Kedatangan “Raja Perbatasan” AS ke New York Berbuah Hasil Hingga Xi Jinping Dinilai Tak Berani Penuhi Undangan Trump

Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, telah mengundang sejumlah pemimpin dunia, termasuk pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT), untuk menghadiri pelantikan dirinya. Namun, analis berpendapat bahwa Xi Jinping kemungkinan besar tidak akan hadir karena berbagai alasan, terutama karena dia “tidak berani” 

ETIndonesia. Setelah Juru Bicara Gedung Putih yang ditunjuk Trump, Karoline Leavitt, mengonfirmasi bahwa tim Trump memang telah mengirimkan undangan kepada Xi Jinping, Wall Street Journal pada 13 Desember melaporkan bahwa Xi tidak berniat menghadiri upacara pelantikan tersebut. Sebagai gantinya, Xi kemungkinan akan mengirim seorang pejabat senior untuk mewakilinya, seperti Wakil Presiden Han Zheng atau Menteri Luar Negeri Wang Yi.

Analisis Alasan Xi Tidak Hadir

Para analis percaya bahwa alasan ketidakhadiran Xi bukan semata-mata pertimbangan diplomatik, tetapi lebih terkait dengan kekacauan politik di dalam negeri Tiongkok.

“Jika Xi hadir, dia akan terlihat seperti ‘adik kecil’ Trump. Selama bertahun-tahun, Xi mempromosikan citranya di Tiongkok sebagai setara dengan Amerika Serikat. Jika dia menyerah begitu saja, itu akan mencoreng wajahnya. Selain itu, situasi politik di dalam negeri juga tidak stabil. Dengan penangkapan kepala politik militer utama, Miao Hua, Xi membutuhkan waktu untuk menstabilkan dukungan militer. Jika dia pergi ke luar negeri sekarang, ada kemungkinan dia tidak akan bisa kembali. Jadi, dia benar-benar tidak berani keluar negeri,” kata pengamat politik dan militer senior Taiwan, Wu Kunyu. 

Strategi Trump

Bagi Trump, mengundang Xi Jinping adalah langkah strategis.

“Jika Xi tidak datang, Trump dapat mengatakan kepada dunia bahwa dia telah mengundangnya, tetapi Xi menolak. Trump kemudian dapat meluncurkan berbagai langkah lanjutan berdasarkan ini,” ujar Wu Kunyu. 

Menurut Wall Street Journal, selama beberapa bulan terakhir, pemerintah Beijing telah berusaha menjalin kontak dengan lingkaran inti Trump, tetapi sejauh ini belum berhasil.

Gedung Putih sendiri menanggapi pertanyaan terkait dengan mengatakan bahwa mengundang Xi Jinping adalah hak tim Trump.


“Tidak diragukan lagi, hubungan bilateral ini adalah yang paling penting dan paling berpengaruh secara global bagi Amerika Serikat, hubungan yang penuh dengan bahaya sekaligus peluang,” kata juru Bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, Kirby. 

Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri PKT, Mao Ning, mengulang pernyataan sebelumnya bahwa “tidak ada informasi yang bisa diumumkan saat ini.”

Langkah Awal Trump dan “Raja Perbatasan”

Stephen Miller, yang ditunjuk Trump sebagai Wakil Kepala Staf Gedung Putih dan juga penasihat lama Trump, mengatakan kepada Fox News pada 12 Desember bahwa masa jabatan kedua Trump akan “revolusioner, bersejarah, dan belum pernah terjadi sebelumnya.”

Miller sebelumnya mengungkapkan bahwa prioritas utama Trump pada hari pertama kembali ke Gedung Putih adalah mendeportasi imigran ilegal. Tom Homan, yang dijuluki “Raja Perbatasan” oleh Trump, telah memulai aksinya. Pada 12 Desember, Homan bertemu dengan Wali Kota New York Eric Adams.

Setelah pertemuan tersebut, Adams menyatakan bahwa keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni menangkap para pelaku kejahatan kekerasan yang melintasi perbatasan secara ilegal. Adams juga berencana menandatangani perintah eksekutif untuk mencapai tujuan ini.


“Di masa lalu, kita membuat kesalahan besar karena gagal melindungi kota ini dari mereka yang cenderung melakukan kekerasan, khususnya di New York, yang telah menyaksikan bahaya yang ditimbulkan oleh geng-geng berbahaya. Kita tidak akan terus menuju arah ini,” ujarnya. 

Namun, sikap Adams terhadap kebijakan “kota perlindungan imigran ilegal” di New York tidak berubah. Sejak 2022, kota New York telah menampung sekitar 225.000 imigran ilegal, yang menyebabkan beban besar pada anggaran kota.

Menurut data pemerintah kota New York, pada tahun fiskal 2023, kota ini telah menghabiskan 1,45 miliar dolar AS untuk mendukung imigran ilegal, dan direncanakan untuk mengalokasikan setidaknya 12 miliar dolar AS pada tahun fiskal 2025. (hui)