James Gorrie
Apakah Ekonomi Tiongkok benar-Benar pulih?
Menurut Partai Komunis Tiongkok (PKT), ekonomi Tiongkok sebenarnya berjalan cukup baik dan terus membaik secara stabil.
Tapi, benarkah demikian?
Apakah Masa Kejayaan Telah Kembali?
Dalam pidatonya pada konferensi 11–12 Desember, Xi Jinping mengklaim bahwa “ekonomi stabil dan mengalami kemajuan, serta tujuan utama pembangunan ekonomi dan sosial … hampir berhasil dicapai.”
Bayangkan kelegaan yang mungkin dirasakan seluruh negeri setelah mendengar pemimpin PKT dengan penuh keyakinan menyatakan kesehatan ekonomi negara tersebut. Dari bunyinya, ekonomi tampak berada di jalur yang benar, jika tidak berada di ambang pintu, menuju pencapaian tujuan jangka panjangnya untuk menciptakan Tiongkok yang lebih besar, lebih dinamis secara ekonomi, adil, dan makmur bagi semua orang.
Namun, stimulus tambahan sedang dipersiapkan.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Kata-Kata Xi Bertentangan dengan Realitas—dan Tindakannya
Apakah “tujuan utama pembangunan ekonomi dan sosial” benar-benar hampir tercapai?
Apakah “ekonomi yang stabil” benar-benar mendorong negara menuju tujuan besar tersebut, seperti yang diklaim Xi?
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut, tersimpul dalam satu kata, yakni “Tidak.”
Faktanya, meskipun ada pernyataan resmi yang optimistis tentang kondisi ekonomi Tiongkok, kenyataannya tidak demikian. Selain itu, kata-kata Xi disambut dengan keraguan. Jika pasar Tiongkok menjadi indikator kepercayaan investor dan opini publik—dan memang demikian—rakyat Tiongkok tidak membeli sandiwara PKT, sebagaimana terlihat dari respons negatif pasar terhadap konferensi tersebut.
Apakah Tiongkok Menuju Jalan yang Sama dengan Jepang?
Beberapa pengamat mencatat bahwa ekonomi Tiongkok menunjukkan kesamaan dengan Jepang di awal abad ke-21, dan mereka tidak salah. Perbandingan ini patut diperhatikan.
Sebagai contoh, masalah-masalah utama yang menyebabkan ekonomi Jepang mengalami dua dekade stagnasi dan kelesuan meliputi demografi yang menurun, beban utang publik yang tinggi, anjloknya harga aset (terutama di sektor real estat), ketergantungan pada permintaan luar negeri, dan deflasi.
Tiongkok menghadapi tantangan serupa, ditambah masalah lain seperti tingkat pengangguran yang tinggi, terutama di kalangan pekerja muda. Lebih jauh lagi, ekonomi Tiongkok memiliki kelemahan struktural secara signifikan setidaknya terhadap dua aspek.
Ketergantungan pada Investasi dan Permintaan Asing
Satu kelemahan adalah ketergantungan Tiongkok pada investasi asing dan permintaan luar negeri untuk pengembangan dan kelangsungan ekonominya. Tarif, sanksi, meningkatnya biaya tenaga kerja, dan pesaing dengan harga lebih rendah telah mengurangi dominasi Tiongkok sebagai produsen dunia, sementara permintaan domestik tetap sangat rendah.
Ketergantungan Kepada Sektor Real Estat
Kelemahan lainnya adalah ketergantungan berlebih pada sektor real estat, yang menyumbang hingga sepertiga dari PDB-nya selama beberapa dekade terakhir. Kelemahan struktural ini kini menimbulkan konsekuensi bencana, seperti utang publik yang tak terkendali hingga mencapai triliunan dolar, kelebihan pasokan bangunan yang tidak dihuni, dan nilai properti yang anjlok. Krisis deflasi real estat ini diperburuk oleh populasi yang menua dan menyusut, serta rendahnya kepercayaan terhadap kemampuan atau kebijakan PKT untuk membalikkan keadaan ekonomi.
