EtIndonesia. Mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter meninggal dunia pada usia 100 tahun di rumahnya di Georgia pada 29 Desember. Kepergiannya menandai akhir dari suatu era politik, terutama terkait hubungan segitiga antara Amerika Serikat, Tiongkok, dan Taiwan. Pada masa kepresidenannya, Carter berhasil mencapai normalisasi hubungan diplomatik antara AS dan Tiongkok serta memutuskan hubungan resmi dengan Taiwan, sebuah langkah besar yang berpotensi membawa perubahan signifikan pada hubungan segitiga tersebut setelah hampir setengah abad.
Carter dilantik sebagai Presiden AS ke-39 pada 20 Januari 1977. Masa jabatannya (1977–1981) diwarnai dengan resesi ekonomi, inflasi, kemerosotan ekonomi yang berkelanjutan, krisis energi tahun 1979, dan penutupan pemerintahan pertama dalam sejarah AS pada Mei 1980.
Di dunia internasional, berbagai konflik terus terjadi. Untuk mengakhiri konflik Arab-Israel dan perang antara Mesir dan Israel, Presiden Carter memediasi dan menandatangani Perjanjian Camp David bersama para pemimpin kedua negara. Carter juga menandatangani perjanjian pengurangan senjata nuklir dengan pemimpin Uni Soviet, Leonid Brezhnev, serta menyerahkan kendali Terusan Panama kepada Pemerintah Panama hampir tanpa kompensasi.
Pada tahun terakhir masa jabatannya, Carter mengalami kekalahan telak dalam pemilu 1980 dari kandidat Partai Republik Ronald Reagan akibat krisis sandera Iran. Untuk membendung kebangkitan militer Uni Soviet, Carter mengadopsi strategi “bermitra dengan Tiongkok untuk melawan Soviet”. Sebagai seorang politisi dari Partai Demokrat, Carter melanjutkan kebijakan rekonsiliasi dengan Pemerintah Tiongkok yang sebelumnya dijalankan oleh Presiden dari Partai Republik, Richard Nixon. Carter berupaya memperkuat hubungan dengan Tiongkok Komunis untuk bekerja sama melawan ancaman Soviet.
Strategi “Bermitra dengan Tiongkok, Melawan Soviet”
Pada saat itu, enam tahun telah berlalu sejak kunjungan bersejarah Nixon ke Tiongkok pada Februari 1972, yang dikenal sebagai “Perjalanan Pembuka Hubungan AS- Tiongkok”. Namun, Nixon mengundurkan diri pada tahun 1974 karena skandal Watergate.
Untuk mencapai kesepakatan normalisasi hubungan dengan Tiongkok, Carter bahkan menyetujui invasi Tiongkok ke Vietnam. Perang Tiongkok -Vietnam terjadi dari Februari hingga Maret 1979, berlangsung kurang dari satu bulan. Tiongkok menyebut konflik tersebut sebagai “Perang Balasan untuk Membela Diri”, sementara Vietnam menyebutnya sebagai “Perang Perbatasan Tiongkok -Vietnam”.
Pada Desember 1978, sebelum perang tersebut, Carter mengumumkan bahwa AS akan secara resmi mengakui Republik Rakyat Tiongkok mulai 1 Januari 1979 dan menjalin hubungan diplomatik penuh, sekaligus memutus hubungan diplomatik dengan Taiwan, termasuk mencabut Perjanjian Pertahanan Bersama dengan Taiwan.
Karena hubungannya yang buruk dengan Kongres dan kekhawatiran akan penolakan keras, Carter diketahui menjalankan komunikasi rahasia dengan pemimpin Tiongkok Deng Xiaoping melalui Gedung Putih tanpa melibatkan Departemen Luar Negeri AS. Tingkat kerahasiaan ini bahkan membuat Departemen Luar Negeri AS tidak tahu sama sekali.
Dalam memoarnya, Carter mengenang: “Karena kebocoran yang tidak dapat dihindari dari Departemen Luar Negeri, saya tidak pernah mengizinkan saluran komunikasi lain kecuali langsung melalui Gedung Putih. Pada pertengahan Desember 1978, Deng Xiaoping dan saya secara bersamaan mengumumkan bahwa kami telah mencapai kesepakatan untuk menjalin hubungan diplomatik mulai 1 Januari 1979.”
