Situasi ekonomi dan politik di Tiongkok terus memburuk. Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak warga Tiongkok, termasuk konglomerat, elite dari berbagai kalangan, serta masyarakat biasa, memilih untuk berimigrasi ke luar negeri. Bahkan generasi kedua elite Partai Komunis Tiongkok (red second generation) juga terburu-buru mengalihkan aset mereka untuk melarikan diri
ETIndonesia. Di bawah tekanan politik yang meningkat, ekonomi yang lesu, dan tingkat pengangguran pemuda yang tinggi, gelombang imigrasi ke berbagai negara seperti Amerika Serikat, Meksiko, Thailand, Jepang, Singapura, Australia, dan Kanada terus bertambah.
Berdasarkan data resmi Jepang, dari lebih dari tiga juta penduduk asing di negara itu pada 2023, warga Tiongkok menjadi imigran baru terbesar dengan jumlah mencapai 822.000 orang.
Menurut laporan Associated Press pada Oktober tahun lalu, Amerika Serikat menghadapi peningkatan jumlah warga Tiongkok yang menggunakan jalur baru melalui celah Darién (Darién Gap) di Panama untuk mencapai perbatasan Amerika-Meksiko.
Dari Januari hingga September 2023, patroli perbatasan AS menangkap 22.187 warga Tiongkok yang masuk secara ilegal melalui Meksiko—hampir 13 kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Bersamaan dengan itu, semakin banyak warga Tiongkok yang memanfaatkan mata uang kripto dan mendirikan perusahaan cangkang untuk memindahkan aset mereka ke luar negeri.
Menurut Wall Street Journal pada Oktober tahun ini, selama empat kuartal hingga Juni 2024, aset senilai 254 miliar dolar AS telah dipindahkan ke luar negeri untuk menghindari pengawasan pemerintah PKT. Angka ini lebih besar daripada gelombang arus keluar modal pada 2015-2016 akibat penurunan pasar properti. Nilai sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi.
Cai Shenkun, seorang penulis senior dan komentator independen, dalam acara Forum Elite di NTDTV, mengatakan bahwa eksodus warga Tiongkok dipicu oleh alasan politik dan ekonomi. Bagi kalangan elite, alasan politik menjadi pendorong utama.
“Beberapa orang yang memiliki pandangan jauh ke depan telah meninggalkan negara itu dengan berbagai cara sejak lama. Sementara mereka yang terlambat menyadari bahaya, baru mencoba melarikan diri setelah situasi benar-benar memburuk dan hidup mereka terancam.”
Cai menambahkan bahwa selama beberapa tahun terakhir, orang-orang kaya di Tiongkok berbondong-bondong meninggalkan negara itu, membawa serta aset mereka melalui berbagai cara.
“Orang kaya ingin pergi, sementara orang miskin juga berlomba-lomba melarikan diri ke Amerika Serikat atau negara lain,” katanya.
Li Jun, seorang produser televisi independen, menyebut bahwa kini para konglomerat, termasuk generasi kedua elite Partai Komunis Tiongkok (red second generation), juga berusaha melarikan diri.
“Orang-orang biasa hanya bisa menggunakan jalur ilegal. Selama dua tahun terakhir, jumlah mereka yang melewati perbatasan Meksiko-AS meningkat tajam. Khususnya setelah pandemi, muncul gelombang baru pelarian ke Amerika,” ujarnya.
Tiga tahun kebijakan “nol COVID dinamis” oleh pemerintah Tiongkok memicu revolusi kertas putih menghancurkan ekonomi negara, serta menciptakan krisis domestik dan diplomatik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kini, masyarakat Tiongkok dilanda kekacauan, dengan berbagai insiden kekerasan dan kejahatan brutal terjadi.
Jurnalis senior Jepang, Akio Yaita, menulis di Facebook pada 20 November bahwa baru-baru ini terjadi insiden pembunuhan acak di Zhuhai, Wuxi, dan Changde, yang menyebabkan banyak korban jiwa. Sebelumnya, sekolah Jepang di Shenzhen dan Suzhou juga mengalami serangan, serta peristiwa penikaman massal di Shanghai menjelang Hari Nasional PKT. Insiden semacam ini sering disebut sebagai “fenomena Zhang Xianzhong”.
Zhang Xianzhong adalah seorang pemimpin pemberontakan petani pada akhir Dinasti Ming yang dikenal karena pembunuhannya terhadap rakyat jelata ketika menghadapi kehancuran. Istilah “Zhang Xianzhong-isme” kini digunakan untuk menggambarkan meningkatnya insiden kekerasan di Tiongkok yang terjadi hanya untuk membunuh.
Yaita menilai bahwa penyebab utama “Zhang Xianzhong-isme” adalah kebijakan ambisius Xi Jinping yang memperburuk ketidakadilan, ketertutupan, dan kurangnya transparansi di masyarakat Tiongkok. Warga yang tidak puas tidak memiliki saluran untuk menyuarakan keluhannya.
Ia menjelaskan bahwa pemerintah daerah berusaha menunjukkan situasi aman kepada Xi dengan menangkap dan menahan warga yang pergi ke Beijing untuk mengadu. Namun, bagi mereka yang menghadapi kesulitan serius, jalur pengaduan ini adalah satu-satunya harapan untuk mendapatkan keadilan. Ketika jalur itu ditutup, mereka terjebak dalam keputusasaan.
Yaita mengutip kata-kata Laozi: “Ketika rakyat tidak takut mati, bagaimana Anda dapat mengintimidasi mereka dengan ancaman kematian?” Jika kondisi kehidupan masyarakat terus memburuk, hukum yang keras sekalipun tidak akan mampu menjaga stabilitas sosial. Jika ekonomi Tiongkok tidak pulih, insiden kekerasan brutal dan balas dendam terhadap masyarakat akan terus terjadi.” (hui)
Sumber : NTDTV.com