Rusia Tolak “Rencana Perdamaian Ukraina”? Begini Analisis dari Dua Pemikir Besar AS dan Rusia

EtIndonsia. Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov baru-baru ini menegaskan bahwa Moskow tidak akan menerima rencana perdamaian yang melibatkan Ukraina bergabung dengan NATO. Lavrov menyebut gagasan tersebut sebagai sesuatu yang “sepenuhnya tidak dapat diterima.”

Dalam wawancara dengan media Rusia TASS pada 30 Desember, Lavrov mengacu pada laporan bahwa tim Donald Trump mengusulkan penundaan keanggotaan Ukraina di NATO selama 20 tahun, dengan Inggris dan pasukan penjaga perdamaian Eropa ditempatkan di Ukraina. Lavrov menyatakan: “Kami tidak senang dengan ini.”

Lavrov menegaskan bahwa Rusia membutuhkan kesepakatan yang mengikat secara hukum untuk mengatasi akar konflik. Bahkan, menurut Lavrov, menunda keanggotaan Ukraina di NATO selama 20 tahun tidak memenuhi tuntutan Rusia.

Presiden Rusia Vladimir Putin juga mengkritik proposal tersebut dalam konferensi pers akhir tahun. Dia menyebut bahwa dari perspektif sejarah, penundaan 10 atau 20 tahun hanyalah “sekejap mata.”

Menurut laporan, Keith Kellogg, utusan khusus Trump untuk Ukraina, mengusulkan menggunakan ancaman penghentian bantuan militer sebagai cara untuk memaksa Ukraina kembali ke meja perundingan. Rencana tersebut mencakup Ukraina meninggalkan ambisi bergabung dengan NATO, sebagai imbalan atas jaminan keamanan dari pasukan penjaga perdamaian Eropa.

Dalam wawancara dengan Time pada 12 Desember, Trump mengkritik pendekatan yang melibatkan penembakan rudal ke wilayah Rusia hingga ratusan mil, menyebutnya sebagai tindakan yang “gila” dan “tidak masuk akal.” Dia menambahkan bahwa jumlah korban jiwa dari perang ini “sangat mengejutkan” dan menekankan bahwa prioritas utama harus menghentikan kematian lebih lanjut. 

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy tampaknya mulai melunak. Setelah bertemu Trump dan Presiden Prancis Emmanuel Macron, Zelenskyy mengungkapkan keinginan untuk gencatan senjata. Dalam wawancara dengan Sky News, dia menyatakan kesediaannya untuk menggunakan diplomasi guna merebut kembali wilayah Ukraina, selama wilayah tersebut berada di bawah perlindungan NATO.

Timothy Ash, seorang peneliti dari Chatham House, menilai bahwa sikap Zelenskyy menunjukkan “konsesi besar” dalam isu teritorial. Namun, Ash menambahkan bahwa Rusia tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan perang jangka panjang, sehingga mencari kesepakatan mungkin menjadi pilihan realistis bagi Moskow.

Dua Pemikir Besar Menganalisis Konflik Rusia-Ukraina

John Mearsheimer, profesor dari Universitas Chicago, dan Alexander Dugin, pemikir politik Rusia yang dianggap sebagai “penasihat utama” Putin, baru-baru ini berdiskusi mengenai konflik ini.

John Mearsheimer: Tantangan Penyelesaian Konflik

Mearsheimer menegaskan bahwa Trump ingin mengakhiri perang Ukraina dengan cepat, tetapi dia meragukan bahwa itu mungkin dilakukan. 

“Putin telah menetapkan dua syarat untuk perdamaian,” katanya.

  1. Ukraina tidak akan pernah bergabung dengan NATO, baik secara hukum maupun de facto, dan akan menjadi negara netral sejati.
  2. Barat dan Ukraina harus mengakui bahwa Krimea, bersama dengan empat wilayah Ukraina yang dicaplok Rusia, adalah bagian permanen dari Rusia.

