Kanada Diduga Terlibat dalam Jaringan Perdagangan Manusia dengan 262 Institusi Pendidikan

EtIndonesia. Departemen Penegakan Hukum India (ED) mengungkap temuan mengejutkan bahwa hingga 262 institusi pendidikan di Kanada diduga terlibat dalam mengeluarkan visa pelajar kepada imigran ilegal asal India. Modus ini memungkinkan mereka menggunakan Kanada sebagai jalur transit untuk masuk ke Amerika Serikat secara ilegal. Beberapa korban dilaporkan diperas hingga 600.000 rupee (sekitar sekitar Rp 113 juta) dan menghadapi nasib tragis, termasuk kematian selama upaya penyeberangan perbatasan.

Penyelidikan dimulai setelah insiden tragis pada Januari 2022, ketika sebuah keluarga asal Gujarat, India, meninggal karena suhu ekstrem saat mencoba menyeberang secara ilegal dari Kanada ke AS. Jagdish Patel,(39 tahun), istrinya Vaishali (35 tahun), bersama dua anak mereka yang berusia 11 dan 3 tahun, ditemukan tewas membeku di perbatasan Manitoba akibat badai salju dengan suhu mencapai -37°C. Kelompok penyelundup manusia meninggalkan mereka tanpa bantuan.

Bhavesh Ashokbhai Patel, terdakwa utama dalam kasus ini, dituduh menjalankan jaringan penyelundupan yang membantu para korban mendapatkan surat penerimaan dari institusi pendidikan Kanada.

Setelah tiba di Kanada, para pelajar ini tidak melanjutkan pendidikan, melainkan melintasi perbatasan secara ilegal ke AS. Beberapa institusi pendidikan Kanada diduga menerima komisi dan bahkan mengembalikan biaya kuliah ke rekening pelajar, memicu kecurigaan atas keterlibatan aktif mereka dalam jaringan ini.

ED mengidentifikasi sekitar 262 institusi pendidikan yang terlibat, termasuk beberapa yang berlokasi di dekat perbatasan Kanada-AS. Berdasarkan data Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (USCBP), jumlah warga India yang melintasi perbatasan secara ilegal meningkat drastis dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2022, terdapat 109.535 imigran ilegal, 16% di antaranya warga India. Angka ini meningkat menjadi 189.402 pada 2023, dengan 30.010 orang berasal dari India, dan melonjak lagi pada tahun ini dengan 43.764 warga India (22% dari total kasus ilegal).

ED menyebutkan bahwa dibandingkan dengan “jalur keledai”, warga India “tertipu” untuk memilih jalur visa pelajar yang tampak lebih mudah. Setiap orang dikenai biaya sebesar 550.000-600.000 rupee oleh agen untuk pengurusan visa pelajar dan biaya perjalanan ke Kanada, kemudian mereka “didorong” untuk masuk ke Amerika Serikat.

Baru-baru ini, ED melakukan penggeledahan di delapan lokasi termasuk Mumbai, Nagpur, Gandhinagar, dan Vadodara. Dalam penggeledahan tersebut, ditemukan dua agen yang khusus menyediakan layanan perekrutan untuk universitas asing, yang diduga secara ilegal mengirimkan sekitar 35.000 imigran India ke luar negeri setiap tahun.

Agen-agen tersebut memiliki perjanjian perekrutan berbasis komisi dengan berbagai universitas dan institusi asing. Mereka menyiapkan semua dokumen yang diperlukan untuk mengajukan visa pelajar bagi calon imigran ilegal, sehingga memungkinkan mereka untuk menggunakan jalur legal guna mencapai tujuan imigrasi ilegal.

Selama penggeledahan, ED menyita dana sebesar 1,9 juta rupee di rekening bank terdakwa, serta dokumen dan perangkat elektronik.

Penyelidikan juga menemukan bahwa sekitar 112 institusi pendidikan tinggi di Kanada memiliki perjanjian dengan sebuah lembaga India yang berbasis di Maharashtra, sementara lebih dari 150 institusi lainnya bekerja sama dengan lembaga India yang lain.

ED sedang memeriksa jumlah keuntungan yang diperoleh institusi pendidikan di Kanada dari “imigran ilegal” ini, serta rincian transaksi terkait.

Pada hari Rabu, ED menyatakan: “Penyelidikan juga mengungkap bahwa sekitar 1.700 agen atau mitra di Gujarat terlibat dalam jaringan ilegal ini, sedangkan di seluruh India jumlahnya melebihi 3.500 orang. Meskipun berbagai lembaga telah bekerja sama untuk memberantas jaringan ini, lebih dari 800 agen masih aktif di pasar.”

