Sejumlah Rantai Restoran dan Minuman dengan Harga Murah dari Tiongkok Memicu Kekhawatiran Dumping Layanan

Jon Sun, Xin Ning dan Olivia Li – The Epoch Times

Sejumlah rantai restoran asal Tiongkok secara agresif menerapkan strategi harga murah untuk memasuki pasar internasional, menciptakan tantangan baru bagi bisnis domestik

Analisis Berita

Praktik dumping dari Tiongkok kini tidak lagi terbatas pada barang fisik, tetapi juga meluas ke sektor layanan. Beberapa rantai restoran asal Tiongkok menawarkan harga jauh lebih rendah dibandingkan tingkat harga domestik di negara penerima, yang mana berdampak terhadap  dinamika pasar global.

Sun Kuo-Shyang, seorang pakar studi Asia–Pasifik, memperingatkan bahwa fenomena dumping layanan ini berpotensi mengganggu pasar global. Ia menekankan pentingnya respon cepat dari komunitas internasional.

Salah satu contoh mencolok adalah Mixue Ice Cream & Tea, rantai populer asal Tiongkok yang fokus pada es krim dan minuman teh. “Mixue,” yang berarti salju manis dalam bahasa Mandarin, sedang bersiap memasuki pasar Amerika Serikat. Sebelumnya, strategi harga rendah Mixue  menyebabkan gangguan signifikan di Asia Tenggara.

Di Vietnam, harga super murah yang ditawarkan Mixue memicu keluhan dari pemegang waralaba. Pada September tahun lalu, puluhan pemilik waralaba Mixue di negara tersebut memprotes persyaratan diskon reguler yang dianggap tidak masuk akal dan merugikan investasi mereka, menurut laporan media pemerintah Tiongkok.

Setelah berhasil mendirikan hampir 4.000 toko di kawasan Asia–Pasifik, Mixue kini berencana memperluas jaringan waralabanya ke AS, dengan menonjolkan “harga ekonomis” sebagai keunggulan utamanya.

Para ahli memperingatkan bahwa masuknya layanan makanan murah dari Tiongkok  mencerminkan “China Shock 2.0,” yang didorong oleh permintaan domestik rendah dan mentalitas perang harga. 

Tren ini kemungkinan besar akan terus berlanjut di tengah melemahnya ekonomi Tiongkok, mendorong pemerintah di negara-negara terdampak untuk melindungi bisnis lokal.

Pemimpin Harga Rendah Tiongkok  Merambah Pasar Global

Didirikan pada 1997 oleh Zhang Hongchao dan Zhang Hongfu, Mixue memimpin perang harga di antara rantai minuman Tiongkok. Salah satu inovasi unggulannya adalah minuman es 22 ons dengan harga hanya 1 yuan atau Rp 2.000  per cangkir, yang memaksa pesaing untuk menurunkan harga mereka.

Hingga September 2023, Mixue telah memiliki lebih dari 30.000 toko di Tiongkok, sebagian besar berupa waralaba. Perusahaan menyediakan bahan baku, kemasan, dan peralatan kepada mitra waralabanya, menjadikan operasional waralaba sebagai sumber utama pendapatannya.

Ekspansi internasional Mixue dimulai enam tahun lalu, membawa taktik harga murahnya ke pasar luar negeri. Setelah membuka toko pertama di Vietnam pada 2018, Mixue telah berkembang pesat hingga mencapai 1.000 lokasi di negara itu pada 2023. Jaringan ini juga menjangkau Asia Tenggara, Korea Selatan, Jepang, dan Australia, dengan total hampir 4.000 toko secara global.

Strategi Mixue berfokus pada menyediakan produk dengan harga terjangkau untuk konsumen muda. 

Di Vietnam, misalnya, secangkir teh lemon Mixue dijual seharga sekitar Rp 10.000, sementara es krimnya dijual setara Rp 6.000 —30% hingga 50% lebih murah dibanding pesaing lokal seperti ToCoToCo, waralaba bubble tea asal Vietnam.

Sun, asisten profesor di Universitas Nanhua, Taiwan, menyebut pendekatan harga rendah Mixue berdampak negatif pada bisnis kecil dan menengah lokal, mengurangi keragaman pasar, dan berpotensi memicu investigasi anti-dumping yang dapat berujung pada hambatan perdagangan.

“Meskipun konsumen mendapatkan harga yang lebih murah, hal ini juga dapat menurunkan kualitas dan mengancam budaya kuliner tradisional,” ujar Sun kepada The Epoch Times.

Namun, strategi harga rendah Mixue juga memiliki konsekuensi pada kualitas layanan. Pada paruh pertama 2023, 28 toko Mixue di Beijing dilaporkan melanggar aturan keamanan pangan, menjadi jumlah tertinggi di antara merek restoran rantai. Pelanggaran tersebut termasuk tidak memakai sarung tangan, penyimpanan makanan yang tidak benar, serta kebersihan peralatan yang buruk.

