EtIndonesia. Situasi di Suriah mengalami pergeseran tajam setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad. Untuk pertama kalinya dalam 51 tahun, Israel dilaporkan telah memasuki wilayah Suriah, mengubah konstelasi pengaruh di kawasan. Langkah ini menandai peristiwa bersejarah setelah stabilitas yang rapuh selama beberapa dekade.
Menurut laporan The Jerusalem Post tertanggal 8 Desember, tank-tank Israel melintas dari Dataran Tinggi Golan ke dalam wilayah Suriah, kemudian membangun pos-pos militer baru. Pasukan Israel pun bergerak lebih jauh, memasuki wilayah Quneitra yang berbatasan langsung dengan Israel, menguasai puncak Gunung Hermon di sisi Suriah, serta sejumlah titik strategis di zona penyangga. Ini merupakan kali pertama sejak Perang Yom Kippur 1973 Israel benar-benar menjejakkan kaki ke dalam wilayah Suriah.
Dataran Tinggi Golan dan Kepentingan Strategis Israel
Dataran Tinggi Golan, sekitar 60 kilometer di barat daya Damaskus, adalah wilayah yang direbut Israel dari Suriah pada Perang Enam Hari 1967. Pada 1981, Israel secara sepihak mencaplok sebagian besar wilayah itu, sementara sebagian kecil tetap berada di bawah kendali Suriah.
Masyarakat internasional umumnya memandang Golan sebagai wilayah Suriah yang diduduki Israel. Namun, pada 2019, mantan Presiden AS Donald Trump mengakui kedaulatan Israel atas Golan. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyebut pengakuan itu sebagai “hari bersejarah di Timur Tengah” sembari menegaskan bahwa Israel tidak akan pernah mundur dari Golan.
Meski demikian, Netanyahu menekankan bahwa pergerakan pasukan Israel ke dalam Suriah hanyalah langkah sementara untuk mencegah potensi serangan bersenjata dari wilayah yang kini kehilangan kepemimpinan yang kuat pasca tumbangnya rezim Assad.
Perubahan Kebijakan dan Serangan Udara Israel
Media AS menggarisbawahi bahwa pengiriman pasukan darat Israel melewati zona demiliterisasi menandai perubahan kebijakan besar bagi negara tersebut. Sumber pejabat keamanan mengonfirmasi bahwa Angkatan Udara Israel juga telah melancarkan serangan udara ke sejumlah target di dalam Suriah. Tujuannya adalah mencegah senjata-senjata canggih—termasuk persediaan kimia seperti gas mustard dan VX, serta rudal Scud dan perangkat pertahanan udara Rusia—jatuh ke tangan kelompok pemberontak yang dipandang membahayakan keamanan Israel.
Sejumlah target, termasuk Pangkalan Militer Mezze yang dahulu menjadi pusat intelijen Suriah, terus digempur oleh jet-jet Israel, memicu kebakaran hebat. Laporan dari Mossad menyebut bahwa di lokasi tersebut sebelumnya terdapat kelompok bersenjata yang didukung Iran, mengembangkan rudal anti-Israel.
Di sisi lain, pihak oposisi Suriah justru berjanji akan menjalin hubungan baik dengan Israel. Pemimpin oposisi, Abu Muhammad al-Julani, menganggap Israel sebagai mitra potensial dalam melawan Hizbullah. Dia dikabarkan telah tiba di Damaskus untuk mempersiapkan transisi kekuasaan, menandai babak baru dalam politik Suriah.
Turki dan Perebutan Pengaruh Jangka Panjang
Para analis melihat Turki sebagai aktor yang akan memiliki pengaruh terbesar di Suriah dalam jangka panjang. Laporan Reuters mengungkap bahwa oposisi Suriah telah memberi tahu Turki terkait rencana serangan mereka enam bulan sebelum aksi dimulai, dan diam-diam Turki memberi restu. Dukungan Turki terhadap oposisi Suriah sudah lama menjadi rahasia umum, sekaligus menjadikannya pemain kunci di masa depan Suriah pasca-Assad.
Rusia Terjebak, Iran Melemah, dan Dampak Regional
Runtuhnya rezim Assad terjadi sangat cepat—hanya 11 hari setelah gempuran intens oposisi yang didukung serangan Israel. Rusia, yang secara historis menjadi sekutu utama Assad, kali ini tidak dapat memberi bantuan berarti. Terjebak dalam konflik berkepanjangan dengan Ukraina, daya tawar dan kekuatan Rusia di Timur Tengah tergerus. Bahkan ketika rezim Assad tumbang, keluarga Assad dikabarkan telah tiba di Moskow pada 9 Desember 2024, menandakan berakhirnya kekuasaan keluarga itu.
Padahal, Suriah memiliki arti strategis yang sangat penting bagi Rusia. Dalam satu dekade terakhir, Moskow menanamkan investasi besar, membangun pangkalan laut di Tartus serta pangkalan udara Hmeimim dan sejumlah pangkalan kecil lainnya. Dengan pangkalan-pangkalan tersebut, Rusia dapat memproyeksikan kekuatan ke seluruh Timur Tengah, Afrika Utara, dan bahkan mengawasi aktivitas NATO di Laut Tengah. Suriah selama ini menjadi simpul strategis yang memungkinkan Rusia mengontrol jalur energi, memudahkan ekspor senjata, serta memberikan akses mudah ke Benua Afrika melalui jalur udara dan laut.
Kehilangan Suriah berarti Rusia akan kesulitan melanjutkan kepentingannya di kawasan. Kegagalan mempertahankan Suriah memaksa Rusia untuk mengevakuasi kapal-kapal mereka dari Tartus, memindahkan persenjataan dari pangkalan Hmeimim dan Salin, serta meminta bantuan Turki guna menarik pasukan mereka melewati wilayah yang dikuasai Ankara. Laporan menyebut bahwa tentara Rusia yang tertinggal di Tartus dan Latakia kini terjebak dan diserang oleh pemberontak. Di Latakia, Angkatan Darat Israel bahkan dikabarkan telah menyerang sebuah kapal perang Rusia di pelabuhan, meski dampaknya belum jelas.
Dampak Bagi Pengaruh Rusia di Afrika dan Timur Tengah
Hilangnya Suriah sebagai basis operasi membuat langkah Rusia di Afrika turut terhambat. Sebelumnya, Suriah berfungsi sebagai jalur logistik bagi operasi militer maupun ekonomi Rusia di Afrika—terutama lewat grup tentara bayaran Wagner, yang selama ini memanfaatkan Afrika untuk mengekstraksi emas, berlian, dan sumber daya mineral. Tanpa Suriah, upaya Rusia untuk mempertahankan dominasi ekonomi dan geopolitik di Afrika menjadi jauh lebih sulit dan mahal.
Dua peristiwa besar—invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 dan serangan teror Hamas terhadap Israel pada 2023—dianggap sebagai faktor yang mempercepat kejatuhan Assad. Rusia kini tampak terpaksa melepaskan Suriah secara penuh, suatu tanda kegagalan besar dalam strategi jangka panjang Moskow di Timur Tengah dan Afrika. Kejadian ini menyiratkan bahwa dinamika geopolitik di kawasan telah memasuki fase baru yang dipenuhi ketidakpastian, sekaligus membuka ruang bagi aktor-aktor regional lain, seperti Turki dan Israel, untuk memperluas pengaruhnya.