EtIndonesia. Wilayah Timur Tengah saat ini tengah dilanda gelombang konflik yang semakin kompleks, di mana berbagai kekuatan internasional terlibat dalam persaingan yang memanas. Awalnya, konflik ini dimulai dari ketegangan antara Israel dan berbagai pihak di sekitarnya. Namun, setelah Israel menyatakan kelelahan dan mengindikasikan kebutuhan untuk beristirahat sejenak, tetangganya, Suriah, memutuskan untuk tidak menunggu. Mereka mengambil langkah drastis dengan memulai perang saudara sendiri, mengubah dinamika regional secara signifikan.
Perkembangan Cepat di Suriah
Awalnya, pemberontak yang hanya memiliki sumber daya terbatas diharapkan hanya akan melakukan serangan sporadis dan gangguan terhadap tentara pemerintah Suriah. Namun, realitas berubah drastis ketika pertempuran berkembang menjadi perang kilat yang nyata. Dalam tiga hari, para pemberontak berhasil merebut Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah. Dua hari kemudian, serangan dari empat penjuru menghasilkan kemajuan pesat hingga mencapai Hama, kota terbesar kelima di Suriah.
Akibatnya, Presiden Bashar al-Assad panik dan melarikan diri ke Moskow bersama keluarganya, meninggalkan kediaman resminya di Aleppo yang kini diduduki oleh pasukan pemberontak. Gambaran ruang tamu dan kamar tidur Assad yang biasanya tertutup kini dapat dilihat oleh publik, menandai perubahan drastis dalam pemerintahan Suriah.
Intervensi Ukraina di Suriah
Pada 25 Juli tahun ini, pasukan khusus intelijen Ukraina melakukan serangan mendadak ke Bandara Militer Kuweires di Suriah. Serangan ini bertujuan untuk menghancurkan peralatan perang elektronik militer Rusia, menunjukkan keterlibatan Ukraina dalam konflik regional. Langkah ini menimbulkan pertanyaan tentang semakin terjalinnya medan perang Rusia-Ukraina dengan konflik di Timur Tengah.
Meskipun terdapat banyak pasukan khusus Rusia yang berjaga di Suriah, sebagian besar telah dihancurkan oleh pasukan pemberontak Suriah. Situasi semakin rumit dengan adanya laporan bahwa tentara Rusia sedang mundur dari Hama dan Damaskus pada 2 Desember, disusul oleh kerusuhan bersenjata di ibu kota. Upaya kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Luka, Kepala Biro Keamanan rezim Assad, pada 30 November juga gagal, memperparah kekacauan di pusat Kota Damaskus.
Serangan Udara Amerika Serikat dan Peran A-10 Warthog
Pada 2 Desember 2024, tentara Amerika Serikat melancarkan serangan udara besar-besaran terhadap posisi pasukan Iran di timur Suriah menggunakan pesawat serang A-10C Warthog. Pesawat yang dikenal dengan julukan “Pembunuh Tank” ini menghancurkan pusat komunikasi, barak, dan berbagai target militer lainnya milik Iran. Selain itu, serangan juga ditujukan kepada milisi Syiah Irak yang bergerak menuju Damaskus untuk mendukung pasukan pemerintah Assad, menyebabkan korban jiwa yang signifikan.
Penggunaan A-10 Warthog, yang pernah menghancurkan lebih dari 900 tank Irak selama Perang Teluk, menunjukkan intensitas dan keparahan intervensi militer AS di wilayah tersebut. Suara gemuruh pesawat Warthog di langit Suriah menjadi simbol ketakutan dan kehancuran di garis depan konflik.
Keterlibatan Berbagai Negara dalam Perang Saudara Suriah
Konflik di Suriah tidak hanya melibatkan pihak-pihak lokal, tetapi juga menarik perhatian dan keterlibatan berbagai negara. Iran, Irak, Hizbullah dari Lebanon, Rusia, Ukraina, Amerika Serikat, dan Turki semuanya memiliki andil dalam perang saudara ini.