Namun, Kongres AS, baik dari Partai Republik maupun Demokrat, tidak puas dengan kebijakan Carter. Pada tahun 1979, Kongres mengesahkan Undang-Undang Hubungan Taiwan yang memungkinkan AS tetap menjaga hubungan diplomatik tidak resmi dengan Taiwan, menjual senjata ke Taiwan, dan memberikan perlindungan militer jika Taiwan diserang. Carter juga menandatangani undang-undang tersebut menjadi hukum.
Undang-Undang Hubungan Taiwan, yang merupakan hukum formal di AS, memiliki kedudukan lebih tinggi daripada Komunike Normalisasi Hubungan AS- Tiongkok yang ditandatangani pemerintah Carter dengan Tiongkok. Dalam komunike tersebut, AS tidak mengakui Taiwan sebagai bagian dari Tiongkok, meskipun dalam terjemahan bahasa Mandarin, Tiongkok dengan sengaja menerjemahkan kata “acknowledge” menjadi “mengakui,” yang memiliki arti berbeda dari “recognize.”
Pasca Normalisasi Hubungan
Setelah Uni Soviet menginvasi Afghanistan pada akhir Desember 1979, Carter mengizinkan AS menjual peralatan militer ke Tiongkok dan memulai negosiasi untuk berbagi intelijen militer dengan Pemerintah Tiongkok.
Pada Januari 1980, Carter secara sepihak membatalkan Perjanjian Pertahanan Bersama AS-Taiwan. Perjanjian ini sebelumnya ditandatangani dengan Taiwan setelah Pemerintah Republik of China (ROC) mundur ke pulau tersebut pada tahun 1949 akibat kehilangan kendali atas daratan Tiongkok.
Carter selalu menganggap normalisasi hubungan AS – Tiongkok sebagai pencapaian utama dan warisan politiknya. Pada tahun 2009, dalam peringatan 30 tahun hubungan diplomatik AS – Tiongkok, dia berkata: “Dua hari setelah pengumuman hubungan diplomatik, Deng Xiaoping meluncurkan rencana ‘reformasi dan keterbukaan’. Dampak dari kedua peristiwa ini telah membawa perubahan besar dalam 30 tahun terakhir.”
Pemerintah Tiongkok juga selalu memuji Carter atas kontribusinya dalam mempererat hubungan AS- Tiongkok. Setelah Carter wafat, pemimpin Tiongkok Xi Jinping pada 30 Desember menyampaikan ucapan duka kepada Presiden AS Joe Biden atas wafatnya Carter.
Namun, Presiden Ronald Reagan, yang mengalahkan Carter dalam pemilu dan mulai menjabat pada Januari 1981, terus mengkritik keputusan Carter untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Tiongkok Komunis. Untuk memastikan keamanan Taiwan, pemerintahan Reagan menandatangani Komunike 817 dengan Tiongkok pada tahun 1982. Komunike ini menyatakan bahwa jika Tiongkok menunjukkan sikap bermusuhan terhadap Taiwan, AS akan meningkatkan penjualan senjata ke Taiwan.
Selain itu, Reagan juga memperkenalkan Enam Jaminan kepada Taiwan, yang secara eksplisit menegaskan bahwa AS tidak mengubah posisinya mengenai kedaulatan Taiwan.
Masa Depan Hubungan AS-Tiongkok-Taiwan
Pada peringatan 40 tahun hubungan diplomatik AS- Tiongkok pada 2019, Presiden Donald Trump pernah menelepon Carter, menyampaikan kekhawatirannya atas dominasi Tiongkok terhadap AS. Carter menyetujui kekhawatiran tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, seruan untuk memulihkan hubungan diplomatik AS-Taiwan semakin kuat di kalangan politik AS. Dengan Trump yang kembali memenangkan pemilu dan akan dilantik pada 20 Januari 2025, serta susunan kabinetnya yang banyak diisi oleh politisi hawkish terhadap Tiongkok dan pro-Taiwan, hubungan segitiga antara AS, Tiongkok, dan Taiwan diperkirakan akan mengalami perubahan besar di bawah kepemimpinan Trump. (jhn/yn)