EtIndonesia. Wilayah Kursk menjadi pusat perhatian dunia setelah pasukan Private Military Company (PMC) melakukan serangan besar-besaran pada 5 Januari. Kepala Kantor Kepresidenan Ukraina, Andriy Yermak, mengonfirmasi laporan ini dengan menyebut bahwa jumlah personel PMC yang terlibat diperkirakan mencapai 20.000 orang. Kejadian ini memicu spekulasi bahwa PMC tengah mempersiapkan diri untuk pertempuran penentu di kawasan tersebut.
Serangan dari Sudzha
Pada 6 Januari, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken, kembali menyoroti situasi di Kursk ke panggung internasional. Sejumlah sumber melaporkan bahwa Kota Sudzha menjadi titik awal serangan, yang kemudian merembet ke beberapa desa di sekitarnya. Menurut pihak Rusia, PMC mengerahkan seluruh kekuatan cadangan, termasuk tank, kendaraan tempur infanteri, kendaraan lapis baja, dan artileri yang didatangkan terus-menerus dari wilayah Sumy menuju Kursk.
Tidak hanya itu, PMC juga dilaporkan menggunakan drone, perang elektronik, kendaraan penyapu ranjau, serta serangan udara. Rusia sempat mengaktifkan sistem pertahanan udaranya setelah mendapat laporan adanya serangan udara—yang belum dipastikan berupa drone atau rudal—namun diyakini sebagai upaya PMC untuk mengoordinasikan serangan darat berskala luas.
Skala Kekuatan dan Tujuan Strategis
Menurut perkiraan intelijen Rusia, jumlah pasukan PMC yang terlibat setara dengan 6 hingga 12 brigade atau sekitar 10.000–20.000 personel. Para bloger militer Rusia menduga bahwa sasaran utama PMC adalah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Kota Kurchatov, dekat perbatasan Kursk. Mereka juga memperkirakan adanya serangan balasan terbatas di arah Pokrovsk. Di beberapa titik lain, jejak pergerakan PMC tampak terhubung seolah-olah ingin menggabungkan setiap front serangan, memperlihatkan sifat terkoordinasi dari operasi ini.
Klaim Kemenangan Rusia di Donbas
Di sisi lain, laporan dari Kementerian Pertahanan Rusia pada 6 Januari menyatakan bahwa militer Rusia berhasil mematahkan serangan mendadak Ukraina di Kursk. Pemerintah Rusia juga mengumumkan keberhasilan merebut Kota Kurakhove—sebuah pusat logistik penting di wilayah Donbas. Pihak Rusia mengungkapkan bahwa pasukan PMC selama ini membangun basis pertahanan bawah tanah yang kuat di sana. Dengan direbutnya kota ini, Rusia mengeklaim akan lebih mudah untuk memperluas kendali di wilayah Donetsk lainnya.
Pandangan Internasional dan Prospek Negosiasi
Kantor berita AFP melaporkan bahwa Menlu AS Antony Blinken menegaskan pentingnya situasi di Kursk sebagai faktor yang dapat memengaruhi kemungkinan negosiasi di masa mendatang. Sejumlah pengamat menilai, pernyataan Blinken jelang akhir masa jabatannya menunjukkan besarnya perhatian Amerika terhadap manuver Ukraina di wilayah tersebut. Sementara itu, sebagian analis menduga bahwa serangan berskala besar ini bisa saja merupakan aksi pengalihan untuk menarik fokus militer Rusia, sekaligus menyembunyikan rencana penyerangan yang lebih besar di sektor lain.
Selain itu, isu proses perundingan antara Rusia dan Ukraina hingga kini masih diliputi ketidakpastian. Di tengah tarik-ulur kedua belah pihak, serangan besar Ukraina seperti di Kursk berpotensi menekan posisi militer Rusia dan sekaligus menjadi kartu tawar bagi kubu Barat, termasuk Presiden terpilih AS, Donald Trump, yang disebut-sebut mungkin terlibat dalam upaya diplomatik di kemudian hari.
Penanda Awal Perubahan Besar?
Menurut harian The Daily Telegraph, pertempuran di Kursk tahun 2025 dapat menjadi titik mula meredupnya kekuasaan Presiden Vladimir Putin. Sejauh ini, masing-masing pihak—baik Rusia maupun Ukraina—merilis laporan yang saling bertentangan mengenai kondisi di lapangan. Namun satu hal yang jelas, eskalasi di Kursk menghadirkan konsekuensi geopolitik luas dan berpotensi mengubah peta konflik di Eropa Timur.
Meski narasi resmi Rusia menegaskan keberhasilan menahan dan memukul mundur pasukan PMC, kenyataan di medan tempur masih sulit diverifikasi karena akses informasi yang sangat terbatas. Dunia internasional pun menanti langkah berikutnya dari kedua belah pihak, terutama apakah serangan besar-besaran di Kursk akan menjadi pemicu eskalasi yang lebih luas atau justru menjadi tekanan yang mendorong kedua pihak kembali ke meja perundingan.