ETIndonesia. Tiongkok terus mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, dengan persaingan internal di berbagai sektor yang semakin tajam melalui perang harga. Ditambah ketegangan geopolitik, hal ini berdampak signifikan pada perusahaan-perusahaan Barat yang beroperasi di Tiongkok. Mulai dari penurunan drastis kinerja Apple hingga Starbucks yang mempertimbangkan keluar dari pasar Tiongkok, “China Dream” atau “mimpi Tiongkok” perusahaan-perusahaan Barat tampaknya mulai runtuh.
Kinerja Menurun Perusahaan Barat di Tiongkok
Menurut The Economist, selama beberapa dekade terakhir, perusahaan Barat memandang Tiongkok tidak hanya sebagai pusat produksi murah tetapi juga sebagai pasar besar yang terus berkembang. Namun, setelah mencapai puncaknya pada tahun 2021 dengan penjualan sebesar 670 miliar dolar AS, penjualan perusahaan-perusahaan Barat di Tiongkok turun menjadi 650 miliar dolar AS pada 2023.
Survei terbaru Kamar Dagang Amerika Serikat di Shanghai menunjukkan lebih dari 50% responden pesimis terhadap prospek bisnis mereka di Tiongkok dalam lima tahun ke depan. Beberapa perusahaan besar seperti Apple, Volkswagen, Starbucks, dan LVMH mencatat penurunan penjualan yang signifikan di pasar Tiongkok.
Perusahaan seperti Eli Lilly dan Walmart, meski tetap beroperasi di Tiongkok, kini mengurangi investasi mereka. Banyak perusahaan AS dan Eropa yang sebelumnya berkembang pesat di Tiongkok kini menghadapi penutupan pabrik dan pembubaran bisnis di negara tersebut.
Contoh Kasus
- General Motors (GM) pada 4 Desember mengumumkan akan mengurangi nilai aset usaha patungan mereka di Tiongkok lebih dari 5 miliar dolar AS dan menutup pabrik di sana.
- Starbucks kehilangan pangsa pasar karena pesaing lokal seperti Luckin Coffee yang menawarkan harga lebih murah. CEO Starbucks, Brian Niccol, pada Oktober menyebut persaingan di Tiongkok sebagai “sangat ekstrem.”
Tekanan Deflasi dan Risiko Geopolitik
Konsultan bisnis di Beijing mengomentari bahwa tekanan deflasi di Tiongkok tidak hanya merugikan perusahaan asing tetapi juga perusahaan lokal. Kelebihan pasokan di sektor-sektor seperti kendaraan listrik dan bahan bangunan memicu perang harga.
Pada akhir Oktober 2023, 27% perusahaan industri di Tiongkok melaporkan kerugian.
Risiko geopolitik juga memperburuk kondisi perusahaan Barat di Tiongkok. Industri yang terkena dampak terus bertambah akibat ketidakpastian hubungan internasional.
Pandangan Eropa Terhadap Bisnis di Tiongkok
Pada September lalu, Kamar Dagang Uni Eropa di Tiongkok menyebut daya tarik pasar Tiongkok menurun akibat lemahnya reformasi yang dijanjikan pemerintah dan perlambatan ekonomi.
Media Jerman Handelsblatt menulis bahwa para eksekutif perusahaan Eropa yang sebelumnya terbuai oleh pertumbuhan ekonomi Tiongkok kini mulai kehilangan ilusi mereka.
Artikel tersebut menyatakan bahwa perusahaan Eropa selama ini:
- Menoleransi transfer teknologi yang dipaksakan.
- Membiarkan intervensi pemerintah dalam produksi lokal.
- Menganggap mereka dapat mempertahankan keunggulan teknologi atas perusahaan Tiongkok.
Namun, kini pesaing Tiongkok tidak hanya mampu bersaing di pasar lokal tetapi juga memberikan tekanan di pasar Eropa.
Kamar Dagang Uni Eropa secara terbuka mengkritik lingkungan bisnis Tiongkok yang semakin politis, diskriminasi terhadap perusahaan asing, dan masalah kapasitas berlebih. Meski memberikan ribuan rekomendasi kepada pemerintah Tiongkok, sebagian besar tidak mendapat tanggapan.
Handelsblatt menambahkan bahwa Uni Eropa perlu menyusun strategi untuk melindungi industri strategisnya sebelum bisa bernegosiasi setara dengan Tiongkok. (Hui)
Sumber : NTDTV.com