oleh John Chen, Representative, Taipei Economic and Trade Office (TETO)
Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan bersama dengan Tiongkok “Joint Statement Between the People’s Republic of China and the Republic of Indonesia on Advancing the Comprehensive Strategic Partnership and the China-Indonesia Community with a Shared Future” yang menyebutkan bahwa “Indonesia menegaskan kembali komitmen yang konsisten terhadap Prinsip Satu Tiongkok dalam Resolusi 2758 Majelis Umum PBB dan mengakui bahwa Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (PRC) adalah satu-satunya pemerintahan sah yang mewakili seluruh Tiongkok dan Taiwan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Tiongkok”. Taipei Economic and Trade Office in Indonesia (TETO) menyampaikan protes keras terhadap kekeliruan ini.
Republik Tiongkok (Taiwan) adalah negara yang berdaulat dan mandiri, didirikan pada tahun 1912 dan tidak berafiliasi dengan Republik Rakyat Tiongkok (PRC) yang didirikan pada tahun 1949. Hanya pemerintah Taiwan yang dipilih secara demokratis dapat mewakili 23,5 juta penduduk Taiwan secara internasional. Republik Rakyat Tiongkok (PRC) tidak pernah memerintah Taiwan dan Taiwan jelas bukan bagian dari Republik Rakyat Tiongkok (PRC).
Hal ini merupakan status quo Selat Taiwan saat ini dan pernyataan apapun yang mendistorsi status kedaulatan Taiwan tidak dapat mengubah fakta objektif yang diakui secara internasional.
Resolusi 2758 yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1971 hanya menentukan atribusi perwakilan Tiongkok di PBB dan tidak pernah menyebutkan bahwa Taiwan adalah bagian dari Republik Rakyat Tiongkok (PRC). Teks lengkap Resolusi 2758 Majelis Umum PBB sebagai berikut:
Resolusi tersebut tidak menyebutkan Taiwan dalam keseluruhan teks dan juga tidak mengakui Taiwan sebagai bagian dari Republik Rakyat Tiongkok (PRC). Resolusi tersebut hanya menentukan atribusi perwakilan Tiongkok di PBB. Tiongkok secara sepihak menggunakan kesalahan tafsir terhadap Resolusi 2758 Majelis Umum PBB sebagai “Prinsip Satu Tiongkok” dan dengan keliru mengklaim bahwa resolusi tersebut telah secara politik, hukum dan prosedur, menyelesaikan masalah perwakilan Taiwan di PBB yang termasuk bagian dari Republik Rakyat Tiongkok (PRC), di mana hal tersebut sepenuhnya tidak berdasar dan tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok terus salah menafsirkan Resolusi 2758 Majelis Umum PBB dan secara tidak tepat mengaitkan dengan “Prinsip Satu Tiongkok”. Tujuannya tidak hanya untuk membatasi dan mengecualikan partisipasi Taiwan dalam organisasi internasional, tetapi juga untuk menggunakan resolusi tersebut sebagai senjata dan mengglobalisasikan “Prinsip Satu Tiongkok” untuk memaksa negara lain menerima klaim politik Tiongkok, mengasingkan hubungan dengan Taiwan, merusak tatanan internasional, dan membangun dasar hukum penggunaan kekerasan untuk menyerang Taiwan di masa depan.
Saat ini, banyak negara mengkritik interpretasi menyimpang terhadap Resolusi 2758 Majelis Umum PBB yang dilakukan oleh Tiongkok secara sengaja, di antaranya Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, Australia, Belanda, Guatemala, Kanada dan lain-lain.
Melalui mosi yang disahkan oleh parlemen atau melalui pernyataan yang dikeluarkan oleh perwakilan pemerintah, negara-negara tersebut menentang Tiongkok menggunakan Resolusi 2758 Majelis Umum PBB untuk mengecualikan Taiwan dari partisipasi internasional. Selain itu, Aliansi Antar-Parlemen tentang Tiongkok (IPAC) yang terdiri lebih dari 250 anggota parlemen dari 38 negara di seluruh dunia dan Uni Eropa, telah mengesahkan “Model Resolusi IPAC terhadap Resolusi 2758 Majelis Umum PBB” pada Juli 2024 yang menunjukkan dukungan nyata untuk Taiwan. Saya berharap pemerintah Indonesia dapat secara bijaksana melihat perangkap politik yang dibuat oleh Tiongkok dengan salah menafsirkan Resolusi 2758 Majelis Umum PBB.
Walaupun Taiwan dan Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik yang formal, namun kedua negara mempunyai hubungan kerja sama yang erat di berbagai bidang. Taiwan adalah mitra dagang terbesar ke-10 bagi Indonesia dan salah satu sumber utama investasi asing.