Perjanjian Astana yang pernah dicapai antara Turki, Rusia, dan Iran awalnya bertujuan membagi wilayah kekuasaan di Suriah. Namun, pengingkaran Rusia terhadap perjanjian tersebut dan pengambilalihan kembali Aleppo oleh tentara pemerintah Assad dengan dukungan Rusia dan Iran, memicu dendam lama dari Presiden Turki, Erdogan. Memanfaatkan keterlibatan Rusia dalam perang melawan Ukraina, Turki kini berusaha membalas dendam atas pelanggaran perjanjian tersebut.
Pesan Mengejutkan dari Assad kepada Israel
Dalam perkembangan terbaru, Presiden Suriah Assad melalui perantara Arab Saudi mengirimkan pesan langsung kepada Israel. Pesan ini, mengusulkan kemungkinan bantuan militer dari Israel jika Korps Garda Revolusi Islam Iran menarik diri dari wilayah Suriah. Langkah ini mengejutkan banyak pihak, mengingat posisi Israel yang sebelumnya relatif pasif dalam konflik saudara Suriah.
Konflik Rusia-Ukraina yang Terus Berkembang
Sementara itu, konflik antara Rusia dan Ukraina terus memasuki fase baru dengan memasuki musim dingin. Para prajurit di kedua belah pihak tidak hanya harus menghadapi pertempuran sengit, tetapi juga penderitaan akibat kondisi cuaca yang ekstrem. Medan perang di Ukraina ditandai dengan kondisi lumpur yang menyiksa, menambah beban fisik dan mental bagi para tentara.
Pada 1 Desember 2024, Staf Umum Ukraina melaporkan bahwa kedua belah pihak melancarkan 224 pertempuran dalam satu hari, mencetak rekor jumlah pertempuran harian tertinggi. Pertempuran paling sengit terjadi di Pokrovsk dan Kurakhove, sementara zona perang di Kursk juga menjadi lokasi pertempuran intens.
Dukungan Jerman kepada Ukraina
Dalam upaya mendukung Ukraina, Kanselir Jerman Olaf Scholz melakukan kunjungan tak terduga ke Kyiv, kunjungan pertama dalam lebih dari dua tahun sejak perang dimulai. Selama kunjungan ini, Scholz mengumumkan bantuan senjata baru senilai 650 juta euro, termasuk rudal udara-ke-udara IRIS-T dan helikopter Sea King. Bantuan ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pertahanan Ukraina dan mendukung operasi militer di garis depan.
Kasus Pemuda Tiongkok yang Menjadi Tentara Bayaran Rusia
Di tengah konflik yang kompleks ini, muncul kisah tragis seorang pemuda Tiongkok yang tertipu untuk menjadi tentara bayaran di Rusia tanpa pelatihan yang memadai. Dalam salah satu video medan perang, pemuda tersebut menceritakan pengalamannya yang penuh kekacauan dan kebingungan, menggambarkan kondisi medan perang yang tidak terduga dan penuh bahaya.
Kesimpulan
Situasi di Timur Tengah dan pertempuran Rusia-Ukraina menunjukkan betapa kompleks dan saling terkaitnya konflik global saat ini. Dengan keterlibatan berbagai negara dan aktor internasional, stabilitas regional dan global terus diuji. Perkembangan terbaru di Suriah dan Ukraina menunjukkan bahwa medan perang kini tidak hanya terbatas pada satu wilayah, tetapi telah menjadi arena permainan geopolitik yang melibatkan banyak pihak dengan kepentingan yang berbeda.
Ke depan, dunia menyaksikan bagaimana dinamika ini akan berkembang dan dampaknya terhadap keamanan serta kesejahteraan masyarakat internasional. Upaya diplomatik dan mediasi internasional menjadi semakin penting untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dan mencapai perdamaian yang berkelanjutan.