ETIndonesia. Kondisi perekonomian yang memburuk dan penurunan daya beli masyarakat telah menyebabkan banyak restoran tutup, termasuk restoran hotpot, restoran khas Tiongkok, dan kedai minuman teh. Para pelaku usaha mengakui bahwa “seluruh tahun terasa seperti musim sepi.” Empat jenis restoran menjadi yang paling terdampak dan kemungkinan akan tersingkir lebih dulu.
Menurut data, lebih dari 1 juta restoran tutup pada paruh pertama tahun ini, jauh melampaui periode yang sama tahun lalu. Jika tren ini terus berlanjut, diperkirakan lebih dari 2 juta restoran akan tutup pada akhir tahun ini.
Laporan dari situs Hongcan menyebutkan bahwa sejumlah merek restoran baru-baru ini gulung tikar. Contohnya, merek restoran Jepang terkenal Akasaka-tei, restoran ayam khas Guangzhou Qingxin Ji Sha Tian Pigeon, hingga merek roti Wuli Tang. Pemilik Wuli Tang dengan jujur mengatakan, “Kami benar-benar tidak sanggup lagi!”
Jika melihat jangka waktu yang lebih panjang, jumlah merek yang tutup semakin banyak. Banyak pelaku industri berpendapat bahwa gelombang penutupan ini baru saja dimulai, karena pasokan restoran yang jauh melampaui permintaan.
Di media sosial, kabar penutupan berbagai restoran hotpot, restoran khas Tiongkok, hingga bar terus bermunculan. Misalnya, gerai Maan Coffee di Aeon Mall Fengtai Beijing diam-diam tutup pada Oktober lalu.
Mengacu pada kondisi industri saat ini, empat jenis restoran berikut diperkirakan akan tersingkir lebih dulu:
- Restoran besar dengan biaya sewa tinggi dan keuntungan rendah.
- Restoran dengan kebutuhan tenaga kerja tinggi dan biaya operasional besar.
- Restoran viral (netizen-driven) yang hanya diminati dalam waktu singkat.
- Restoran yang terlalu bergantung pada pemasaran tanpa produk unggulan yang kuat.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa sewa, tenaga kerja, dan bahan baku adalah “tiga beban utama” dalam operasional restoran. Semakin besar restoran, semakin tinggi pula sewa yang harus dibayar. Jika pendapatan tidak sesuai harapan, restoran kesulitan menjaga arus kas, terutama untuk membayar sewa, sehingga terpaksa tutup.
Seorang pengelola restoran fine dining berbagi bahwa karyawannya tidak hanya harus fasih berbahasa Inggris, tetapi juga menjalani pelatihan makanan dan minuman dengan gaji bulanan antara RMB. 15-18 ribu. Bahkan, gaji sommelier bisa mencapai RMB.20 ribu , sementara koki utama lebih tinggi lagi. Total biaya tenaga kerja bulanan restoran tersebut mencapai RMB.400 ribu .
Selain itu, restoran viral memiliki umur operasional yang sangat pendek, bahkan kurang dari sebulan. Data dari Meituan menunjukkan bahwa 50% restoran yang tutup pada tahun 2023 adalah restoran yang menjual produk viral.
Pada Maret lalu, banyak restoran Tianshui Mala Tang bermunculan di berbagai daerah di Tiongkok. Salah satunya, pemilik restoran di Jinan menghabiskan EMB.20 ribu untuk belajar dari Gansu, lalu menginvestasikan RMB.200-300 ribu untuk membuka restoran. Namun, hanya dalam waktu 18 hari setelah pembukaan, restoran itu terpaksa tutup.
Jika sebuah restoran hanya mengandalkan pemasaran untuk menarik pelanggan tanpa menawarkan produk yang mampu mempertahankan loyalitas konsumen, sulit bagi restoran tersebut untuk bertahan lama. Setelah rasa penasaran konsumen hilang, aliran pelanggan menurun, pendapatan berkurang, dan akhirnya restoran gulung tikar.
Salah satu contohnya adalah restoran viral “Hei Ji Xiao Guan” yang sudah beroperasi selama 12 tahun, namun harus menutup semua gerainya pada tahun ini.
Pada 24 September, mal Beijing Century Golden Source mengeluarkan pemberitahuan resmi bahwa Hei Ji Xiao Guan menunggak sewa selama dua bulan dan secara sepihak menghentikan operasional.
Menurut laporan media ekonomi Brand Observer, penurunan daya beli masyarakat telah menyebabkan perubahan besar dalam industri kuliner. Fenomena ini mempercepat proses seleksi alami dalam industri, dan kegagalan Hei Ji Xiao Guan hanyalah gambaran kecil dari kondisi yang lebih luas.
Pada Oktober, restoran legendaris “Guangzhou Qingxin Ji Sha Tian Pigeon” yang telah melayani masyarakat selama belasan tahun juga harus tutup karena tidak mampu bertahan.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa pandemi selama tiga tahun terakhir mengubah pola pikir konsumen. Para pelaku usaha kuliner tidak pernah membayangkan bahwa setelah berhasil melewati masa pandemi, mereka harus menghadapi penurunan daya beli masyarakat. Akibatnya, banyak restoran kecil yang tidak memiliki kekuatan finansial terpaksa menutup bisnis mereka untuk menghindari kerugian lebih besar. (Hui)