kedua insiden tersebut, dikarenakan Partai Komunis Tiongkok (PKT) secara rutin menekan atau mengubah informasi.

Polisi hanya merilis sedikit detail tentang kedua insiden tersebut.

“[Tersangka dalam insiden penikaman massal] menyerang orang lain setelah gagal ujian, tidak menerima sertifikat kelulusannya, dan merasa tidak puas dengan kompensasi magangnya,” kata Biro Keamanan Publik Yixing dalam sebuah pernyataan, yang dirilis setelah “penyelidikan awal” oleh polisi di Wuxi.

Wuxi Vocational College menawarkan kursus untuk mempersiapkan mahasiswa bekerja di industri seperti manufaktur kabel, desain interior, pemasaran, dan bidang lainnya, menurut situs web perguruan tinggi tersebut.

Tersangka dalam serangan di Zhuhai dilaporkan marah atas pembagian aset keuangan dalam perceraian terbarunya, kata polisi.

Qu Weiguo, seorang profesor di Universitas Fudan, mengatakan bahwa kasus-kasus terbaru “balas dendam tanpa pandang bulu terhadap masyarakat” di Tiongkok memiliki ciri-ciri yang sama: tersangka yang kurang beruntung dengan masalah kesehatan mental, merasa diperlakukan tidak adil, dan kemungkinan besar merasa tidak memiliki jalan lain.

Setidaknya enam serangan pisau profil tinggi lainnya tercatat tahun ini di Tiongkok, beberapa di antaranya menargetkan anak-anak dan warga asing.

“Penting untuk membangun jaring pengaman sosial dan mekanisme konseling psikologis, tetapi untuk meminimalkan kasus seperti ini, cara yang paling efektif adalah membuka saluran publik yang dapat memantau dan mengungkap penyalahgunaan kekuasaan,” tulis Qu di platform media sosial Tiongkok, Weibo.

Esai singkat Qu telah dihapus oleh sensor partai komunis Tiongkok pada  17 November sore.

Partai tersebut sering menyensor konten internet yang dianggap terlalu sensitif atau politis. Sebagian besar situs media sosial dan mesin pencari Barat, seperti Google, diblokir di balik apa yang dikenal sebaga Great Firewall, yang mengatur akses di Tiongkok.

Pembunuhan massal ini memicu diskusi online yang jarang terjadi, tetapi  disensor, tentang kesehatan mental dan tekanan sosial yang lebih dalam seiring melambatnya ekonomi terbesar kedua di dunia ini.

Topik diskusi yang sedang tren sepanjang tahun ini menyoroti menurunnya optimisme di Tiongkok tentang perbaikan pekerjaan, pendapatan, dan peluang. Salah satunya—“waktu sampah dalam sejarah”—menjadi populer pada musim panas sebagai istilah untuk keputusasaan ekonomi.

Dalam beberapa minggu terakhir, pejabat Tiongkok  meluncurkan berbagai langkah stimulus untuk menghidupkan kembali ekonomi. Serangan mobil pada 11 November juga mendorong intervensi oleh pemimpin Tiongkok Xi Jinping, yang mendesak polisi setempat untuk “memperkuat pengendalian risiko” dengan mengidentifikasi individu yang berisiko melampiaskan kemarahan mereka.

Reuters dan The Associated Press berkontribusi pada laporan ini.

Sumber : The Epoch Times