Kanada Meminta 4,9 Juta Penduduk Sementara untuk Tinggalkan Kanada Tahun Depan

Untuk memastikan sistem imigrasi dan pertumbuhan populasi Kanada terkendali, Kementerian Imigrasi telah melakukan reformasi lebih lanjut terhadap sistem imigrasi dan perlindungan suaka.

Pemerintah federal Kanada memperkirakan, dari September 2024 hingga Desember 2025, sebanyak 4,9 juta penduduk sementara dengan visa yang telah habis masa berlakunya harus meninggalkan Kanada. Di antara mereka, sekitar 766.000 adalah pelajar internasional.

Pemerintah juga menekankan bahwa situasi ini akan terus dipantau: “Kami memiliki banyak langkah untuk memantau masalah ini, termasuk menggunakan Badan Layanan Perbatasan Kanada (CBSA) untuk menyelidiki dan menuntut mereka yang melanggar hukum imigrasi.”

CBSA Menggunakan Teknologi Pengenalan Wajah untuk Melacak

Pada November lalu, pemerintah federal meluncurkan aplikasi imigrasi baru yang dirancang untuk melacak penduduk tetap, warga asing, dan pemohon suaka yang menunggu deportasi atau keputusan akhir status imigrasi mereka di Kanada.

Aplikasi bernama ReportIn ini menggunakan teknologi pengenalan wajah dan data lokasi untuk mengonfirmasi identitas serta lokasi pengguna. Aplikasi ini menawarkan alternatif untuk penahanan, memungkinkan individu yang berada di bawah pembatasan hukum imigrasi melaporkan diri kepada pihak berwenang tanpa harus datang langsung ke kantor CBSA.

Meskipun aplikasi ini dirancang sebagai alat pelaporan, para ahli memperingatkan bahwa aplikasi ini dapat mempermudah pengawasan dan deportasi.

Sejak diluncurkan pada 13 November, setidaknya 40 orang telah secara sukarela mendaftar untuk menggunakan aplikasi ini.

Rebecca Purdy, juru bicara CBSA, menyatakan: “Ketika pengguna mengirimkan laporan, informasi lokasi mereka akan dibagikan dengan CBSA. Jika pengguna tidak mematuhi syarat pelaporan, penyelidikan akan dimulai. Namun, aplikasi ReportIn tidak secara terus-menerus melacak pergerakan pengguna melalui ponsel mereka atau memantau secara real time.”

Alat pelacakan baru ini diperkenalkan di tengah ancaman dari Presiden AS terpilih, Donald Trump, yang berencana mengenakan tarif 25% pada produk impor Kanada jika tidak menghentikan imigrasi ilegal dan penyelundupan fentanil dari Kanada.

Will Tao, seorang pengacara imigrasi yang memantau penggunaan teknologi untuk imigrasi, mengatakan: “Alat ini akan diperluas cakupannya dan memungkinkan lebih banyak orang untuk menggunakannya. Ini akan menjadi bagian dari rencana deportasi penduduk sementara dengan status yang telah kedaluwarsa.”

Berdasarkan penilaian, CBSA bertanggung jawab memantau 125.000 orang yang menghadapi proses penegakan hukum imigrasi di Kanada. Sekitar 10% dari mereka, atau 13.000 orang, berada di bawah “pengawasan aktif.” Namun, setiap tahun sekitar 2.000 orang yang diminta untuk meninggalkan Kanada gagal memenuhi panggilan, sehingga surat perintah penangkapan dikeluarkan.

Laporan penilaian menyebutkan: “Ketiadaan informasi kontak terkini, ditambah dengan keinginan individu untuk tetap tinggal di Kanada, adalah dua penyebab utama mengapa subjek penegakan hukum imigrasi tidak meninggalkan Kanada sesuai dengan persyaratan.”

CBSA menyatakan bahwa perencanaan dan pengembangan aplikasi ini dimulai pada Juni 2021, tanpa kaitan dengan hasil pemilu presiden AS atau situasi politik. Proses pengembangannya memakan biaya sebesar CAD 3,8 juta selama empat tahun, dengan kebutuhan dukungan berkelanjutan sebesar CAD 600.000. Hingga saat ini, lebih dari 270 petugas perbatasan telah dilatih untuk menggunakan alat ini. (jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS