EtIndonesia. Departemen Luar Negeri AS pada Jumat (13/12) mengumumkan bahwa Amerika Serikat dan Tiongkok telah memperbarui perjanjian kerja sama ilmiah mereka dengan memasukkan “langkah-langkah perlindungan keamanan nasional yang kuat.”
Perjanjian baru ini ditandatangani beberapa minggu sebelum pelantikan Donald Trump sebagai presiden pada 20 Januari mendatang. Pemerintah Biden menyatakan bahwa cakupan perjanjian baru ini secara signifikan lebih kecil dibandingkan versi sebelumnya dan tidak mencakup teknologi penting atau teknologi baru yang menjadi inti persaingan AS-Tiongkok.
Dalam perjanjian baru ini, Departemen Luar Negeri bertugas melakukan analisis risiko dan manfaat terhadap kerja sama yang diusulkan oleh lembaga lain. Perjanjian tersebut juga memperkuat ketentuan keamanan untuk peneliti dan prinsip timbal balik data, serta menetapkan mekanisme penyelesaian sengketa untuk mengatasi pelanggaran perjanjian oleh salah satu pihak.
Hubungan AS-Tiongkok yang memburuk menyebabkan Perjanjian Kerja Sama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi AS-Tiongkok (STA) yang telah ditandatangani dan diperpanjang selama beberapa dekade sejak hubungan diplomatik pada 1979, menemui hambatan dalam perpanjangannya tahun ini.
Perjanjian ini pertama kali ditandatangani oleh Presiden AS saat itu, Jimmy Carter, dan Wakil Perdana Menteri Tiongkok saat itu, Deng Xiaoping, untuk mendorong kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Selama beberapa dekade, STA menjadi pilar simbolis dalam hubungan AS-Tiongkok.
Selama 45 tahun terakhir, perjanjian ini memungkinkan AS untuk mengakses data Tiongkok terkait gempa bumi, cuaca, dan flu.
Menurut laporan Reuters yang mengutip seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri, :“Sepanjang proses negosiasi tahun lalu, kami selalu menempatkan kepentingan keamanan nasional AS sebagai prinsip utama dan panduan. Kami menyadari bahwa tidak memperpanjang STA dapat menciptakan efek dingin dalam kerja sama ilmiah, yang sebenarnya bermanfaat bagi AS.”
Pejabat senior lainnya menambahkan bahwa perjanjian baru ini mencakup “ketentuan penghentian,” yang dapat diaktifkan jika penyelesaian sengketa gagal.
Namun demikian, para pejabat AS mengakui bahwa kekhawatiran tetap ada terkait rekam jejak Tiongkok dalam pengelolaan data serta kurangnya transparansi dalam kegiatan ilmiah mereka. (jhn/yn)