EtIndonesia. Dalam sebuah editorial teranyar yang dimuat oleh surat kabar terkemuka World Daily pada tanggal 5 Desember, Amerika Serikat secara tegas memberikan peringatan kepada Tiongkok terkait potensi konflik di Selat Taiwan. Editorial tersebut menyoroti keterlibatan AS di medan perang Iran sebagai contoh strategis yang harus diwaspadai oleh Beijing agar tidak mengambil langkah-langkah gegabah yang dapat memicu perang antara AS dan Tiongkok.
Editorial tersebut mengungkapkan bahwa Tiongkok telah aktif menjalankan perang proxy di berbagai wilayah, termasuk Eropa Timur dan Timur Tengah. Dukungan material dan ekonomi yang diberikan Tiongkok kepada Rusia, Iran, Hizbullah, dan pasukan Houthi dimaksudkan untuk membatasi pengaruh dan kehadiran militer AS di kawasan tersebut. Salah satu contohnya adalah penggunaan sistem pertahanan udara S-300, yang sama-sama digunakan oleh Iran, Rusia, dan Tiongkok untuk mempertahankan posisi strategis mereka.
Baru-baru ini, Ukraina berhasil menghancurkan sistem pertahanan udara S-400 milik Rusia menggunakan rudal taktis darat yang disediakan oleh AS. Sistem S-400 ini juga merupakan peralatan yang digunakan Tiongkok untuk mempertahankan Beijing.
Serangan terpisah yang dilakukan oleh militer Israel dan AS juga menambah ketegangan di kawasan tersebut. Militer Israel, dengan mengerahkan lebih dari 140 pesawat tempur termasuk F-35, berhasil menyerang Iran tanpa hambatan deteksi radar, sehingga menghancurkan sistem pertahanan udara S-300 Iran yang juga dimiliki oleh Tiongkok.
Selain itu, militer AS juga melakukan serangan jarak jauh dengan mengerahkan pesawat pembom strategis B-2 untuk menyerang pasukan Houthi di Yaman. World Daily menyatakan bahwa langkah ini merupakan peringatan keras kepada Beijing, mengingat militer AS memiliki kemampuan untuk melakukan serangan serupa ke daratan Tiongkok. Langkah ini diambil untuk mencegah terjadinya perang di Selat Taiwan, dengan konsekuensi serius jika konflik tersebut tidak dihindari.
Di sisi ekonomi, editorial tersebut menyoroti tekanan yang semakin meningkat terhadap ekonomi Tiongkok. Parlemen Eropa telah meminta Uni Eropa untuk mencabut tarif khusus terhadap Hong Kong, yang sebelumnya menikmati tarif rendah untuk barang-barang senilai 500 miliar dolar AS yang diekspor ke Uni Eropa setiap tahunnya. Perubahan ini mengancam jalur ekspor utama Tiongkok melalui Hong Kong, terutama di Guangdong, yang mengekspor barang senilai 1 kuadriliun yuan setiap tahun.
Tekanan tambahan datang dari kebijakan proteksionis AS di bawah kepemimpinan Donald Trump, yang menaikkan tarif impor dan mendorong penggerebekan di ibu kota Mexico City, Meksiko, untuk memerangi produk palsu. Penghentian jalur ekspor barang-barang Tiongkok ke Amerika Serikat melalui Meksiko mengancam pilar utama ekonomi ekspor Tiongkok. Jika jalur ini terputus sepenuhnya, ekonomi Tiongkok diprediksi akan menghadapi krisis serius, dengan tahun 2025 diperkirakan menjadi tahun terberat dalam dua dekade terakhir.
Profesor Xie Tian dari School of Business Aiken University, South Carolina, menganalisis bahwa meskipun Tiongkok berupaya menggantikan pasar ekspor ke AS dengan Rusia, negara-negara ASEAN, Amerika Selatan, dan Afrika, kualitas dan kuantitas ekspor tersebut masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara Barat. Hal ini menyebabkan surplus perdagangan yang dihasilkan tidak sebesar yang dibutuhkan, terutama karena negara-negara seperti Malaysia mulai waspada terhadap praktik dumping harga Tiongkok.
Dampak ekonomi yang semakin memburuk berdampak pada tingkat pengangguran yang melonjak di Tiongkok. Tahun ini, terdapat 11 juta lulusan universitas dengan 70-80% di antaranya belum memiliki pekerjaan tetap. Tambahan 12 juta lulusan lainnya pada tahun 2025 diperkirakan akan memperparah masalah ini, menjadikan tahun tersebut sebagai tahun paling sulit untuk lapangan kerja dalam 20 tahun terakhir. Tahun 2026 diperkirakan akan menyaksikan peningkatan jumlah lulusan sarjana menjadi 13 juta, memperburuk situasi pasar tenaga kerja.
Tidak hanya lulusan universitas yang terdampak, tetapi juga veteran militer dan pegawai negeri yang mengalami kesulitan menemukan pekerjaan. Pemerintah Tiongkok melalui lima kementerian—Reformasi dan Pengembangan, Pendidikan, Keuangan, Ketenagakerjaan dan Sosial, serta Perdagangan—mendorong veteran militer untuk masuk ke industri jasa rumah tangga. Namun, realitas menunjukkan bahwa pilihan kerja yang tersedia sangat terbatas, memaksa banyak orang untuk mencari solusi melalui pinjaman atau pekerjaan yang kurang prestisius.
Kondisi ekonomi yang memburuk juga memicu ketidakpuasan publik. Banyak pabrik manufaktur besar di Tiongkok hampir bangkrut dan menunda pembayaran gaji, yang kemudian menyebabkan pemogokan pekerja. Pada awal Desember, tercatat 14 kasus pemogokan di berbagai daerah, menandakan meningkatnya ketidakpuasan rakyat. Video yang beredar di internet pada malam 5 Desember di Chaozhou, Anhui, menunjukkan seorang pria yang berteriak menentang Presiden Xi Jinping dan menyerukan kejatuhan polisi yang represif, membuka jalan bagi potensi kerusuhan serupa Arab Spring di masa depan.
Analisis menyimpulkan bahwa jika tekanan ekonomi dan sosial ini tidak ditangani dengan efektif, Tiongkok menghadapi risiko ketidakstabilan yang dapat berdampak luas baik di dalam negeri maupun di panggung internasional. Pemerintah Tiongkok kini berada di persimpangan penting untuk mengambil langkah-langkah strategis guna menjaga stabilitas ekonomi dan sosial, sekaligus menghadapi tantangan geopolitik yang semakin kompleks.