EtIndonesia. Setelah rezim diktator Suriah digulingkan oleh pemberontak, situasi domestik menjadi tidak jelas. Kekhawatiran internasional meningkat bahwa Suriah mungkin masih memiliki senjata kimia, dan Israel menggunakan ini sebagai dalih untuk melakukan lebih dari 300 serangan udara.
Suriah Masih Menyimpan Senjata Kimia? Peringatan dari PBB
Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) pada 10 Desember menyatakan bahwa setelah Presiden Bashar al-Assad digulingkan, mereka telah memperingatkan pihak berwenang Suriah untuk memastikan keamanan semua bahan terkait senjata kimia.
OPCW menegaskan: “Sangat penting untuk memastikan keamanan semua bahan dan fasilitas terkait senjata kimia di Suriah.”
Pada tahun 2013, serangan gas kimia di Damaskus menyebabkan lebih dari 1.400 kematian. Insiden tersebut mendorong Suriah untuk bergabung dengan OPCW dan menyerahkan senjata kimia yang mereka deklarasikan untuk dimusnahkan. Namun, OPCW tetap khawatir deklarasi Suriah tidak lengkap dan senjata kimia lainnya mungkin masih ada.
“Deklarasi Suriah mengenai program senjata kimianya hingga saat ini tidak dapat dianggap benar atau lengkap,” ujar OPCW. Mereka juga menyatakan kekhawatiran tentang keberadaan senjata kimia yang dilaporkan hilang.
Sementara itu, kelompok pemberontak Islamis Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang saat ini menguasai Suriah, berjanji akan bekerja sama dengan masyarakat internasional untuk mengawasi senjata dan fasilitas sensitif.
Assad Melarikan Diri, Israel Lakukan Lebih dari 300 Serangan Udara
Kelompok pengawas hak asasi manusia Suriah, Syrian Observatory for Human Rights, pada 10 Desember melaporkan bahwa Israel telah melakukan lebih dari 300 serangan udara terhadap Suriah sejak Presiden Bashar al-Assad digulingkan. Serangan ini menghancurkan sejumlah situs militer penting.
Assad melarikan diri setelah pemberontak HTS berhasil menyerbu Damaskus. Saat ini, Assad dilaporkan mendapatkan suaka politik dari Rusia.
Kelompok pengawas tersebut menyatakan bahwa serangan udara Israel telah menargetkan gudang senjata, kapal perang, dan pusat penelitian yang diduga terlibat dalam produksi senjata kimia. Selain itu, serangan juga dilakukan di fasilitas pertahanan udara di dekat Latakia serta fasilitas militer dan komando elektronik di Damaskus dan sekitarnya.
Negara-Negara yang Terlibat dalam Perang Saudara Suriah
Perang saudara di Suriah pecah 13 tahun yang lalu, dimulai dengan Arab Spring, dan kemudian berkembang menjadi konflik berdarah yang melibatkan berbagai kekuatan, termasuk oposisi dalam negeri, faksi ekstremis, dan negara-negara kuat seperti Amerika Serikat, Iran, dan Rusia. Menurut laporan, perang saudara telah menewaskan lebih dari 500.000 warga Suriah dan memaksa jutaan orang meninggalkan rumah mereka. Berikut adalah beberapa negara yang berperan dalam konflik ini:
1. Turki
Turki sering melakukan intervensi militer, mendukung oposisi Suriah, dan menguasai wilayah perbatasan utara Suriah. Beberapa analis percaya bahwa Turki mungkin mendukung serangan terbaru yang dipimpin oleh HTS.
2. Iran dan Hizbullah
Sebagai sekutu utama Assad, Iran dan Hizbullah telah menjadi bagian dari “Poros Perlawanan” yang bertujuan melawan Israel dan mengurangi pengaruh Amerika Serikat di Timur Tengah.
3. Israel
Israel aktif menargetkan pasokan senjata dan pangkalan militer yang terkait dengan Hizbullah dan Iran di Suriah. Target utama meliputi jalur logistik senjata ke Lebanon dan fasilitas senjata di Suriah.
4. Rusia
Rusia adalah sekutu kuat Assad, memberikan dukungan militer, termasuk serangan udara terhadap oposisi, serta mempertahankan pangkalan militer strategis di Suriah untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan.
5. Amerika Serikat
Peran Amerika Serikat dalam perang saudara Suriah telah mengalami banyak perubahan. Pada awal konflik, pemerintahan Presiden Barack Obama mendukung kelompok oposisi yang melawan pemerintah Bashar al-Assad dengan memberikan pelatihan dan persenjataan. Namun, upaya ini menghasilkan dampak yang terbatas.
Ketika ISIS muncul sebagai ancaman besar pada tahun 2014, Amerika Serikat beralih fokus ke perang melawan kelompok tersebut. Melalui serangan udara dan dukungan kepada pasukan Kurdi, Amerika Serikat berhasil membantu mengalahkan sebagian besar wilayah kekuasaan ISIS. Untuk mencegah kebangkitan ISIS, pasukan Amerika kemudian ditempatkan di timur laut Suriah.
Pada tahun 2019, Presiden Donald Trump menarik sebagian besar pasukan Amerika dari Suriah, tetapi sekitar 900 tentara tetap ditempatkan di wilayah tersebut. Pasukan ini sebagian besar berada di ladang minyak yang dikuasai oleh Kurdi di timur laut Suriah. Selain itu, sejumlah kecil pasukan Amerika ditempatkan di tenggara Suriah, dekat perbatasan dengan Irak dan Yordania.Meskipun pemberontak Suriah, termasuk kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), menyatakan tujuan mereka adalah menggulingkan Assad, pejabat Amerika Serikat tetap bersikap hati-hati terhadap kelompok ini. HTS memiliki hubungan dengan jaringan ekstremis seperti Al-Qaeda, yang menimbulkan kekhawatiran serius bagi Washington.(jhn/yn)