EtIndonesia. Dunia kembali diselimuti oleh gejolak politik dan militer yang meningkat pesat, dimulai dari persetujuan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, untuk penggunaan sistem rudal taktis Angkatan Darat AS oleh pasukan Ukraina hingga eskalasi konflik di Timur Tengah antara Israel dan Hizbullah.
Berikut adalah rangkuman lengkap perkembangan terbaru yang mengguncang berbagai belahan dunia.
Persetujuan AS untuk Bantuan Militer Ukraina
Pada tanggal 17 November 2024, Presiden AS, JoeBiden secara resmi menyetujui penggunaan sistem rudal taktis Angkatan Darat Amerika Serikat oleh pasukan Ukraina untuk menyerang target di wilayah Rusia. Langkah ini diikuti oleh pengumuman dari Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis yang secara berturut-turut mencabut larangan terhadap bantuan senjata kepada Ukraina. Keputusan ini menandai peningkatan signifikan dalam dukungan Barat terhadap Ukraina dalam menghadapi agresi Rusia.
Respons Rusia dan Ancaman Nuklir
Pemerintah Rusia segera merespons keputusan tersebut dengan pernyataan keras. Mereka menyatakan, bahwa setiap serangan yang didukung oleh negara-negara Barat akan memaksa Rusia untuk meningkatkan operasi militernya, bahkan mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir taktis.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menyatakan pada 18 November 2024 bahwa penggunaan rudal jarak jauh oleh Ukraina terhadap wilayah Rusia akan melibatkan langsung Amerika Serikat dan sekutunya dalam konflik ini, serta mengubah esensi perang secara fundamental. Presiden Vladimir Putin juga mengancam akan menggunakan senjata nuklir jika terjadi serangan besar-besaran dengan rudal atau drone ke wilayah Rusia.
Konspirasi dengan Korea Utara dan Kerusakan Infrastruktur
Selain itu, muncul kabar bahwa Korea Utara berpotensi mengirim hingga 100.000 pasukan untuk bergabung dalam pertempuran bersama Rusia melawan Ukraina. Menurut analisis dari blogger militer Zhou Ziding dan jurnalis senior Hope Voice, strategi ini diharapkan berlangsung secara bertahap untuk menjaga efektivitas pasukan dan mendukung perang jangka panjang yang direncanakan oleh Putin.
Pada tanggal 17 November 2024, kabel bawah laut sepanjang 1.200 kilometer di Finlandia dan Swedia mengalami kerusakan, memutuskan sambungan langsung antara Finlandia dan Eropa Tengah serta mengganggu transmisi data ke Jerman.
Perusakan ini diduga terkait dengan pipa gas alam dan jalur listrik penting yang dipasang oleh perusahaan Finlandia milik Tiongkok, menimbulkan dugaan sabotase dan ketegangan geopolitik di kawasan Nordik dan Baltik. Sebagai tanggapan, pada 18 November, Swedia mengirim sekitar 5 juta brosur kepada warganya untuk mendorong kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan perang, sementara Finlandia meluncurkan situs web persiapan perang baru.
Serangan Siber dan Keamanan Infrastruktur
Kerusakan pada kabel bawah laut ini juga berdampak pada jaringan internet di wilayah Nordik dan Baltik. Perusahaan telekomunikasi utama di Swedia, Telia, melaporkan kerusakan pada satu kabel antara Lithuania dan Swedia, yang mengurangi bandwidth internet Lithuania sebanyak sepertiga. Banyak pengguna platform X (sebelumnya Twitter) mencurigai keterlibatan perusahaan yang dimiliki Tiongkok, menimbulkan kekhawatiran serius mengenai keamanan siber dan dampak asing terhadap infrastruktur kritis Eropa.
Konflik Israel-Hizbullah di Lebanon
Pada tanggal 17 November 2024, Israel melancarkan lima serangan udara ke pinggiran selatan Beirut, Lebanon. Keesokan harinya, Hizbullah menembakkan sekitar 100 roket ke utara Israel, dengan beberapa berhasil dihentikan oleh sistem pertahanan udara Israel.
Serangan ini menyebabkan setidaknya satu wanita tewas dan lima orang terluka di wilayah utara Israel. Selain itu, sebuah rudal yang ditembakkan dari Lebanon berhasil dicegat oleh angkatan udara Israel, namun serpihan rudal tersebut jatuh di Ramot Gan, Tel Aviv, menyebabkan kebakaran di sebuah bangunan. Perusahaan listrik Israel juga melaporkan kerusakan pada saluran listrik tegangan tinggi, mengganggu pasokan listrik lokal.
Kesepakatan Gencatan Senjata dan Kontroversi ICC
Dalam perkembangan terbaru, Reuters melaporkan bahwa Lebanon dan Hizbullah telah menyetujui kesepakatan gencatan senjata yang diajukan oleh Amerika Serikat dengan Israel. Mereka juga menyampaikan dukungan terhadap Resolusi 1701 PBB yang melarang keberadaan pasukan bersenjata Hizbullah di dekat perbatasan.
Sementara itu, pada Mei tahun ini, Jaksa Agung ICC, Karim Khan, meminta perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan Menteri Pertahanan saat itu, Gallant, atas dugaan pelanggaran perang di Gaza. Menanggapi hal ini, pemimpin Partai Republik di Senat AS, Thune, mendesak pemberlakuan sanksi terhadap ICC jika permintaan penangkapan tersebut tidak dicabut.
Dewan Perwakilan Rakyat AS sejak Juni telah menyetujui undang-undang yang memungkinkan sanksi terhadap individu yang terlibat dalam investigasi atau penuntutan oleh ICC. Meskipun Presiden Biden menyatakan keprihatinan terhadap tindakan ICC, Pemerintah AS menolak keras penggunaan sanksi sebagai respons.
Tanggapan Beragam di Amerika Serikat
Posisi mengenai ICC terbagi di kalangan politisi AS. Senator Republik dari Carolina Selatan, Graham, menyatakan dukungan terhadap sanksi yang diusulkan, sementara Senator Sanders mendukung tindakan jaksa agung ICC dan menegaskan pentingnya hukum internasional. Pemerintah AS, melalui juru bicara Departemen Luar Negeri, Miller, menegaskan bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi atas konflik ini dan menolak klaim bahwa militer Israel dan Hamas telah melanggar hukum internasional.
Kesimpulan
Situasi global saat ini menunjukkan peningkatan ketegangan dan kompleksitas hubungan internasional, dengan berbagai negara terlibat dalam konflik militer, serangan siber, dan perdebatan hukum internasional. Langkah-langkah yang diambil oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Israel, serta keterlibatan negara-negara lain seperti Korea Utara dan pihak non-negara seperti Hizbullah, menunjukkan dinamika geopolitik yang semakin rumit dan berpotensi mengancam stabilitas dunia.