Masalah-masalah ini, ditambah dengan kurangnya kebebasan dan meningkatnya kontrol Partai atas ekonomi, adalah alasan mengapa ekonomi Tiongkok mengalami kesulitan untuk bertahan dan menghasilkan pertumbuhan serta stabilitas jangka panjang.
Mengandalkan Stimulus Berulang Kali
Tentu saja, PKT terus mengandalkan suntikan modal untuk menyelamatkan ekonomi Tiongkok. Bukan pertama kalinya otoritas Tiongkok menggunakan “tongkat ajaib stimulus” untuk menyuntikkan miliaran uang baru ke dalam ekonomi, menurunkan suku bunga, dan menerapkan langkah-langkah stimulus lainnya. Praktik ini telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Namun, baik sejarah maupun situasi saat ini menunjukkan dengan jelas bahwa cara ini tidak akan berhasil. Stimulus, pada kenyataannya, jauh kurang efektif daripada yang diharapkan ketika digunakan secara berlebihan.
Ekonom seperti Zhang Weiying memahami bahwa secara struktural, stimulus dan alat moneter lainnya tidak cukup untuk membalikkan keadaan. Diperlukan lebih banyak reformasi untuk mengoptimalkan potensi penuh ekonomi Tiongkok, khususnya konsumsi domestik, yang didorong oleh pendapatan dan kepercayaan konsumen. Sayangnya, keduanya saat ini sangat lemah. Menurut Zhang, “Membangun kepercayaan pelaku usaha terutama bergantung pada arah reformasi, bukan pada kekuatan stimulus kebijakan moneter.”
Kepercayaan Konsumen yang Tinggi Adalah Kunci Pertumbuhan dan Stabilitas
Dengan kata lain, agar ekonomi Tiongkok benar-benar tumbuh dan berhasil dalam jangka panjang, diperlukan reformasi ekonomi dan politik untuk meningkatkan kepercayaan konsumen. Kepercayaan konsumen yang lebih tinggi akan mendorong permintaan dan pengeluaran yang lebih besar, yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ini adalah prinsip dasar makro ekonomi.
Namun, seperti yang dicatat Zhang, untuk meningkatkan kepercayaan konsumen dalam jangka panjang, Partai harus melakukan perubahan mendasar pada ekonominya. Hal ini membutuhkan transformasi Tiongkok dari ekonomi komando yang didominasi Partai menjadi ekonomi dinamis yang berorientasi pada pertumbuhan, didorong oleh konsumsi domestik, inovasi, dan kelas menengah yang berkembang.
Seberapa Mungkin Hal Itu Terjadi?
Sebuah proposal baru-baru ini berjudul “Mempromosikan Ekonomi Swasta,” yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan bisnis di sektor swasta, menuntut agar perusahaan swasta “menjunjung tinggi kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok, mematuhi sistem sosialisme dengan karakteristik Tiongkok, dan secara aktif berpartisipasi dalam membangun negara sosialis modern yang kuat.”
Lebih jauh lagi, perusahaan juga diwajibkan untuk “menerima pengawasan pemerintah dan sosial dalam melakukan produksi dan operasi.”
Dengan kata lain, proposal tersebut hanya mencakup kebijakan dan kontrol Partai yang sama seperti sebelumnya—kebijakan yang justru menyebabkan masalah sejak awal. Jelas, dalam hal reformasi, PKT hanya berbicara tanpa tindakan nyata. Ekonomi terencana Tiongkok akan tetap tidak berubah secara struktural.
Seperti lagu yang berbunyi, “Pemimpin baru, sama saja dengan pemimpin lama.”
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah opini penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times.
James R. Gorrie adalah penulis buku “The China Crisis” (Wiley, 2013) dan menulis di blognya, TheBananaRepublican.com. Ia tinggal di California Selatan.