ETIndonesia. Pada 24 November 2022 lalu, kebakaran di sebuah gedung apartemen di Urumqi, Xinjiang menyebabkan setidaknya sembilan belas orang tewas atau terluka karena penanganan yang tertunda oleh langkah-langkah lockdown pemerintah saat itu. Kejadian ini memicu ketidakpuasan nasional terhadap kebijakan pencegahan pandemi. Para mahasiswa menggunakan kertas putih sebagai simbol dalam aksi protes diam mereka, menyerukan penghapusan pembatasan terhadap kebebasan berbicara.
Dua tahun berlalu, “Gerakan Kertas Putih” terus mengekspresikan ketidakpuasan terhadap kekuasaan melalui cara damai, tenang dan non-kekerasan, meninggalkan dampak sosial dan politik yang mendalam. Ini tidak hanya merupakan seruan atas hak individu, tetapi juga menandai kebangkitan dan tantangan generasi muda Tiongkok dalam menghadapi kekuasaan yang otoriter.
Seorang seniman Tiongkok yang kini tinggal di Chiang Mai, Thailand, Du Yinghong, menyebutkan dalam wawancara pada 26 November 2024 dengan Radio Free Asia (RFA) bahwa ia telah menyelesaikan mural tentang seorang mahasiswi Nanjing, Li Kangmeng, yang melakukan protes diam dengan kertas putih, di dinding resor tempatnya berlibur, dengan harapan orang-orang yang datang ke resor itu akan mengingatnya: “Saat Revolusi Kertas Putih baru mulai, saya mendukung dari luar dan sengaja membeli selembar kertas putih yang paling besar untuk menunjukkan dukungan saya. Gambar mahasiswi dengan kertas hitam adalah mural yang saya lukis di dinding resor seni Thai Hao di Chiang Mai, Thailand.”
“Selain kekhawatiran saya terhadap Li Kangmeng dan kaum muda, saya juga berharap lebih banyak orang melihat simbol-simbol ini.”
Du Yinghong baru-baru ini menerima kunjungan dari beberapa pemuda yang terlibat dalam “Gerakan Kertas Putih” tahun itu: “Beberapa hari yang lalu, seorang pemuda yang terlibat dan mengorganisir ‘Gerakan Kertas Putih’ datang ke sini. Kami berbicara tentang banyak kejadian yang mendebarkan waktu itu.
Dua tahun lalu, aparat setempat dengan cepat menangani aksi protes
Pada 26 November 2022, mahasiswa di kampus-kampus di Shanghai, Beijing, Nanjing, Jinan, dan tempat lain memasang spanduk dengan tulisan “Kami tidak ingin lockdown, kami ingin kebebasan”, “Kami tidak ingin tes PCR, kami ingin makan”, dan “Dynamic zero adalah kebohongan”.
Mereka juga berkumpul di kampus untuk berduka atas korban kebakaran besar di Urumqi. Malam itu, banyak orang berkumpul di Urumqi Middle Road di Shanghai, bersorak-sorai dan menggelar aksi protes massal, kemudian polisi segera mulai membubarkan kerumunan dan melakukan penangkapan.
Di toko buku Chinese Enclave di Chiang Mai, Thailand, seorang mahasiswa dari Zhejiang yang diwawancarai oleh stasiun radio ini mengatakan bahwa dia datang ke toko buku Enclave di Chiang Mai untuk mencari penyebab dari “Gerakan Kertas Putih”: “Mereka mengatakan toko buku ini memiliki beberapa konten yang menarik, mungkin beberapa buku yang tidak bisa dilihat di toko buku di daratan Tiongkok, setelah datang dan melihat memang ada banyak buku yang sangat menarik. Saya benar-benar menyukainya, jadi saya datang beberapa kali ke toko ini.
Buku ‘Tidak Mengerti’ (transliterasi-red) ini adalah yang sangat diperhatikan oleh anak muda terkait dengan (Gerakan Kertas Putih). Saya lebih penasaran tentang dunia luar. Untuk memahami gambaran penuh tentang sesuatu, mungkin perlu melewati firewall untuk melihat lebih banyak.”
Pengawasan dan Penangkapan
Menghadapi protes sosial yang mendadak, pemerintah Tiongkok menanggapinya dengan sikap keras yang biasa mereka lakukan.
Seorang guru pensiunan, Mr. Zhou, mengatakan kepada stasiun Radio ini bahwa selama dua tahun, para partisipan gerakan telah mengalami penindasan mulai dari pengawasan intensif hingga penangkapan terbuka. Sekarang, banyak kamera baru terpasang di universitas: “Pengawasan individual dilakukan dengan akurat melalui teknologi pengenalan wajah. Sementara itu, diskusi tentang ‘kertas putih’ di platform media sosial dengan cepat disensor dan dihapus untuk mencegah publik berkumpul kembali.”
Menurut seniman Du Yinghong, “Gerakan Kertas Putih” layak dijadikan contoh oleh para pencari kebebasan di Tiongkok dan seluruh dunia. Dia mengatakan, “Banyak orang yang terlibat dalam gerakan ini telah dibungkam hingga saat ini. Berbicara tentang gerakan ini, sebagian orang yang pergi ke luar negeri masih takut untuk berbicara tentang fakta sebenarnya. Ketakutan terhadap pemerintah dan masalah-masalah ini telah mencapai titik ekstrim. Namun, saya mengenal era ini, hati nurani orang-orang telah mencapai titik kritis dan pasti akan memicu aksi besar lainnya.”
