JAKARTA — Isu mengenai konflik Palestina-Israel kerap menjadi sorotan publik, tak terkecuali peran lembaga-lembaga keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI). Baru-baru ini, peneliti Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara, Edo Segara Sutanto, menyoroti langkah MUI yang dinilainya perlu lebih fokus pada mencerahkan publik ketimbang mempromosikan produk tertentu.
Edo mengomentari pernyataan Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Ikhsan Abdullah, yang sering mengaitkan promosi air minum dalam kemasan dengan narasi konflik Palestina. Ia mencatat bahwa istilah “Palestina Washing” sering digunakan untuk menilai strategi perusahaan global yang berpura-pura bersimpati kepada Palestina guna memperbaiki citra mereka. Namun, yang menjadi perhatian Edo adalah klaim Ikhsan bahwa produk Le Minerale bebas dari afiliasi dengan Israel.
“Apa sebenarnya kewenangan MUI dalam memastikan bahwa produk tertentu tidak memiliki hubungan dengan Israel?” tanya Edo. Menurutnya, narasi semacam ini berpotensi memunculkan konflik kepentingan jika bertujuan untuk mendukung agenda bisnis.
Edo menjelaskan bahwa Palestina Washing mengacu pada upaya entitas bisnis untuk memanfaatkan simpati terhadap Palestina demi meningkatkan citra atau penjualan. Sayangnya, promosi yang mengangkat konflik kemanusiaan, tetapi disertai dengan kepentingan komersial, dianggap tidak etis.
“Menggunakan penderitaan akibat perang untuk kepentingan bisnis adalah tindakan yang tidak bermoral,” kata Edo tegas. Menurutnya, sikap seperti itu hanya menunjukkan oportunisme yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagai contoh, selebritas atau organisasi yang hanya menyuarakan dukungan tanpa tindakan nyata juga bisa dikategorikan dalam praktik Palestina Washing. Sebaliknya, kontribusi nyata seperti mendonasikan keuntungan atau menyebarkan kesadaran akan pentingnya perdamaian lebih dihargai.
Edo menyarankan agar MUI mengikuti contoh dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memverifikasi keterkaitan perusahaan dengan Israel berdasarkan bukti yang jelas. “Klaim sepihak tanpa data akurat hanya akan merusak kredibilitas,” ujarnya.
Lebih jauh, Edo menekankan pentingnya menjaga netralitas dan menghindari eksploitasi isu-isu kemanusiaan untuk promosi. “Tindakan yang memanfaatkan tragedi sebagai strategi bisnis bertentangan dengan prinsip keadilan sosial,” katanya.
Pada akhirnya, menurut Edo, semua pihak lebih baik memusatkan energi pada langkah konkret yang membantu korban kekejaman di Palestina. Ia mendorong semua elemen masyarakat, termasuk lembaga keagamaan, untuk lebih aktif dalam memberikan dukungan yang tulus. Menjaga stabilitas dan harmoni nasional harus menjadi prioritas utama dibandingkan saling memanfaatkan tragedi untuk keuntungan pribadi.
Melalui diskusi dan refleksi yang lebih mendalam, diharapkan narasi yang diusung oleh tokoh dan lembaga publik mencerminkan semangat kemanusiaan dan solidaritas yang murni, bebas dari agenda bisnis yang merugikan moralitas bersama.