Suriah Geger! Rusia Tarik Mundur Armada, Pemberontak Gempur Simbol Putin, Irak Kirim Tank

EtIndonesia. Pada tanggal 3 Desember, situasi di Suriah semakin memanas dengan meningkatnya ketegangan antara pasukan pemberontak dan pasukan Rusia. Informasi yang beredar di media sosial mengungkapkan bahwa pasukan pemberontak Suriah menunjukkan kemarahan mereka terhadap Putin. Hal ini diperkuat oleh laporan bahwa Rusia tengah melakukan pemindahan kapal perang dari wilayah Tartus, Suriah, sebagai respons terhadap eskalasi konflik di darat.

Serangan Simbolik terhadap Rusia

Laporan Newsweek tanggal 3 Desember menyebutkan bahwa jurnalis Green mengunggah video di platform X yang menunjukkan potret diktator Bashar al-Assad dan pendukungnya, termasuk Putin, diinjak-injak oleh pasukan pemberontak Suriah di wilayah barat Arab. 

Surat kabar Inggris, The Sun, juga merilis video lain yang memperlihatkan pemberontak sedang merobek dan membakar bendera Rusia di Lapangan Basel. Tindakan ini diinterpretasikan sebagai peringatan keras kepada Presiden Rusia.

Intervensi Internasional: Irak dan Turki Terlibat

Media Timur Tengah melaporkan bahwa Perdana Menteri Irak, Mohammed Shia’ Al Sudani, telah menyampaikan kepada Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, bahwa pasukan Israel telah melakukan pemboman terhadap pangkalan militer Suriah. Serangan ini diyakini membuka peluang bagi kelompok pemberontak untuk merebut lebih banyak wilayah. Dalam menanggapi situasi ini, Irak tidak akan tinggal diam.

Menurut Kantor Berita Irak, juru bicara militer Irak, Jenderal Moqdad Miri, menyatakan bahwa Irak telah mengirimkan pasukan lapis baja ke perbatasan Suriah untuk memperkuat pertahanan. Pasukan ini akan ditempatkan langsung di daerah perbatasan guna menghadapi potensi ancaman yang semakin meningkat.

Rusia Menarik Kapal Perangnya: Indikasi Kekhawatiran Strategis

Laporan dari Navy News sebelumnya mengindikasikan bahwa Rusia sedang menarik kapal-kapal perangnya dari Suriah. Saat ini, Rusia memiliki lima kapal perang dan satu kapal selam di wilayah Tartus. Namun, kapal pendukung, kapal selam, fregat, dan lainnya kini telah berlayar keluar dari Tartus. Langkah ini kemungkinan besar terkait dengan situasi pertempuran darat yang semakin intens di Suriah. Selain itu, ada indikasi bahwa Rusia sedang memindahkan aset militernya yang berharga keluar dari negara tersebut, menunjukkan kekhawatiran terhadap keamanan pangkalan mereka.

Amerika Serikat dan Aliansi Melawan Iran

Sumber dari Reuters mengungkapkan bahwa Amerika Serikat bekerja sama dengan Uni Emirat Arab untuk memanfaatkan situasi di Suriah dalam upaya melemahkan pengaruh Iran. Koalisi pemberontak yang dipimpin AS dikabarkan terlibat dalam pertempuran dengan pasukan pemerintah di timur laut Suriah, membuka front baru dalam konflik ini. Sementara itu, pesawat tempur Suriah dan Rusia melakukan serangan udara di daerah pedesaan utara Hama, menambah kompleksitas situasi.

Analis senior dari perusahaan konsultasi risiko geopolitik dan siber SRM, Atassi, menyatakan bahwa sumber daya yang dikerahkan untuk mendukung rezim Assad dapat mengorbankan ofensif Rusia di Ukraina. Hal ini memperlihatkan dampak dari keterlibatan Rusia di Suriah terhadap konflik yang lebih luas di wilayah Eropa.