Belakangan ini, kepolisian Tiongkok di berbagai tempat menerapkan kebijakan ‘nol toleransi’. Setiap kali ada tanda-tanda akan ada kumpul-kumpul, mereka langsung mengerahkan sejumlah besar aparat untuk membubarkan kerumunan dan menahan para partisipan dengan tuduhan “membuat ulah”.
Terhadap mahasiswa, pihak berwenang meningkatkan pengawasan dan panduan ideologi. Beberapa universitas secara diam-diam membentuk tim pemantauan, bahkan menggunakan konselor dan psikolog untuk mempengaruhi pandangan mahasiswa.
Mr. Zhou, seorang akademisi, mengatakan kepada Radio Free Asia, “Otoritas telah mengubah cara mereka mengontrol sekolah. Saya telah melihatnya di universitas dan sekolah menengah selama bertahun-tahun, yang semuanya sangat tertutup. Beberapa universitas terkenal, Anda bahkan tidak diizinkan masuk untuk berkunjung. Gerakan Kertas Putih dua tahun lalu adalah pemberontakan oleh masyarakat, pemberontakan oleh semua orang.”
Sejumlah aktivis di Hunan mengatakan kepada stasiun (RFA-Radio Free Asia) ini bahwa baru-baru ini, polisi keamanan publik setempat menggunakan pemantauan online, penyadapan telepon, seruan peringatan, dan metode kontrol lainnya, serta melalui petugas jaringan masyarakat untuk mengawasi perilaku dan tindakan mereka secara ketat. Seorang sumber anonim mengatakan kepada reporter, “Sekarang, yang diawasi tidak hanya aktivis, aktivis hak asasi manusia, dan pelapor, tetapi semua orang.”
Mr. Zhou menuturkan, bahwa selama dua tahun, karena penurunan ekonomi yang menyebabkan pengurangan pendapatan penduduk, perasaan putus asa masyarakat semakin meningkat: “Itulah mengapa banyak terjadi insiden, khususnya beberapa hari terakhir ini secara berturut-turut terjadi peristiwa tabrakan massal dengan mobil. Kemarin atau sehari sebelumnya, ada dua atau tiga insiden dalam satu hari. Para pejabat setempat juga tegang sekarang, karena keluarga mereka juga hidup di tengah masyarakat.”
Makna Mendalam dari Gerakan Kertas Putih
Du Yinghong menyebutkan bahwa meskipun pihak berwenang Tiongkok bersiaga penuh selama peringatan dua tahun “Gerakan Kertas Putih” untuk mencegah kejadian serupa terjadi lagi, “Saat hati nurani manusia dirusak dan kemudian terhubung kembali, mereka selalu akan menemukan cara untuk berbicara. Baik itu Revolusi Kertas, Revolusi Korek Api, Revolusi Proyeksi, atau Revolusi Drone, orang-orang yang cerdas dan berani akan selalu menemukan cara yang sesuai untuk memberontak, dan ini memiliki makna positif bagi masyarakat dan Tiongkok.”
Penulis wanita Tiongkok generasi “80-an”, Tong Tianyao, dalam wawancaranya dengan RFA, mengutip misionaris Amerika dari akhir dinasti Qing, Ming Enpu (Arthur Henderson Smith), dalam bukunya “Chinese Characteristics”: “Mengapa perubahan politik yang dialami negara lain hampir tidak pernah terjadi di Tiongkok? Seseorang membangun tembok batu setebal enam kaki, tetapi tingginya hanya empat kaki. Tujuannya adalah: jika suatu hari nanti tembok itu tertiup angin dan runtuh, tembok itu malah menjadi lebih tinggi dari sebelumnya.”
Dia mengatakan, “Dunia yang kita lihat hari ini adalah dunia yang dibentuk oleh tembok ini. Berbeda dengan era yang disaksikan oleh Arthur Henderson Smith, tembok ini lebih tebal, lebih tinggi, bahkan di bagian atasnya dipasang jaring kawat yang sangat rapat. Tembok ini tampaknya tidak akan pernah runtuh. Pemerintah menggunakan tembok untuk memisahkan orang-orang dari masa lalu dan masa depan, sehingga membuat lupa menjadi norma bagi generasi ini. Namun, tragedi aktual di dunia nyata dengan gigih mencoba mencegah orang-orang dari generasi ini untuk terus lupa. Orang-orang menahan kerusakan oleh kekuasaan terhadap mereka dengan teriakan, dengan kertas putih, dan dengan ingatan. Kerapuhan mereka adalah senjata mereka.”
Tong Tianyao sependpaat dengan pernyataan John Berger: “Di antara sifat-sifat manusia, kerapuhan yang tidak pernah absen adalah yang paling berharga.”
Seniman He Sanpo mengatakan bahwa “Gerakan Kertas Putih” adalah seruan dalam diam: “Lebih dari seratus tahun yang lalu, Lu Xun menulis novel untuk ‘New Youth’, yang kemudian dinamakan ‘Call to Arms’.
Gerakan Kertas Putih’ adalah Seruan. Hanya saja ini lebih putus asa, lebih tidak berdaya, lebih getir, karena ini adalah seruan tanpa suara.”
Pada 22 November, kawula muda di area Teluk San Francisco di Universitas California, Berkeley berkumpul untuk berkabung atas korban kebakaran besar di Urumqi. Setelah itu, warga di kota-kota seperti London, Paris, dan tempat lain juga mengadakan acara penghormatan lilin untuk mendoakan orang-orang yang ditahan di Tiongkok karena mengejar kebebasan. (jhon)
Sumber : Epochtimeis.com