EtIndonesia. Delegasi perwakilan Israel telah tiba di Qatar untuk terlibat dalam negosiasi intensif mengenai gencatan senjata di Gaza. Langkah ini diambil di tengah ketegangan yang terus meningkat antara Israel dan Hamas, dengan tujuan utama mencapai perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut.
Menurut laporan dari Israel Public Broadcasting Service pada tanggal 16 Desember, delegasi Israel tengah berupaya mencapai kesepakatan yang mencakup pertukaran tahanan antara pihak Israel dan Hamas. Negosiasi ini diharapkan dapat menghasilkan perjanjian gencatan senjata yang berlaku sebelum pelantikan Presiden Amerika Serikat terpilih, Donald Trump, pada 20 Januari mendatang.
Kompromi dan Kekhawatiran Hamas
Hamas telah menunjukkan itikad baik dengan menyetujui syarat fase pertama pembebasan sandera, yang mencakup pelepasan sandera berusia di atas 50 tahun dan yang sedang sakit. Namun, sumber yang akrab dengan negosiasi mengungkapkan bahwa Hamas tetap mendesak adanya gencatan senjata permanen. Kekhawatiran mereka adalah perjanjian yang dicapai di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden mungkin tidak akan bertahan lama jika Trump mengambil alih kepemimpinan.
Meskipun terdapat perbedaan pendapat antara Israel dan Hamas, pejabat Israel yang diwawancarai menyatakan bahwa negosiasi berjalan dengan kemajuan yang signifikan. Namun, baik pihak Qatar maupun Israel belum memberikan komentar resmi terkait perkembangan ini.
Pertemuan dengan Perwakilan Trump
Dalam laporan dari The Today Israel, dikemukakan bahwa delegasi Israel telah bertemu dengan perwakilan Trump di Doha. Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, dalam rapat Komite Luar Negeri dan Pertahanan menyatakan optimisme bahwa sebagian besar pihak akan menyetujui perjanjian ini. Hamas juga telah menunjukkan kompromi pada beberapa isu, sementara Israel telah menyesuaikan posisi mereka pada beberapa kondisi untuk mencapai kesepakatan.
Jumlah sandera yang akan dibebaskan pada fase pertama diperkirakan mencakup orang dewasa berusia di atas 50 tahun, yang sakit, dan individu yang diklasifikasikan sebagai kasus kemanusiaan. Pembebasan ini akan dilakukan sebagai imbalan atas gencatan senjata selama enam minggu. Utusan khusus urusan sandera Trump, Adam Boehler, telah mengadakan pertemuan dengan Menteri Pertahanan Israel, Menteri Luar Negeri, serta pejabat tinggi lainnya dari Israel untuk mempercepat proses ini.
Prioritas Utama Pembebasan Sandera
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menegaskan bahwa lembaga keamanan Israel telah diinstruksikan untuk menjadikan pembebasan sandera sebagai prioritas utama.
“Ini adalah kewajiban kemanusiaan dan tugas terpenting yang ada saat ini,” ujar Israel Katz.
Dia juga menyatakan bahwa upaya aktif sedang dilakukan untuk mendorong langkah-langkah praktis seiring dengan munculnya kemauan kompromi baru dari Hamas.
Kekhawatiran akan Kelanjutan Konflik di Masa Depan
Empat sumber yang mengetahui situasi ini mengungkapkan kepada The Times bahwa Hamas khawatir Trump akan mengizinkan Israel untuk melanjutkan pertempuran di Gaza setelah fase pertama gencatan senjata selesai.
Penasehat keamanan nasional AS, Jake Sullivan, pada minggu lalu menyatakan bahwa pemerintahan Biden sedang berusaha mencapai perjanjian ini sebelum akhir Desember. Namun, jika berhasil, Trump akan bertanggung jawab menyelesaikan fase pertama gencatan senjata enam minggu serta fase-fase berikutnya.
Seorang pejabat Israel yang diwawancarai oleh The Israel Times menyampaikan bahwa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, percaya bahwa di bawah kepemimpinan Trump, dia memiliki fleksibilitas yang lebih besar untuk melanjutkan pertempuran setelah fase pertama gencatan senjata dibandingkan di bawah Biden.
Permintaan Jaminan dari Hamas
Menurut dua diplomat Arab, seorang pejabat Israel, dan seorang pejabat AS yang akrab dengan situasi negosiasi, Hamas juga meminta jaminan bahwa Israel tidak akan memulai kembali perang setelah fase pertama selesai. Permintaan ini mencerminkan keinginan Hamas untuk memastikan bahwa gencatan senjata tidak hanya bersifat sementara.
Netanyahu menyatakan bahwa jika perang berakhir, Hamas akan bangkit kembali, membangun kembali, dan melakukan serangan lagi. Oleh karena itu, Israel tidak ingin kembali ke situasi tersebut.
Penemuan Lubang Kubur Massal di Suriah
Selain dinamika negosiasi di Gaza, situasi di Suriah juga mendapat sorotan. Rezim diktator Suriah, Bashar al-Assad, baru-baru ini dilaporkan melarikan diri ke Rusia setelah pasukan anti-pemerintah menggulingkannya. Organisasi masyarakat sipil menemukan lubang kubur massal yang menampung sekitar 100.000 tulang di pinggiran ibu kota Damaskus, yang diduga merupakan korban pembantaian oleh rezim Assad, termasuk warga negara asing.
Menurut laporan Reuters, lubang kubur massal ini terletak di daerah Ghotfa sekitar 40 kilometer utara Damaskus. Penemuan ini dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil bernama Pasukan Darurat Suriah. Kepala organisasi ini, Mustafa, mengungkapkan bahwa sejak 2011, rezim Assad telah menangkap warga sipil yang dicurigai untuk menekan kekuatan pemberontak, kemudian membunuh mereka dan membuang tubuh mereka ke lubang kubur massal.
Mayoritas tulang yang ditemukan adalah warga Suriah, tetapi kemungkinan juga termasuk warga negara asing seperti Amerika Serikat dan Inggris. Penggunaan buldoser oleh militer untuk meratakan tulang sebelum menutup lubang kubur menambah keprihatinan internasional terhadap kekejaman rezim Assad. Mustafa juga menyebutkan bahwa sebelumnya telah ditemukan empat lubang kubur massal lainnya, menunjukkan skala kekerasan yang terjadi di negara tersebut.
Kesimpulan
Negosiasi gencatan senjata antara Israel dan Hamas di Qatar menunjukkan kemajuan meskipun terdapat tantangan dan kekhawatiran mengenai kelanjutan konflik di masa depan. Sementara itu, penemuan lubang kubur massal di Suriah menyoroti kekejaman rezim Assad yang masih berlangsung. Kedua situasi ini mencerminkan kompleksitas konflik di Timur Tengah yang membutuhkan upaya diplomasi dan kemanusiaan yang intens untuk mencapai perdamaian dan keadilan.