Permintaan Lemah di Tiongkok Memicu Harga Rendah

Mixue bukan satu-satunya yang terlibat dalam tren ini. Merek layanan makanan Tiongkok  lainnya, seperti Cotti Coffee, rantai teh susu Chagee, dan rantai hotpot Haidilao, juga melakukan ekspansi secara agresif ke Asia Tenggara.

David Huang, seorang ekonom berbasis di AS, mengaitkan perang harga yang sudah berlangsung lama di Tiongkok dengan rendahnya permintaan domestik, yang mana memaksa para pemilik bisnis bersaing melalui penurunan harga.

Meskipun Tiongkok mencatat pertumbuhan ekonomi selama dua dekade terakhir, rata-rata pendapatan warga Tiongkok tidak menunjukkan peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Pada Mei 2020, dalam konferensi pers setelah sesi pleno tahunan Beijing yang dikenal sebagai “Dua Sesi,” Perdana Menteri saat itu, Li Keqiang, mengungkapkan bahwa lebih dari 600 juta orang di Tiongkok memiliki pendapatan bulanan kurang dari 1.000 yuan 

Laporan yang dirilis oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) pada tahun 2023 menyebutkan bahwa 964 juta orang di Tiongkok memiliki pendapatan bulanan kurang dari 2.000 yuan. Namun demikian, dikarenakan rekam jejak otoritas Tiongkok yang sering menutupi atau melaporkan data secara tidak akurat, sulit untuk menilai data pendapatan yang sebenarnya.

Huang menyoroti bahwa PKT tidak memprioritaskan peningkatan pendapatan bagi populasi umum. Sebaliknya, fokusnya adalah memperluas ekonomi secara keseluruhan melalui pendekatan terencana yang terpusat. Salah satu contohnya adalah industri baja Tiongkok, yang menyumbang lebih dari separuh total produksi dunia.

Huang menambahkan PKT melihat rendahnya pendapatan warga sebagai keuntungan.

“Dengan mempertahankan kemiskinan yang meluas, otoritas mampu memanfaatkan tenaga kerja ini dengan biaya minimal—orang-orang bekerja dalam jam panjang, sering kali pada pekerjaan yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan, mendukung mesin ekonomi Tiongkok sambil menjaga biaya tenaga kerja tetap rendah,” katanya kepada The Epoch Times.

China Shock 2.0

Sun mengatakan bahwa ekspansi merek-merek Tiongkok  ini dapat dianggap sebagai bagian dari China Shock 2.0, di mana harga rendah mereka menciptakan tantangan signifikan bagi pesaing lokal.

“China Shock” mengacu pada gelombang kehilangan pekerjaan massal di banyak negara, terutama di sektor manufaktur, ketika barang-barang murah buatan Tiongkok membanjiri pasar global setelah Tiongkok  bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia pada 2001.

“Berbeda dengan gelombang sebelumnya yang berfokus pada manufaktur, gangguan baru ini meluas ke sektor layanan dan konsumen, menciptakan tantangan baru bagi bisnis lokal. Banyak usaha kecil akan kesulitan dan mungkin terpaksa tutup,” kata Sun.

Negara-negara Asia Tenggara mulai menyadari dampaknya.

Di Thailand, tempat Mixue telah membuka 200 gerai dalam waktu kurang dari dua tahun, Asosiasi Restoran Thailand secara terbuka menyatakan kekhawatiran atas masuknya bisnis yang dimiliki oleh Tiongkok.

Federasi Industri Thailand, khususnya Divisi Industri Makanan dan Minuman,  memperingatkan tentang pesatnya pertumbuhan rantai restoran murah dari Tiongkok, ini berpotensi merugikan industri layanan makanan domestik. Selain itu, federasi meminta pemerintah memastikan keamanan dan kepatuhan bahan impor serta memperkuat langkah-langkah terhadap dumping layanan murah.

Di Vietnam, rantai lokal ToCoToCo menghadapi penurunan penjualan di kalangan konsumen muda akibat persaingan ketat dari merek-merek Tiongkok. Menurut laporan media lokal, perusahaan ini mengalami kerugian selama tiga tahun berturut-turut hingga memaksanya  menyesuaikan strategi bisnisnya.

Sun menyarankan bahwa negara-negara yang terdampak China Shock 2.0 mungkin akan segera menerapkan kebijakan untuk membatasi dampak merek-merek murah dari Tiongkok demi melindungi pasar domestik dan mendukung bisnis lokal.

Vietnam dan Thailand baru-baru ini memperkuat langkah anti-dumping terhadap barang-barang dari Tiongkok. Namun, undang-undang anti-dumping yang berlaku di kedua negara saat ini hanya berfokus pada barang nyata dan belum mengatur secara khusus layanan yang disediakan oleh merek-merek dari Tiongkok. (asr)