ETIndonesia. Baru-baru ini Greenpeace menggelar konferensi pers pada Kamis, 12 Desember 2024, meminta Pemerintah Taiwan untuk sesegera mungkin mempublikasikan jadwal penerapan Undang-Undang Implementasi Konvensi Pekerjaan Penangkapan Ikan dan memulai penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran dan tuntutan lainnya. Oleh karena itu, Dirjen Perikanan Taiwan dalam siaran pers tertulisnya langsung merespon tentang temuan tersebut.
Untuk diketahui, laporan terbaru Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) berjudul “Netting Profits, Risking Lives: The Unresolved Human and Environmental Exploitation at Sea.” Laporan ini mengungkap dugaan praktik kerja paksa dan eksploitasi finansial yang dialami para awak kapal perikanan (AKP) migran Indonesia di kapal ikan jarak jauh berbendera Taiwan.
Laporan ini menganalisis 10 kasus berdasarkan aduan yang diterima SBMI dari nelayan migran Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera Taiwan sejak 2019 hingga 2024. Tim investigasi menemukan benang merah yang menghubungkan dugaan praktik kerja paksa di kapal dengan industri tuna kalengan yang beroperasi di Amerika Serikat. Tim juga berhasil mengidentifikasi adanya dugaan peran agen perekrutan di Indonesia yang turut mendapatkan keuntungan dari penderitaan AKP migran.
“Permasalahan ini sudah lama terjadi, tetapi pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan lainnya terkesan tidak berupaya untuk membenahi pelindungan, bahkan cenderung membiarkan. Pembiaran adalah pelanggaran serius hak asasi manusia,” kata Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI beberapa waktu lalu.
Greenpeace Asia Tenggara dan SBMI mendesak pemerintah Indonesia, Taiwan, dan AS untuk mengambil langkah konkret, yakni memperketat kebijakan dan regulasi industri perikanan serta memastikan korporasi bertanggung jawab atas praktik tidak manusiawi dan tidak berkelanjutan. Bahkan, membangun industri seafood global yang adil, manusiawi, dan lestari.
“Greenpeace dan SBMI akan terus melakukan investigasi guna mengungkap lebih banyak sisi kelam industri perikanan global. Tujuannya tentu untuk mendorong transformasi ke arah yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih berkelanjutan bagi masa depan para nelayan, konsumen, dan laut kita,” kata Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Laut Senior Greenpeace Asia Tenggara dalam siaran persnya beberapa waktu lalu.
Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Perikanan Taiwan menyatakan Perancangan Undang-Undang Implementasi Konvensi Penangkapan Ikan telah diumumkan pada 22 September tahun ini, menerima pendapat dari semua lapisan masyarakat dan akan ditindaklanjuti berdasarkan prosedur legalisasi hukum.
Selain itu, dugaan kasus pelanggaran yang disebutkan pada konferensi pers tersebut, Direktorat Jenderal Perikanan akan secara aktif menyelidiki bukti-bukti spesifik, ditangani sesuai dengan hukum, dan tidak membiarkan terjadinya kerugian terhadap hak-hak awak kapal.
Direktur Xue, Po-yuan menyatakan menyikapi laporan investigasi dalam konferensi pers tentang 12 kapal ikan yang diduga melakukan pelanggaran tersebut, Taiwan telah memulai prosedur investigasi setelah menerima informasi relevan dari Greenpeace pada 10 Desember ini.
Namun demikian, dikarenakan dugaan informasi tersebut dari tahun 2019, awak kapal yang dipekerjakan saat itu telah meninggalkan kapal dan pulang ke negaranya masing-masing. Oleh karena itu, badan yang memberikan laporan ini diminta untuk memberikan bukti spesifik atas kasus tersebut, agar penyelidikan yang bermanfaat dan bermakna dapat dilakukan sesegera mungkin dan dapat secara efektif melindungi hak dan kepentingan awak kapal.
Selain itu mengenai kasus kapal ikan Hsin Lian Fa no.168, dengan adanya kerjasama antara Direktorat Jenderal Perikanan Taiwan dan Pemerintah Indonesia, para awak kapal yang terdampar telah dibantu untuk pulang ke tanah air dan telah menerima gaji. Pemilik kapal selain menerima sanksi administratif untuk diminta tanggungjawabnya, bagian terkait perdagangan manusia juga telah dialihkan ke penyelidikan kriminal.
Mengenai laporan terkait tuduhan agensi perantara Indonesia yang memungut biaya yang tidak selayaknya, penahanan dokumen dan lainnya, Direktorat Jenderal Perikanan Taiwan telah mengubah Undang-Undang pada tahun 2022 yang mewajibkan Pemilik Kapal membayar langsung gaji awak kapal secara penuh, pembayaran gaji tidak dapat melalui Agensi perantara luar negeri (negara asal awak kapal).
Sejak di tahun yang sama, kerjasama antar kementerian berantusias melaksanakan (Perencanaan Aksi Hak Asasi Manusia Perikanan) dan Direktorat Jenderal Perikanan dengan penambahan inspektur investigasi menjadi 60 orang yang secara signifikan meningkatkan frekuensi inspeksi hak-hak kerja di kapal ikan perairan laut lepas Taiwan dan tingkat cakupan telah melebihi 92%, jika diketemukan melakukan pelanggaran aturan akan dikenakan sanksi sesuai hukum. Intensitas inspeksi dan tingkat cangkupan telah melampaui tingkat internasional.
Selanjutnya, Komunitas Masyarakat Sipil meminta Undang-Undang yang mewajibkan kapal ikan perairan laut lepas untuk memasang Wi-Fi, melindungi hak penggunaan secara wajar dan lainnya. Direktorat Jenderal Perikanan Taiwan menyadari pentingnya komunikasi awak kapal di tengah laut.
Sejak tahun 2022 telah diberikan subsidi untuk biaya peralatan Wi-Fi dan biaya komunikasi, mendorong kapal ikan perairan laut lepas untuk mengizinkan awak kapal menggunakan Wi-Fi, dan bersama dengan awak kapal dan kelompok industri mendiskusikan perumusan pedoman penggunaan yang relevan. Namun dikarenakan lingkungan internasional dan domestik disaat ini yang masih belum memungkinkan, akan meninjau strategi promosi yang tergantung pada evolusi teknologi komunikasi satelit dan situasi pasokan pasar domestik.
“Awak kapal bekewarganegaraan asing adalah mitra kerja penting bagi perikanan laut lepas Taiwan. Pemerintah akan terus bekerjasama dengan berbagai pihak industri, kelompok masyarakat sipil, dan organisasi internasional, dengan perseimbangan antara pengelolaan industri perikanan lepas pantai dan hak awak kapal, agar industri perikanan Taiwan dapat terus berlanjut,” ujar Direktorat Jenderal Perikanan Taiwan. (asr)