EtIndonesia. Kelompok pemberontak oposisi Suriah, dipimpin oleh Organisasi Pembebasan yang radikal, telah melancarkan serangan besar-besaran terhadap pasukan rezim Presiden Bashar al-Assad. Dalam serangan yang cepat dan terkoordinasi, mereka berhasil merebut kota strategis Aleppo, menandai titik balik signifikan dalam konflik yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Pendudukan Aleppo dan Simbol Kekuasaan Rezim
Video yang beredar di internet pada 1 Desember 2024 menunjukkan pemberontak Suriah menduduki kediaman resmi Assad di Aleppo. Dalam rekaman tersebut, bendera Turki terlihat berkibar di atas Benteng Aleppo, salah satu situs bersejarah paling penting di kota itu. Selain itu, patung Presiden Assad dilaporkan telah dirobohkan, menandakan penolakan terhadap simbol-simbol kekuasaannya.
Meskipun demikian, media pro-pemerintah Suriah menegaskan bahwa Presiden Assad masih berada di negara tersebut dan situasi sedang dikendalikan.
“Pemerintah akan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mengembalikan stabilitas,” demikian pernyataan resmi yang disiarkan di televisi nasional.
Penguasaan Fasilitas Militer dan Dukungan Internasional
Pengguna media sosial politik terkemuka, Inty, mengunggah video yang mengklaim bahwa pemberontak telah merebut skuadron jet tempur milik rezim Assad. Sementara itu, gelombang pertama pejuang dari Organisasi Mobilisasi Populer yang didukug Irak telah tiba di Damaskus, dengan ribuan lainnya dilaporkan akan memasuki Suriah dalam waktu dekat untuk mendukung rezim.
Kantor berita semi-resmi Turki, Anadolu Agency, melaporkan bahwa kelompok pemberontak telah menguasai tiga desa di wilayah Tal Rifaat serta Bandara Militer Kuweires di Aleppo. Bandara ini merupakan pangkalan udara penting bagi Rusia di Suriah dan berfungsi sebagai jalur logistik bagi milisi Kurdi (PKK). Penguasaan bandara tersebut memutus jalur pasokan penting dan menambah tekanan terhadap pasukan pemerintah.
Reaksi Internasional dan Potensi Krisis Migran
Beberapa analis memperingatkan bahwa eskalasi konflik di Suriah dapat memicu krisis migran baru di Eropa, mirip dengan situasi pada tahun 2015 ketika lebih dari satu juta orang tiba di benua tersebut.
“Banyak warga Suriah mungkin akan mencoba berkumpul kembali dengan keluarga mereka di Jerman, Austria, Swedia, dan negara-negara Eropa Barat lainnya,” kata seorang komentator politik internasional.
Amerika Serikat turut memberikan pernyataan melalui juru bicara Dewan Keamanan Nasional, Sean Savett, pada 30 November 2024.
“AS mengawasi dengan cermat situasi yang terus meningkat di Suriah dan akan terus sepenuhnya melindungi personel dan posisi militer kami,” ujarnya. Savett juga mengkritik rezim Assad karena menolak berpartisipasi dalam proses politik sesuai Resolusi 2254 Dewan Keamanan PBB.
Keterlibatan Rusia dan Iran
Menurut informasi dari badan intelijen Ukraina, operasi kilat pemberontak telah menyebabkan kerugian besar bagi Rusia. Sebagian pasukan Rusia dilaporkan terkepung, dan ratusan tentara hilang di Suriah. Pada 30 November 2024, komandan pasukan Rusia di Suriah, Jenderal Sergei Kisel, dikabarkan telah dicopot dari jabatannya dan akan digantikan.
Laporan dari Middle East Eye menyebutkan bahwa sumber keamanan Turki mengkonfirmasi lambatnya respons Rusia disebabkan oleh pengalihan sebagian besar aset udara mereka ke Ukraina.
“Pasukan Rusia yang tersisa di Suriah jauh lebih kecil dan tidak cukup untuk secara efektif melawan aksi pemberontak,” ungkap sumber tersebut.
Sementara itu, Iran menyatakan akan memberikan “segala bantuan yang diperlukan” kepada pemerintah Assad untuk menghadapi serangan ini. Media nasional Iran melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, berada di Ankara pada 1 Desember 2024 untuk membahas situasi Suriah dengan Menteri Luar Negeri Turki. Kunjungan ini memicu spekulasi; beberapa pihak mempertanyakan apakah Iran meminta Turki untuk tidak mengambil alih wilayah Suriah, sementara yang lain berpendapat bahwa Iran ingin berperan dalam menentukan masa depan politik Suriah.
Dampak dan Prospek Masa Depan
Dengan jatuhnya Aleppo ke tangan pemberontak, dinamika konflik Suriah memasuki fase baru yang berpotensi mengubah peta politik regional. Eskalasi ini meningkatkan risiko terjadinya konflik lebih luas yang melibatkan kekuatan internasional seperti Rusia, Turki, Iran, dan Amerika Serikat.
Organisasi kemanusiaan telah menyerukan penghentian segera permusuhan dan akses tanpa hambatan untuk bantuan kemanusiaan.
“Kita harus mencegah krisis kemanusiaan yang lebih parah,” kata seorang juru bicara Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Komunitas internasional menghadapi tantangan besar dalam merespons perkembangan ini. Upaya diplomatik intensif diperlukan untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dan memulai kembali proses perdamaian yang mandek.
Kesimpulan
Situasi di Suriah semakin kompleks dengan keterlibatan berbagai aktor regional dan internasional. Jatuhnya Aleppo merupakan peristiwa signifikan yang dapat memicu perubahan besar dalam konflik yang telah berlangsung lama. Semua mata kini tertuju pada respons komunitas internasional dan upaya diplomatik yang mungkin dilakukan untuk mencapai stabilitas dan perdamaian di kawasan tersebut.