ETIndonesia. Melihat ke sekeliling, banyak orang yang melakukan kejahatan, namun mereka tetap bisa menikmati kemewahan hidup, tinggal di rumah mewah dan mobil mahal, serta menyantap berbagai hidangan lezat.
Tetapi di mata Tuhan, tidak ada karma yang tidak akan dibalas, hanya saja waktunya belum tiba. Bagi orang-orang Tiongkok yang dibombardir dengan ajaran atheisme, ini mungkin sulit dipahami.
Dan, bagi mereka yang hanya melihat fakta di depan mata menolak untuk percaya, karena hal tersebut tidak terjadi pada diri mereka.
Seorang cendekiawan dari Dinasti Qing, Ji Xiaolan, dalam “the thatched study of close scrutiny”, menyebutkan sebuah peristiwa yang diceritakan oleh gurunya, Chen Wenqin.
Ia bercerita tentang seorang kenalannya di kampung halaman, yang meskipun tidak pernah melakukan kejahatan besar, tapi selalu memanfaatkan orang lain untuk keuntungannya sendiri, tidak mau mengalami kerugian, sementara dia selalu membuat orang lain menderita.
Suatu ketika, pria tersebut mengikuti ujian negara dan menginap di sebuah penginapan bersama teman-temannya. Ketika hujan deras membuat atap bocor, hanya bagian kecil di dekat dinding utara yang tetap kering. Ia tiba-tiba pura-pura sakit dan langsung menempati tempat itu, meski semua orang tahu ia berbohong. Namun, karena tidak ada alasan kuat untuk memintanya pindah tempat, mereka pun membiarkannya tidur di sana.
Tak lama kemudian, dinding utara itu runtuh akibat hujan deras. Orang-orang yang masih terjaga berhasil menyelamatkan diri, tetapi pria tersebut tertimpa dinding hingga kepala dan tubuhnya terluka parah, menyebabkan patah kaki dan tangan. Akibatnya, ia gagal mengikuti ujian negara.
Ji Xiaolan juga menceritakan kisah serupa tentang seorang pelayannya bernama Yu Lu, yang dikenal licik dan penuh tipu daya. Saat melakukan perjalanan ke Urumqi, Yu Lu memperkirakan akan turun hujan, sehingga ia menumpuk barang-barangnya di atas kereta kuda milik Ji agar tidak basah terkena hujan. Namun, setelah perjalanan beberapa mil, cuaca cerah kembali, namun roda kereta terjebak di lumpur, membuat air meresap ke barang-barang di bawah. Alhasil, barang-barang Yu Lu pun basah total.
Menurut cerita Ji Xiaolan, kejadian ini membuktikan bahwa tipu daya dan kelicikan tidak disukai oleh Tuhan. Ia berharap kisah ini menjadi pelajaran bagi orang-orang, agar tidak mengulangi kesalahan serupa.
Melalui cerita ini, Ji Xiaolan ingin menyampaikan pesan moral: “Setiap tindakan memiliki konsekuensinya.”
Jangan berpikir bahwa perbuatan buruk yang tidak diketahui orang lain itu tidak akan mendatangkan akibat. Tuhan atau hukum alam selalu mengawasi setiap tindakan dan pikiran manusia.
Pada akhirnya, baik atau buruk akan mendapatkan balasannya, cepat atau lambat balasan karmanya pasti akan tiba. Tuhan tidak akan membiarkan karma yang dijatuhkan atau akan berbelas kasih hanya karena Anda tidak melihat-Nya atau tidak mempercayai-Nya. (jhon)
Sumber : Secretchina.com