Mearsheimer menambahkan bahwa sulit membayangkan Amerika Serikat, bahkan di bawah Trump, menerima syarat-syarat tersebut. Dia juga pesimistis Ukraina akan bersedia menerima kesepakatan itu.

Alexander Dugin: Ancaman Eksistensial bagi Rusia

Dugin menyatakan bahwa keanggotaan Ukraina di NATO adalah ancaman eksistensial bagi Rusia. 

“Bagi kami, ini bukan hanya soal geopolitik, tetapi soal kelangsungan hidup. Jika sesuatu mengancam keberadaan kami, kami mungkin memilih untuk menghancurkan segalanya, termasuk kehidupan di Bumi,” tegas Dugin.

Dia memperingatkan bahwa keterlibatan senjata nuklir dapat membawa konsekuensi besar, tidak hanya bagi Rusia dan Ukraina tetapi juga bagi seluruh dunia.

“Putin sudah menegaskan sebelumnya bahwa dunia tanpa Rusia adalah sesuatu yang tidak dapat diterimam,” ujarnya.

Perang Rusia-Ukraina tetap menjadi konflik yang sulit diselesaikan, terutama karena perbedaan fundamental dalam tuntutan kedua belah pihak. Dengan Rusia yang menolak keras keanggotaan Ukraina di NATO dan Ukraina yang terus memperjuangkan kedaulatannya, solusi diplomatik tampaknya masih jauh dari jangkauan.

Sementara itu, posisi Amerika Serikat dalam konflik ini semakin kuat, tidak hanya karena minimnya kerugian langsung tetapi juga karena keuntungan ekonomi dari penjualan senjata. Namun, apakah usulan perdamaian Trump mampu menjembatani perbedaan ini, masih menjadi pertanyaan besar.

Ancaman Eksistensial dan Konsekuensi Nuklir

“Anda dapat menyebut kami agresor, imperialis, atau apa pun, tetapi bagi kami, Ukraina menjadi anggota NATO adalah ancaman eksistensial,” kata Dugin. Ia juga menyoroti pentingnya konsep “pertarungan sampai mati” dalam konflik ini.

“Jika sebuah kekuatan nuklir seperti Rusia menganggap suatu hal sebagai ancaman eksistensial, maka konsekuensinya tidak hanya berarti kematian Rusia atau Ukraina. Dalam konteks senjata nuklir, ‘kematian’ juga bisa berarti kehancuran Eropa Barat atau Amerika Serikat. Ini adalah ‘kematian’ yang mencakup semua umat manusia,” ujar Dugin.

Dugin mengutip pernyataan Putin beberapa tahun lalu, yang menyatakan bahwa dunia tanpa Rusia adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Pernyataan ini mencerminkan filosofi bahwa jika keberadaan Rusia terancam, mereka mungkin memilih untuk menghancurkan segalanya, termasuk umat manusia.

Menurut Dugin, ancaman eksistensial berarti bahwa jika keberadaan suatu negara atau bangsa dipertaruhkan, negara tersebut mungkin akan mengambil langkah ekstrem untuk memastikan kelangsungan hidupnya. Dalam kasus Rusia, yang memiliki senjata nuklir dengan kemampuan menghancurkan umat manusia, risiko ini menjadi sangat besar.

“Kehidupan manusia, Bumi, bahkan alam semesta bisa menjadi taruhannya,” kata Dugin. “Namun, pada akhirnya, memastikan kelangsungan hidup sendiri adalah prioritas.”

Pandangan ini menggambarkan kompleksitas konflik Rusia-Ukraina yang melibatkan dinamika geopolitik, ideologi, dan ancaman global yang lebih besar. Dengan syarat-syarat yang sulit diterima oleh pihak Barat dan Ukraina, serta risiko eskalasi yang melibatkan senjata nuklir, resolusi damai tampaknya masih jauh dari jangkauan. (jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS