ETIndonesia. Pada 27 November 2024 malam, Cang Yun, sekretaris Partai dari Perusahaan Cabang Jiansanjiang di Grup Beidahuang Heilongjiang, Tiongkok (dahulu Biro Pengelolaan Pertanian Jiansanjiang), dilaporkan melompat dari lantai enam gedung kantornya dan meninggal dunia. Ia berusia 56 tahun. Cang Yun disebut sebagai salah satu tokoh utama dalam insiden “Jiansanjiang” yang terjadi satu dekade lalu.
Latar Belakang Insiden “Jiansanjiang”
Pada Maret 2014, empat pengacara hak asasi manusia—Tang Jitian, Jiang Tianyong, Wang Cheng, dan Zhang Junjie—bersama keluarga dari sembilan warga yang ditahan, mendatangi “Pusat Pendidikan Hukum” di Pertanian Qixing di bawah pengelolaan Biro Jiansanjiang. Mereka menuntut pembebasan warga yang diduga ditahan secara ilegal. Namun, keesokan harinya, keempat pengacara tersebut dan tujuh praktisi Falun Gong ditangkap secara paksa oleh sekitar 20 polisi.
Peran Cang Yun
Saat itu, Cang Yun menjabat sebagai ketua serikat pekerja dan bertanggung jawab atas urusan hukum dan politik.
Dalam periode tersebut, sistem hukum dan politik di wilayah ini diduga menjadi aktor utama dalam penindasan terhadap praktisi Falun Gong.
Pusat “pendidikan hukum” yang berfungsi sebagai tempat cuci otak untuk praktisi Falun Gong diduga melakukan berbagai tindakan kekerasan, seperti penculikan, penyiksaan, dan penahanan ilegal. Semua operasi tersebut dilaporkan berada di bawah perintah dan pengawasan langsung Cang Yun.
Dugaan Penyebab Bunuh Diri
Menurut laporan, alasan resmi kematian Cang Yun adalah tekanan akibat terseret dalam kasus korupsi Ketua Grup Beidahuang, Wang Shouchong. Akan tetapi, beberapa pihak melihatnya sebagai akibat dari “berpihak pada Partai Komunis” yang dikatakan telah merusak banyak kehidupan.
Dampak dan Tanggapan Internasional
Insiden Jiansanjiang memicu perhatian luas di Tiongkok dan dunia internasional. Banyak pengacara, aktivis, dan masyarakat umum bergabung dalam gerakan untuk menyelamatkan warga yang hilang. Akibat tekanan internasional, pusat “pendidikan hukum” tersebut akhirnya dibubarkan, dan beberapa pejabat terkait dicopot dari jabatannya.
Setelah insiden tersebut, para pengacara dan masyarakat di Tiongkok membentuk kelompok penyelamatan “Warga yang Hilang” untuk mendukung mereka yang ditahan. Di bawah tekanan opini internasional, pemerintah Tiongkok membubarkan “Pusat Pendidikan Hukum” tersebut, dan sejumlah pejabat yang terlibat diberhentikan.
Menurut data dari kelompok pengacara hak asasi manusia Tiongkok, selama insiden “Jian Sanjiang,” keempat pengacara tersebut mengalami cedera berat. Tang Jitian mengalami patah 10 tulang rusuk dan kehilangan beberapa gigi; Jiang Tianyong mengalami patah 8 tulang rusuk dan luka memar di seluruh dada dan perut; Zhang Junjie mengalami patah pada tiga tulang belakang; dan Wang Cheng mengalami patah 3 tulang rusuk. Mereka juga menerima ancaman kekerasan seperti pengambilan organ atau penguburan hidup-hidup.
Pada Maret tahun ini, kelompok pengacara hak asasi manusia Tiongkok mengeluarkan seruan untuk memperingati insiden “Jian Sanjiang.”
Wu Shaoping, seorang pengacara yang pernah bekerja di Shanghai dan kini menjadi anggota kelompok tersebut, menyebut bahwa insiden ini memiliki arti penting karena menunjukkan kerja sama antara pengacara dan warga dalam mendukung satu sama lain, menghasilkan kemenangan yang simbolis.
Chen Jiangang, seorang pengacara hak asasi manusia yang kini tinggal di pengasingan di AS, mengatakan kepada Epoch Times pada Maret lalu bahwa dalam sepuluh tahun sejak insiden “Jian Sanjiang” 2014 hingga kini, dunia telah menyaksikan penurunan besar-besaran dalam kondisi hak asasi manusia di Tiongkok. Menurutnya, Tiongkok telah menjadi tempat yang penuh ketakutan, di mana kemunduran dalam penegakan hukum telah membawa negara itu ke arah otoritarianisme yang lebih brutal.
Chen juga menekankan bahwa masyarakat tidak boleh memiliki ilusi tentang Partai Komunis Tiongkok. Menurutnya, satu-satunya cara bagi rakyat Tiongkok untuk memperoleh kebebasan, demokrasi, dan perlindungan hak asasi manusia adalah dengan menggulingkan Partai Komunis. Meskipun hal itu sulit dan berbahaya, ia menyebut bahwa inilah kenyataannya. (Hui)
Sumber : The Epoch Times