EtIndonesia. Pandemi COVID-19 telah merenggut nyawa jutaan orang di seluruh dunia. Banyak orang yang kehilangan orang-orang terkasih. Bagaimana perasaan mereka yang ditinggalkan? Dan apa yang mungkin dipikirkan oleh mereka yang telah pergi? Dalam sebuah kasus unik, sebuah keluarga dibantu oleh dr. Manmeet Kumar untuk terhubung dengan jiwa ibu mereka yang telah meninggal.
Selama gelombang kedua pandemi, seorang anak laki-laki berusia 22 tahun serta dua anak perempuan berusia 18 dan 24 tahun kehilangan ayah dan ibu mereka secara beruntun. Sang ayah meninggal lebih dulu akibat COVID-19. Ketika ibu mereka menjenguk ayah di rumah sakit, dia tertular virus yang sama, hingga akhirnya meninggal dunia seorang diri di rumah sakit. Ketiga anak ini bahkan tidak bisa menghadiri proses kremasi ibunya, apalagi memberikan penghormatan terakhir. Kepergian kedua orangtua ini menjadi pukulan berat, dan mereka bertanya-tanya mengapa sang ibu pergi begitu cepat, apakah dia baik-baik saja di alam sana, dan merasa bersalah karena tidak dapat mendampingi ibunya di saat-saat terakhir.
Saat pertama kali bertemu, dr. Manmeet merasakan ketakutan mendalam di antara anak-anak ini terhadap pandemi, juga rasa bersalah karena terlalu mengutamakan keselamatan diri sendiri sehingga membiarkan ibu mereka meninggal sendirian.
Ketika ditanya tentang sosok ibu mereka, anak-anak ini menggambarkan sang ibu sebagai wanita sederhana, seorang ibu rumah tangga yang dikenal akan kepribadian baiknya dan keahlian memasaknya. Dia sering menghadiri acara doa di lingkungan tempat tinggal mereka, dan menjadi perwakilan keluarga dalam pertemuan sosial.
Dr. Manmeet kemudian mencoba berkomunikasi dengan jiwa sang ibu. Dalam penglihatannya, dia melihat seorang wanita muda yang dulu bercita-cita membangun karier. Sang ibu bercerita bahwa dia pernah ingin melanjutkan studi ke luar negeri, menjadi pribadi mandiri, dan mengejar impian. Namun, dia memilih menikah dan membangun keluarga lebih dulu. Ketika membangun rumah tangga, dia menerima peran sebagai ibu rumah tangga yang patuh pada keluarga, menjadi ibu dan menantu yang baik.
Dalam pesan spiritualnya, dia bertanya, “Dalam batasan ini, apa lagi yang bisa saya lakukan?”
Meski merasa tidak cukup berani untuk mewujudkan semua mimpinya, dia merasa dicintai oleh keluarga, sehingga tidak pernah merasa hidupnya menyedihkan, meski ada sedikit penyesalan yang tidak diketahui siapa pun.
Jiwa sang ibu juga mengungkapkan bahwa dia menyukai puisi-puisi dalam bahasa Hindi, namun tidak ada yang mengetahuinya, bahkan suaminya sendiri. Meskipun dia menjalani perannya sebagai ibu dengan sepenuh hati, tidak ada yang mencoba memahami dirinya sebagai individu. Dia berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak larut dalam kesedihan, tetapi mengenang kehidupannya yang penuh cinta dan kebahagiaan. Dia merasa puas dengan hidupnya, kecuali pada momen terakhir yang penuh ketakutan. Dia berharap dalam kehidupan berikutnya dia dapat mengejar kebebasan dan melayani orang lain.
Dr. Manmeet menutup pertemuan dengan pesan penting: orangtua sering kali memberikan segalanya untuk anak-anak mereka, namun jarang mendapatkan pemahaman atau penghargaan. Orangtua bukan hanya pelayan rumah atau sopir pribadi, mereka juga pernah memiliki mimpi-mimpi yang besar. Meski fisik mereka menua, tetapi jiwa mereka tetap muda dan penuh harapan. (jhn/yn)