EtIndonesia. Pada Selasa (7/1), Presiden AS terpilih Donald Trump membagikan sebuah video di platform media sosial miliknya, TRUTH Social. Video tersebut menampilkan Jeffrey D. Sachs, seorang penasihat tiga Sekretaris Jenderal PBB, ekonom ternama asal AS. Unggahan ini memicu perdebatan panas di platform media sosial X.
Dalam video tersebut, Sachs mengkritik intervensi AS di Suriah dan Irak, serta mengungkap bahwa akar keterlibatan AS dalam perang di Timur Tengah dapat ditelusuri sejak 1995. Dia menyebut rencana perang 29 tahun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah menyeret AS ke dalam perang tanpa akhir demi mencapai tujuan strategis Israel.
Dalam wawancara tersebut, Sachs mengkritik kebijakan Netanyahu yang menurutnya telah menyeret AS ke dalam konflik berkepanjangan di Timur Tengah. Sachs menjelaskan bahwa sebelum Rusia terlibat, CIA telah memulai operasi untuk menggulingkan Pemerintah Suriah, bukan sekadar misi kontra-terorisme. Sachs juga mempertanyakan legitimasi perang Irak, menyebut perang itu didasarkan pada narasi yang keliru.
Jeffery Sachs goes into more detail about how Barack Obama commanded The CIA to overthrow the Syrian Government and American Media covered for him
— Wall Street Apes (@WallStreetApes) January 5, 2025
He says reporters are “lying through their teeth” when they blame Russia, it was Obama 4 years BEFORE Russia intervened
Says what… pic.twitter.com/1HyDagFpEd
Manipulasi Narasi oleh Pemerintah dan Media
Video wawancara tersebut diambil dari sesi interaksi Sachs dengan mahasiswa Universitas Cambridge, Inggris, pada 30 Oktober tahun lalu. Dalam wawancara tersebut, Sachs menyatakan, : “Beberapa jurnalis mungkin secara terbuka mengatakan ‘Rusia terlibat dalam perang Suriah,’ tetapi kenyataannya tidak demikian. Faktanya, empat tahun sebelum Rusia terlibat, Presiden AS Barack Obama telah memerintahkan CIA untuk meluncurkan operasi rahasia bernama Operation Timber Sycamore guna menggulingkan Pemerintah Suriah. Operasi rahasia ini hampir tidak pernah diliput oleh media arus utama, seperti The New York Times, yang hanya melaporkan operasi ini tiga kali dalam sepuluh tahun.”
Menurut Sachs, narasi demokrasi melawan kediktatoran sering kali digunakan untuk memanipulasi opini publik, bukan untuk mencerminkan realitas.
Sachs menambahkan bahwa alasan AS menginvasi Irak pada 2003 juga berdasarkan narasi yang sepenuhnya keliru. Dia menjelaskan bahwa perang tersebut bukan akibat “salah tafsir senjata pemusnah massal,” tetapi karena penelitian kelompok fokus (focus group) yang dirancang untuk menemukan alasan paling meyakinkan agar rakyat AS mendukung perang.
Rencana Netanyahu untuk Menumbangkan Pemerintah di Timur Tengah
Sachs secara langsung menuding bahwa akar konflik ini berasal dari teori yang diajukan Netanyahu pada 1995. Menurut Netanyahu, untuk menghilangkan ancaman Hamas dan Hizbullah, pemerintah yang mendukung kedua kelompok ini—seperti Irak, Suriah, dan Iran—harus digulingkan.
Sachs menyimpulkan bahwa Netanyahu telah mendorong kebijakan ini selama bertahun-tahun, bahkan hingga saat ini, dengan terus mencoba meyakinkan AS untuk mengambil tindakan terhadap Iran. Pengaruh Netanyahu, menurut Sachs, telah menyeret AS ke dalam perang tanpa akhir yang didasarkan pada narasi palsu.
Dia menekankan bahwa narasi yang memperlawankan “demokrasi” dengan “kediktatoran” tidak memiliki logika atau dasar yang kuat, melainkan lebih menyerupai alat manipulasi opini publik. (jhn/yn)