Dinamika NATO dan Permintaan Ukraina

Dalam pertemuan Menteri Luar Negeri NATO di Brussel pada tanggal 3 Desember, Menteri Luar Negeri Ukraina,  Andrii Sybiha, mengajukan permintaan agar 20 sistem pertahanan udara diberikan kepada Ukraina. 

Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, menegaskan bahwa setiap perjanjian damai antara Rusia dan Ukraina harus adil dan tidak menguntungkan bagi pemimpin seperti Kim Jong-un, Putin, Xi Jinping, dan Iran. Mark Rutte menambahkan bahwa hubungan antara Rusia, Tiongkok, Korea Utara, dan Iran harus dipertimbangkan dalam setiap upaya perdamaian untuk menjaga keamanan Eropa, Amerika Serikat, dan kawasan Indo-Pasifik.

Negosiasi dan Sanksi: AS dan Uni Emirat Arab di Persimpangan

Menurut Reuters tanggal 2 Desember, Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab tengah membahas kemungkinan mencabut sanksi terhadap Assad, asalkan dia menjauhkan diri dari Iran dan memutus jalur persenjataan menuju Lebanon. Dengan sanksi penuh AS terhadap Suriah yang akan berakhir pada 20 Desember 2024, diskusi mengenai pembekuan aset Israel di Suriah yang terkait dengan Hizbullah, Hamas, dan Iran semakin intensif. Kemajuan terbaru yang dicapai oleh pemberontak Suriah menunjukkan adanya kelemahan dalam aliansi antara rezim Assad dan Iran, yang dimanfaatkan oleh AS dan Uni Emirat Arab untuk memisahkan kedua negara tersebut.

Ancaman dari Israel: Tekanan terhadap Hizbullah di Lebanon

The Jerusalem Post melaporkan bahwa Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, saat mengunjungi perbatasan utara Israel, mendesak pemerintah Lebanon untuk memberikan wewenang kepada tentara mereka dalam melaksanakan tugas. Dia juga menekankan perlunya mendorong Hizbullah untuk menjauh dari Sungai Litani. 

Israel Katz menyatakan kepada Divisi ke-146 Pasukan Pertahanan Israel bahwa pemerintah Israel akan melaksanakan perjanjian gencatan senjata dengan pengaruh maksimal dan tanpa toleransi. Namun, jika perjanjian tersebut runtuh dan perang kembali, Israel siap mengambil tindakan dengan kekuatan yang lebih besar, yang akan berdampak luas pada seluruh Lebanon.

Pernyataan ini merupakan peringatan tegas dari pejabat pertahanan senior Israel bahwa mereka tidak akan lagi membedakan antara Lebanon dan Hizbullah. Meskipun perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah telah berlaku, bentrokan masih terjadi sesekali. 

Israel Katz sebelumnya menyatakan bahwa tidak akan ada gencatan senjata sebelum Hizbullah dilucuti senjatanya. Militer Israel juga menyatakan bahwa serangan baru-baru ini merupakan bentuk protes terhadap Hizbullah yang mengirim senjata ke Lebanon selatan.

Kesimpulan: Kompleksitas Konflik Regional dan Internasional

Situasi di Suriah menunjukkan betapa kompleksnya konflik regional yang melibatkan berbagai aktor internasional. Dengan Rusia menarik kapal perangnya dan Amerika Serikat bersama Uni Emirat Arab memanfaatkan ketegangan untuk melemahkan Iran, medan perang di Suriah menjadi ajang pertempuran politik dan militer yang berdampak luas. Selain itu, intervensi dari negara-negara tetangga seperti Irak, Turki, dan Israel semakin menambah dinamika konflik ini. Perkembangan ini menunjukkan bahwa Suriah tetap menjadi pusat konflik yang mempengaruhi stabilitas kawasan dan hubungan internasional secara lebih luas.