Saat ini terdapat lebih dari 2.000 pengusaha Taiwan yang meramaikan pasar Indonesia dan telah menciptakan lebih dari 500.000 lapangan kerja di berbagai daerah di Indonesia. Pemerintah Taiwan telah menerapkan “Kebijakan Baru ke Arah Selatan” sejak 2016 dan sampai saat ini Taiwan-Indonesia telah menandatangani 29 MoU. Saya berharap Taiwan dan Indonesia dapat terus memperkuat kerja sama di tingkat substantif di bidang ekonomi, perdagangan, kesehatan, pertanian, pendidikan, kebudayaan, pariwisata, dan bidang-bidang lainnya sebagai berikut:
1. Di bidang pertanian, Taiwan Technical Mission (TTM) yang sudah 48 tahun menjalankan tugasnya di Indonesia, telah meninggalkan jejak di berbagai pelosok Indonesia seperti Jawa, Bali, Sulawesi dan Sumatera. Selain meningkatkan produksi pangan, model kerja sama TTM juga berfokus pada pelatihan sumber daya manusia, memperluas saluran produksi dan pemasaran, memperkenalkan teknologi pertanian cerdas AI, serta memperhatikan pembangunan pertanian berkelanjutan.
2. Di bidang pendidikan, kualitas pendidikan Taiwan yang tinggi saat ini telah menarik lebih dari 20.000 pelajar Indonesia untuk belajar di Taiwan, menjadikan Indonesia sebagai negara asal mahasiswa asing terbesar kedua di Taiwan.
3. Di bidang ketenagakerjaan, jumlah pekerja migran Indonesia yang bekerja di Taiwan saat ini mencapai 300.000 orang. Pemerintah Taiwan memberikan jaminan upah minimum, asuransi kesehatan nasional, dan asuransi ketenagakerjaan, serta memastikan pekerja migran Indonesia mendapatkan lingkungan kerja dan tempat tinggal yang stabil.
Tetapi sangat disayangkan, Pernyataan Bersama Indonesia-Tiongkok yang baru saja diumumkan beberapa waktu lalu menyebutkan Prinsip Satu Tiongkok dan salah menafsirkan kedaulatan Taiwan.
Hal ini sangat bertentangan dengan tren saat ini di mana negara-negara OECD meningkatkan pertukaran mereka dengan Taiwan. Selain itu, situasi yang tidak bersahabat terhadap Taiwan ini juga tidak sesuai dengan kebijakan luar negeri Indonesia “Sejuta Kawan Nol Musuh”
Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok terus secara sepihak mengubah status quo di Selat Taiwan melalui ancaman militer, disinformasi, strategi zona abu-abu, pemaksaan ekonomi, dan menghalangi partisipasi internasional Taiwan, yang secara serius telah merusak perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan serta keamanan dan kemakmuran regional. Perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan tidak hanya berdampak pada keamanan dan kemakmuran kawasan Indo-Pasifik, tetapi Taiwan juga memainkan peran penting dalam rantai pasokan global. Secara khusus, Taiwan memiliki klaster industri semikonduktor terlengkap di dunia dengan lebih dari 60% chip dan 92% chip tercanggih diproduksi di Taiwan.
Apabila terjadi konflik di Selat Taiwan, hal ini akan berdampak serius pada arus transportasi laut dan udara dan perdagangan di kawasan Indo-Pasifik dan global serta menimbulkan kerugian besar bagi perekonomian global. Hal ini juga akan berdampak pada kehidupan dan keselamatan 400.000 WNI yang saat ini belajar dan bekerja di Taiwan. Perdamaian dan stabilitas di selat Taiwan sangat berkaitan dengan keselamatan WNI di Taiwan dan kepentingan ekonomi dan perdagangan nasional Indonesia.
Indonesia dan Taiwan adalah negara yang menghormati demokrasi, supremasi hukum, kebebasan dan hak asasi manusia. Pemerintah Taiwan berharap dapat terus memperdalam pertukaran dan kerja sama di berbagai bidang seperti ekonomi, perdagangan, pertanian, dan pendidikan atas dasar hubungan yang bersahabat antara Taiwan dan Indonesia.
Taiwan meminta kepada pemerintah Indonesia dan seluruh lapisan masyarakat untuk menghadapi upaya jahat Tiongkok yang salah menafsirkan Resolusi 2758 Majelis Umum PBB dan menyamakannya dengan Prinsip Satu Tiongkok.
Pada saat yang sama terus dengan tegas menyatakan kepada Tiongkok menentang upaya sepihak penghancuran status quo di Selat Taiwan dan menekankan pentingnya perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan bagi kepentingan nasional semua negara untuk mengekang ekspansi otoritarianisme Tiongkok dan menjaga tatanan internasional yang berbasis aturan dan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. (***)